Belajar dari Rumah dengan Bantuan Teknologi, Anak Harus Tetap Dikontrol

Rahmat Tunny, telisik indonesia
Senin, 13 Juli 2020
0 dilihat
Belajar dari Rumah dengan Bantuan Teknologi,  Anak Harus Tetap Dikontrol
Sandiaga Uno. Foto: Ist.

" Pandemi kali ini menghantam kita di era Indonesia modern, di era kita masuk ke revolusi industri 4.0. Ini adalah kesempatan kita untuk mempercepat terutama pendidikan, bahwa semua lini pendidikan harus dapat menjalankan konsep study from home. "

JAKARTA, TELISIK.ID - Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) masih dilakukan secara online atau jakarak jauh untuk menghindari penyebaran COVID-19. Munculnya wabah mematikan ini berdampak besar terhadap pendidikan.

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Sandiaga Salahudin Uno menilai, dengan adanya wabah ini, sektor pendidikan juga harus melakukan penyesuaian agar proses belajar mengajar tetap dapat dilaksanakan. Salah satunya metode study from home dengan memanfaatkan teknologi yang ada saat ini.

“Pandemi kali ini menghantam kita di era Indonesia modern, di era kita masuk ke revolusi industri 4.0. Ini adalah kesempatan kita untuk mempercepat terutama pendidikan, bahwa semua lini pendidikan harus dapat menjalankan konsep study from home,” kata Sandi lewat keterangan pers yang diterima Telisik.id, Senin (13/7/2020).

Meski bisa belajar dari rumah dengan bantuan teknologi, Sandi mengingatkan agar para orang tua selalu mengontrol dan membimbing anak-anaknya dalam proses belajar.

“Tentunya kita tidak bisa melepas mereka dengan teknologi. Kita harus berikan bimbing agar teknologi itu membantu mereka dalam meningkatkan kapasitas, proses belajar dan mengajar,” jelas Sandiaga.

Sandi mengingatkan bahwa ke depan, selama virus ini masih ada, masyarakat terutama guru dan murid harus terbiasa dengan kebiasaan baru saat sekolah-sekolah mulai dibuka pada masa new normal atau normal baru.

Baca juga: Pengenalan Sekolah untuk Siswa Baru Secara Virtual

“Kita tidak bisa lari dari kenyataan ini bahwa suatu realita baru, new normal itu, kita harus terbiasa dengan dengan hal-hal yang dulu kita tidak terbiasa misalnya kita sekarang menggunakan masker, juga selalu menjaga kebersihan dengan hand sanitizer dan terbiasa mencuci tangan, tidak bersalaman, tidak berpelukan,” ucapnya.

“Saya yakin pandemi COVID-19 memberikan satu ujian bagi sistem pendidikan kita untuk beradaptasi dan bukan hanya murid, tapi guru juga beradaptasi, orang tua juga beradaptasi, lingkungan juga beradaptasi,” lanjut dia.

Dalam kesempatan ini, Sandi juga mengingatkan, ke depan, sistem pendidikan akan berubah. Pendidikan akan lebih mengarah pada vokasi atau peningkatan keterampilan sambil praktek.

“Dulu bahwa kita mulai masuk SMP, SMA, kuliah dan bekerja sudah berganti. Kita akan masuk ke dalam konsep dimana kuliah sambil kerja, vokasi sambil kerja. Akhirnya pendidikan itu menjadi life long learning, tidak hanya sampai 18-20 tahun. Dengan adanya COVID-19, ini edukasi kita terutama experience learning akan sangat relevan,” ujar dia.

Sandi beralasan, dengan sistem yang demikian, akan menuntut setiap orang untuk terus belajar karena perkembangan teknologi yang bergerak begitu cepat.

“Mungkin umur 30 tahun teknologi sudah berubah. Sehingga hal-hal yang kita pelajari pada saat 17 tahun sudah berganti total,” katanya.

Sebelumnya, Sandi juga mengingatkan bahwa bonus demografi yang terjadi di Indonesia pada 2030-2040 bisa menjadi bencana demografi bila tidak melakukan investasi di sektor pendidikan.

Sandi memaparkan bahwa penduduk Indonesia yang tahun 2019 ini berusia 7 tahun, rata-rata mereka berharap bisa mengikuti pendidikan 12 tahun atau hanya hanya lulusan SMA sederajat.

“Bonus demografi itu akan berubah menjadi bencana demografi kalau kita enggak bisa ubah bahwa mayoritas anak usia 7 tahun ini cuma dapat pendidikan 12 tahun ke depan,” kata Sandi.

Sandi berharap pemerintah dan semua pihak benar-benar memikirkan masa depan mereka, sehingga bonus demografi menjadi peluang dan cita-cita Indonesia Emas 2045 terwujud.

“Mereka harus dapat kesempatan pendidikannya minimal sampai S1 (sarjana) selesai, dan sebagian S2 (magister) dan akhirnya S3 (doktor). Jadi bonus demografi itu bisa jadi bencana kalau kita nggak invest di pendidikan. Jadi kita harus berikan kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi,” harap Sandi.

Reporter: Rahmat Tunny

Editor: Haerani Hambali

Baca Juga