Bertahan di Tengah Pandemi COVID-19 dengan Kerajinan Nentu

Sumarlin, telisik indonesia
Minggu, 28 November 2021
0 dilihat
Bertahan di Tengah Pandemi COVID-19 dengan Kerajinan Nentu
Sarlin bersama suami sedang menganyam goodie bag dari bahan Nentu. Foto: Sumarlin/Telisik

" Sarlin dan suaminya, Wahyuddin, dengan tekun mengerjakan anyaman goodie bag—tas jinjing—pesanan Bank Indonesia "

KENDARI, TELISIK.ID - Sarlin dan suaminya, Wahyuddin, dengan tekun mengerjakan anyaman goodie bag—tas jinjing—pesanan Bank Indonesia.

Malam ini mereka harus menyelesaikan 10 unit, tak bisa ditunda lagi.  Beberapa pesanan juga sudah masuk dalam daftar tunggu untuk diselesaikan. Beberapa produk anyaman yang telah jadi, ia tumpuk di sudut ruang berukuran 3x3 meter, menunggu pemesannya datang mengambil.

Sarlin adalah ibu satu anak asal Desa Porihi, Muna yang memiliki ketrampilan menganyam produk dari tanaman Nentu.  Ia bercerita, belajar menganyam secara otodidak dan sembunyi-sembunyi sejak usia 5 tahun. Ia dulu sering melihat kakaknya menganyam dengan tanaman Nentu.  

Hasil anyaman perdananya jauh dari sempurna. “Tapi saya terus belajar,” katanya.

Pelajaran paling penting dari menganyam adalah teknik dasar merapatkan tiap helai Nentu dan membentuk dasar anyaman. Setelah bertahun-tahun, Sarlin sudah bisa menghasilkan produk kerajinan Nentu yang indah.

“Saya lalu mulai menjualnya ke penampung di kampung kami. Eh produknya laku. Saya langsung semangat,” ujarnya.

Baca Juga: Kafe Lesehan di Kota Kendari Menjamur

Kerajinan Nentu membuatnya bisa menghasilkan uang untuk membiayai sekolahnya sejak SD hingga SMA.

“Setelah lulus saya berpikir untuk pindah ke Kendari, meneruskan kuliah. Tapi ibu saya tidak setuju,” ceritanya.  

Meskipun ditentang, Sarlin tetap memutuskan melanjutkan kuliah di Universitas Halu Oleo.

Selama kuliah, Sarlin tetap meneruskan pekerjaan sebagai penganyam. Ia bahkan  mendapatkan bantuan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melalui program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS).  

Ia lalu membentuk  kelompok dan memulai usaha kerajinan yang lebih serius, melakukan promosi dan penjualan.

“Awalnya promosi dari mulut ke mulut. Lalu saya pakai sistem titip di penjual kaos kaki yang sering mengunjungi kantor-kantor pemerintah. Eh ternyata ada saja yang tertarik dan mulai memesan," kisahnya.

Tapi ternyata mekanisme pasar tidak selalu menjanjikan. Meskipun banyak yang tertarik, namun angka penjualan sangat sedikit. Di tahun 2009-2013, bisnis Nentunya jalan di tempat. Alasan lain, kosentrasi Sarlin tidak hanya pada membesarkan usaha, ia juga harus memikirkan hal lain.  

Ia kembali fokus pada bisnis Nentu pasca kuliah. Langkah pertama yang diambilnya adalah merekrut tenaga kerja untuk menaikkan jumlah produk. Ini juga untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah pesanan. Langkah ini ternyata efektif.

"Sekarang kami kewalahan melayani permintaan dari daerah. Permintaan datang dari berbagai kabupaten, tak hanya dari Kendari tapi juga misalnya dari Buton Utara," tuturnya.

Sarlin bahkan mencoba langkah berani, menjual produknya melalui platform online  dan untuk ekspor. Ternyata permintaan mengalir. Ini membuatnya kaget, karena ia ternyata tak siap dengan tenaga kerja dan modal usaha untuk memenuhi permintaan tersebut.

Covid, Pesanan dan Modal Kerja

Pandemi ternyata tidak menyurutkan permintaan kerajinan Nentu.  Permintaan tetap ada, baik dari wilayah Sulawesi Tenggara maupun dari luar negeri.  

“Saya sebenarnya punya solusi untuk memenuhi kebutuhan ini, tapi ini tentu saja butuh dukungan pemerintah,” jelasnya.

Solusi yang ia maksudkan adalah menyusun nota kesepahaman dengan pemerintah, di mana nota kesepahaman itu mengatur tentang suplai produk.

“Paling penting adalah mengatur para pengrajin, meningkatkan kapasitas mereka, menampung hasil produk mereka dan saat ada permintaan ekspor kita sudah punya produknya," jelasnya.

Mekanisme ini akan menguntungkan banyak pihak; para pengrajin yang tak bingung karena produk selalu tersedia dan modal yang leluasa, serta para konsumen yang bisa mendapatkan produk sesuai permintaan mereka.  

Hasil anyaman Nentu yang dipamerkan Sarlin di stand Dekranasda Kota Kendari. Foto: Sumarlin/Telisik

 

Inovasi terus menerus. Ini prinsip yang diterapkan Sarlin. Saat ini ia telah memiliki sekitar 30 model anyaman Nentu, mulai dari  tatakan gelas, nampan, tas dan tudung saji, yang dijual dengan dengan harga  bervariasi mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 1,5 juta.

Saat ini ia sendiri bisa menghasilkan prndapatan Rp 15 juta hingga Rp 30 juta per bulan dari kerajinan Nentu. Harga juga sangat ditentukan oleh tingkat kerumitan termasuk ukuran produk itu sendiri.

"Proses lama biasanya di tahapan membersihkan tanaman Nentu dan merajutnya. Kalau di tahap menganyam, ini sudah bisa cepat,” tambah Wahyuddin.  

Tanaman Nentu

Dikutip dari budaya-indonesia.org, kerajinan tangan Nentu adalah salah satu kerajinan tangan berbentuk anyaman dengan bahan dasar batang tanaman merambat yang oleh masyarakat Sulawesi Tenggara  dikenal sebagai Nentu.  

Tanaman Nentu tumbuh liar di kawasan hutan di Sulawesi Tenggara, seperti di Kabupaten Muna, Muna Barat, Buton Tengah, Buton, Buton Utara dan Bombana.

Nentu sekilas seperti tanaman parasit yang tumbuh di hutan dengan batang yang merambat hingga melilit pada batang maupun ranting pohon. Batang yang sudah tua inilah yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan anyaman.

Produk-produk yang dihasilkan dari kerajinan tangan lokal ini sangat kuat dan tahan lama, karena batang tanaman Nentu sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan ini sangat kuat dan alot namun ringan.  

Baca Juga: Cuaca Buruk, Harga Ikan Melambung Tinggi Dibanding Ayam Potong

Sementara itu Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Kendari Sri Lestari Sulkarnain mengatakan, selain dapat menggerakkan sumberdaya untuk mengembangkan potensi masyarakat di Kota Kendari, nantinya melalui pengembangan masyarakat, kearifan lokal seperti anyaman Nentu, akan bisa terekspose tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional.

“Alhamdulillah hari ini kita bisa berkesempatan melaksanakan pelatihan kewirausahaan kerajinan anyaman Nentu. Apalagi dalam kondisi pandemi saat ini, kita dituntut untuk bisa mengembangkan potensi dan menghidupkan kembali perekonomian kita,” katanya, saat membuka pelatihan pengrajin Nentu Oktober lalu, seperti dikutip dari kendarikota.go.id.

Dia menambahkan, Dekranas Kota Kendari melihat bahwa potensi kerajinan Nentu yang merupakan salah satu item kerajinan Kota Kendari yang mulai redup, bisa dihidupkan kembali.

Apalagi saat ini sejumlah kabupaten/kota di Sultra mengandalkan Kota Kendari sebagai salah satu supplier anyaman Nentu. (A)

Reporter: Sumarlin

Editor: Haerani Hambali

Artikel Terkait
Baca Juga