Banyak Paket Proyek di Buton Selatan Sudah Mati Kontrak

Deni Djohan, telisik indonesia
Kamis, 14 Juli 2022
0 dilihat
Banyak Paket Proyek di Buton Selatan Sudah Mati Kontrak
Plan proyek pembangunan rekontruksi pembangunan simpang 7 di Desa Lawela. Foto: Dheny/Telisik

" Batas waktu kerja yang diberikan oleh pemda kepada rekanan rata-rata telah habis alias mati kontrak "

BUTON SELATAN, TELISIK.ID - Ada yang aneh dengan pelaksanaan proyek pembangunan di Buton Selatan (Busel) tahun 2022 ini. Bagaimana tidak, batas waktu kerja yang diberikan oleh pemda kepada rekanan rata-rata telah habis alias mati kontrak.

Celakanya, belum ada progres pembangunan terhadap proyek-proyek yang menggunakan anggaran daerah miliaran rupiah tersebut. Ironisnya, hal itu diduga terjadi di seluruh OPD.

Penasehat Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Penyambung Lidah Rakyat (Gempur), La Rizalan mengatakan, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan, pihaknya menemukan beberapa proyek di sejumlah dinas telah mati kontrak. Sementara belum ada progres pembangunan yang terlihat.

Misalnya di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Lingkungan Hidup (DLH) serta Dinas Perumahan dan Pemukiman. Pada dinas itu, miliar anggaran daerah telah terkucur dalam bentuk program pembangunan fisik namun sama sekali belum dikerja oleh perusahan pemenang tender.

"Sementara seluruh pekerjaan ini sudah kontrak. Kita tahu bersama bahwa di Sultra ini, boleh dikata Busel yang paling cepat lelang. Artinya kalau cek di LPSE, sejak bulan Januari sampai Februari paket itu sudah ditender. Tandatangan kontrak itu rata-rata bulan dua dan tiga. Lantas kenapa bisa tidak jalan itu kegiatan?" terang Rizal Palapa sapaan akrab La Rizalan, Kamis (14/7/2022).

Untuk dinas PUPR, kata dia, hampir seluruh kontrak telah mati. Apalagi proyek pembangunan Water Front yang dipusatkan di Kecamatan Batauga dan dipecah menjadi sembilan paket. Selain itu, terdapat pula proyek pembangunan rekontruksi simpang 7 di Desa Lawela dan sejumlah paket lainnya yang hingga kini belum dikerja. Sejumlah paket itu diketahui menelan anggaran daerah lebih dari satu miliar rupiah.

"Ada apa dengan proyek di Busel ini, kenapa rekanan ini belum bekerja. Kalau begini daerah yang rugi," kesalnya.

Baca Juga: Dua Kali Temukan Obat Kadaluwarsa, Bahri Duga Ada Permainan Pengadaan Obat

Hal serupa juga terjadi di DLH. Proyek dudukan patung anggota kepolisian yang gugur dalam peristiwa ledakan bom di Lawela puluhan tahun lalu juga sama sekali belum dikerja. Padahal antara rekanan dan pemda melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah berkontrak beberapa bulan lalu. Patung-patung itu kini hanya disimpan di kantor DLH tanpa tujuan dan manfaat yang jelas.

"Sebenarnya kami sudah jenuh dengan polemik di Busel ini. Banyak sekali deretan kasus yang sudah memiliki cukup bukti. Namun lagi-lagi tidak memiliki kepastian hukum. Sebut saja Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) atau honor tambahan penghasilan yang tidak terbayarkan. Kurang bukti apa lagi kasus ini?," ungkapnya.

"Kemudian kasus dermaga tak bertuan yang hingga kini tidak jelas. Kalau tidak diketahui siapa pemiliknya, segel itu dermaga. Lalu Amdal dan pembebasan lahan RSUD Busel. Semua itu pelanggaran kasat mata. Tapi sampai hari ini tidak ada kepastian hukum," tuturnya.

Selain itu, masih banyak kasus yang hingga kini tidak memiliki kepastian hukum. Padahal dugaan kerugian daerah dalam kasus tersebut sangat fantastis nilainya.

"Tapi seperti saya katakan sebelumnya, kami ini bukan penegak hukum," katanya.

Menanggapi hal itu, PPK sembilan paket Water Front yang juga pejabat PUPR Busel, Dani Darwis mengakui adanya keterlambatan pengerjaan sejumlah paket tersebut. Kata dia, matinya kontrak itu disebabkan pembebasan lahan yang bermasalah.

"Iya, karena semua terkendala di maslah lahan," beber Dani Darwis melalui pesan WA nya.

Ketika ditanya, bagaimana dengan proses perencanaannya yang terkesan tidak mempertimbangkan soal lahan? pria yang akrab disapa Obet ini mengaku bila selalunya permasalahan itu datang saat pelaksanaan.

"Dalam perencanaan tidak ada masalah. Tapi ya begitu mi di Busel, saat akan pekerjaan dimulai, selalu ada saja yang komplain tentang lahan. Begitu yg selalu saya dapatkan, tapi tahun ini sangat ekstrim untuk lakukan mediasi," bebernya.

"Kalau yang di Lawela itu ada berapa oknum desa yang komplain," tambahnya.

Baca Juga: Kesalnya Ketua RT Lokasi Tewasnya Brigadir J: Saya Ini Jenderal Kenapa Polisi Tak Beri Laporan

Celakanya, proyek Water Front yang dipecah menjadi sembilan paket ini tak semua dikerjakan di darat. Sebagian di tempatkan di laut. Misalnya di Kelurahan Lakambau, Kecamatan Batauga. Di situ, tak ada hak masyarakat untuk mengkomplain."Kalau di laut itu yang komplain para petani rumput laut," tambahnya.

Terhadap sejumlah paket yang telah mati kontrak tersebut karena lahan, kata dia, pihaknya akan melakukan addendum atau penambahan waktu kerja.

Senada dengan Kadis DLH Busel, La Singepu. Kadis yang merangkap PPK ini juga mengakui bila keterlambatan pelaksanaan proyek dudukan patung itu terjadi karena polemik lahan yang belum dibebaskan.

Terhadap kelanjutan waktu kerja, kata dia, pihaknya akan memberikan addendum kepada kontraktor pelaksana."kita akan addendum," pungkasnya. (A)

Penulis: Deni Djohan

Editor: Musdar

Baca Juga