Catatan Akhir Tahun 2024: Mempertimbangkan Kepemimpinan Presidium sebagai Kepemimpinan Kolektif Kolegial Organisasi IDI

Zaenal Abidin, telisik indonesia
Sabtu, 28 Desember 2024
0 dilihat
Catatan Akhir Tahun 2024: Mempertimbangkan Kepemimpinan Presidium sebagai Kepemimpinan Kolektif Kolegial Organisasi IDI
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia 2012-2015. Foto: Ist.

" IDI mengikuti model kepemimpin yang diterapkan organisasi dokter se-dunia, yaitu World Medical Association (WMA) dan juga Confederation of Medical Associations in Asia and Oceania (CMAAO). Kedua organisasi ini tidak mengenal adanya kepemimpinan otoritas tunggal, melainkan kepemimpinan kolektif kolegial "

Oleh: Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia 2012-2015

SALAH satu yang selalu menarik untuk diperbincangkan dalam berorganisasi adalah tentang model kepemimpinannya. Misalnya, apakah organisasi itu memilih menerapkan model kepemimpinan dengan otoritas tunggal atau memilih model kepemimpinan kolektif. Tak terkecuali organisasi profesi dokter satu-satunya, yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Karena itu, penulis membuat artikel opini ini sebagai catatan akhir tahun 2024 untuk IDI.

Sebetulnya, selama puluhan tahun IDI sudah menerapkan kepemimpinan kolektif. IDI mengikuti model kepemimpin yang diterapkan organisasi dokter se-dunia, yaitu World Medical Association (WMA) dan juga Confederation of Medical Associations in Asia and Oceania (CMAAO). Kedua organisasi ini tidak mengenal adanya kepemimpinan otoritas tunggal, melainkan kepemimpinan kolektif kolegial.

Kepemimpinan kolektif kolegial WMA, CMAAO, dan negara-negara anggotanya terdiri dari president (ketua umum), president elect (ketua terpilih) dan immediate past president (ketua purna). Ketiganya berbagi fungsi, tugas, dan peran dalam kesehariannya sebagai satu kesatuan kepemimpinan.  

Hanya saja sejak Muktamar IDI di Banda Aceh tahun 2022,  IDI telah memutuskan untuk meninggalkan model kepemimpinan kolektif kolegial ini. Artinya, pasca Muktamar IDI di Mataram 12-15 Februari 2025 mendatang, IDI sudah bersiap menerapkan kepemimpinan  otoritas tunggal di bawah president (ketua umum), yang berbeda dengan WMA, CMAAO, dan organisasi dokter di negara-negara anggota WMA lainnya.

Kepemimpinan Kolektif  

Dalam kepemimpinan kolektif, organisasi memberdayakan orang-orang dengan keahlian yang paling relevan untuk mengatasi masalah tertentu pada waktu tertentu dan menerapkan solusi. Kepemimpinan kolektif berbeda dengan kepemimpinan tradisional, di mana satu orang memiliki otoritas membuat keputusan penting setelah berkonsultasi dengan orang lain.  

Organisasi yang menerapkan kepemimpinan kolektif akan membangun konsensus untuk mencapai keputusan dan menyelesaikan perbedaan pendapat  yang muncul. Karena itu, kepemimpinan kolektif sering disebut menantang gagasan kepemimpinan tradisional tradisional, di mana seorang individu merupakan sumber kepemimpinan.

Proses kepemimpinan kolektif meningkatkan kapasitas untuk berkolaborasi dan menyediakan kondisi bagi anggota kelompok agar merasa dihargai dan termotivasi dalam berkontribusi pada tujuan kolektif. Dengan demikian, kepemimpinan merupakan pencapaian kolektif, bukan pencapaian individu.

Ciri-ciri kepemimpinan kolektif meliputi: Pertama, memerlukan menghubungkan orang-orang dalam keberagaman. Kedua, membentuk cara audiens memandang tugas mereka serta bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri dan orang lain, dan juga bagaimana mereka memahami kepemimpinan itu sendiri.  

Ketiga, berkomitmen untuk mengambil alih kepemimpinan di semua tingkatan oleh orang-orang dari semua latar belakang, dengan berbagai perspektif dan keahlian. Keempat, dapat menggabungkan perilaku direktif dan pendekatan kolaboratif; dan Kelima, bertujuan untuk melampaui batas-batas yang sering dianggap biasa saja.

Dalam kepemimpinan kolektif, terdapat tanggung jawab dan pengambilan keputusan bersama, akuntabilitas, dan keterlibatan yang autentik. Dan juga mengakui bahwa keberhasilan yang langgeng tidak mungkin terjadi tanpa beragam perspektif dan kontribusi. Setiap orang dapat  mengambil tanggung jawab tidak hanya untuk tugas atau peran mereka sendiri, tetapi juga untuk keberhasilan tim mereka dan organisasi mereka secara totalitas.

Kepemimpinan kolektif tidak perlu sepenuhnya menghilangkan peran pemimpin utama. Sebaliknya, kepemimpinan kolektif dapat memungkinkan kepemimpinan utama berotasi sesuai keahlian serta berpindah di antara anggota tim seiring perubahan situasi dan proses kolektivisme.

Kepemimpinan Kolektif Kolegial

Jika kepemimpinan kolektif diartikan sebagai kepemimpinan bersama atau gabungan maka kepemimpinan kolegial dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang bersifat kesejawatan atau seperti teman sejawat. Bila digabungkan menjadi kepemimpinan kolektif kolegial dapat bermakna sebagai model kepemimpinan bersama atau gabungan kepemimpinan yang menjunjung tinggi sifat kesejawatan.  

Baca Juga: Kekayaan Alam Dikeruk, Rakyat Kian Terpuruk

Kepemimpinan kolektif kolegial sering diartikan sebagai suatu model atau gaya kepemimpinan yang berlandaskan ikatan dan interaksi yang dilakukan secara bersamaan layaknya teman sejawat. Itulah sebabnya sehingga kepemimpinan kolektif kolegial ini sering diidentikkan dengan kepemimpinan dalam organisasi profesi, seperti organisasi dokter. Terlebih, sangat jelas di dalam Sumpah Dokter (butir 10) dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Pasal 18 dan Pasal 19), yang menyebutkan bahwa sesama dokter adalah teman sejawat.  

Karena itu, pada awal tulisan ini penulis mengatakan bahwa kepemimpinan kolektif kolegial bukanlah hal baru bagi IDI terutama PB IDI. Sebab, sebelumnya pada tingkat eksekutif, PB IDI sudah pernah menerapkan sistem president (ketua umum) dan president elect (ketua terpilih) sejak tahun 1976. Dan juga terdapat immediate past president (ketua purna), dan kemudian menjadikannya kepemimpinan tiga serangkai PB IDI.  

Bahkan, pasca Muktamar IDI di Malang tahun 2000 dikenal adanya Majelis Pimpinan Pusat (MPP), yang lebih mengentalkan kepemimpinan kolektif kolegial itu. MPP merupakan musyarawah antara pengurus besar (president, president elect, immediate past president, sekretaris jenderal dan bendahara umum), majelis kehormatan etik kedokteran, mejelis kolegium kedokteran Indonesia (MKKI), dan majelis pengembangan pelayanan keprofesian). MPP dipimpin oleh president (Ketua Umum PB IDI).

Mengapa seketaris jenderal (sekjen) dan bendahara umum (bendum) PB IDI dilibatkan dalam rapat MPP? Karena sekjen dan bendum hanya ada pada eksekutif IDI (PB IDI), sehingga kehadirannya diperlukan untuk mendengar dan mengakomodasi kebutuhan majelis-majelis.  

MPP mengadakan rapat minimal sekali dalam tiga bulan, walau dapat pula melakukan rapat sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Keputusan dalam rapat MPP diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat. Pasca Muktamar IDI di Banda Aceh 2022, MPP tidak ditemukan lagi. Anggaran Dasar (AD) IDI, Pasal 14 ayat 1 b, dan Angaran Rumah Tangga  (ART) IDI Pasal 18 ayat 1 c, hanya menyebutkan, “Ketua Umum Pengurus Besar IDI dibantu oleh majelis-majelis (MKEK, MKKI, MPPK) yang masing-masing memiliki wewenang dan tanggung jawab sesuai tugasnya.”

Masih terkait rapat-rapat. Pengurus besar dan majelis-majelis mengadakan rapat pleno terbatas minimal sekali dalam satu bulan dan juga rapat pengurus harian. Selain itu masih ada rapat pleno diperluas yang dilaksanakan sekurang-kurangnya tiga kali dalam satu periode kepengurusan, dengan menghadirkan pengurus besar, pengurus majelis-majelis, badan-bandan kelengkapan, pengurus wilayah, dan pengurus cabang tempat rapat pleno diperluas diadakan.  

Ketika itu, AD-ART dan Tata Laksana Organisasi mengatur sedemikian rupa ada para pengurus dapat berkomunikasi, berinteraksi dan bermusyawarah secara rutin, guna membicarakan berbagai hal tentang organisasi, anggota, etik, pelayanan, dan pendidikan kedokteran. Termasuk membicarakan regulasi dan kebijakan kesehatan yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sayangnya rapat pleno diperluas ini sudah tidak ditemukan lagi di dalam AD-ART IDI pasca Muktamar IDI di Banda Aceh 2022. Dan sudah tentu rapat MPP pun juga tidak ada. Semua rapat-rapat di atas merupakan rapat yang diselenggarakan di luar muktamar dan musyawarah kerja nasional (mukernas) yang pada periode belakangan ini diubah menjadi rapat kerja nasional (rakernas).  

Kembali kepada kepemimpinan kolektif kolegial pada eksekutif IDI (PB IDI). Sebetulnya, persoalan yang terjadi dalam kepemipinan tiga serangkai: president elect (ketua terpilih) dan immediate past president (ketua purna) adalah tidak adanya kejelasan pembagian fungsi, tugas dan peran antara. Muktamar IDI tidak pernah menetapkan apa fungsi, tugas dan peran ketiga pemimpin eksekutif ini. Juga tidak pernah dituangkan di dalam tata laksana organisasi IDI. Akibatnya, president elect (ketua terpilih) dan immediate past president (ketua purna) seolah-olah hanya menjadi pelengkap penderita. Tidak pernah berani mengambil inisiatif kecuali ada permintaan dari president (ketua umum).

Karena itu, dapat dipahami bila pada peserta Muktamar IDI di Banda Aceh tahun 2022 bersepakat meniadakan president elect (ketua terpilih) dalam struktur PB IDI pasca Muktamar di Mataram 2025. Lalu, bagaimana dengan immediate past president (ketua purna), apakah juga telah dihilangkan dalam struktur kepengurusan mendatang? Tampaknya Muktamar IDI tahun 2022 belum memutuskannya. Karena itu boleh jadi istilah immediate past president (ketua purna) tetap akan dipajang di dalam struktur PB IDI tanpa jelas fungsi, tugas dan perannya.

Kepemimpinan Kolektif Kolegial ala Predidium

Dengan berjalannya waktu, di mana situasi lingkungan eksternal IDI berubah sangat drastis. Pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan terbiasa membentuk peraturan perundangan tanpa membuka ruang dialog secara intelektual dengan IDI dan organisasi profesi kesehatan lain. Tidak ada meaningful participation.  

Dampaknya, dengan bermodal peraturan perundangan yang pembentukannya tanpa partisipasi bermakna menteri kesehatan dapat bertindak sesukanya kepada IDI dan organisasi profesi kesehatan lainnya, termasuk kepada institusi pendidikan kedokteran yang  berada di bawah kementerian lain. Menteri kesehatan tidak malu mencaplok kolegium dari organisasi profesi atas nama peraturan perundangan, dan seterusnya.

Karena itu, hemat penulis, IDI harus kembali mempertimbangkan penerapan kepemimpinan kolektif kolegial. Bahkan, bila IDI tetap kukuh menerapkan pola kepemipinan otoritas tunggal (president atau ketua umum) pasca Muktamar di Mataram 2025, penulis khawatir akan sangat mudah ditekuk oleh penguasa dengan berbagai cara.  

Lalu, model kepemimpinan kolektif kolegial mana yang dapat menjadi pilihan IDI? Bukankan kepemimpinan kolektif kolegial “tiga serangkai” (president, president elect dan immediate past president) baru saja ditinggalkan melalui keputusan Mukmatar IDI di Banda Aceh 2022? Hemat penulis, masih ada model kepemimpinan kolektif kolegial lain yang dapat menjadi pilihan alternatif bagi IDI. Kepemimpinan kolektif kolegial itu adalah kepemimpinan presidium.

Kepemimpinan presidium adalah kepemimpinan di mana sebuah organisasi dipimpin oleh lebih dari satu orang secara kolektif dan kolegial. Dalam presidium, tidak ada satu orang anggota presidium yang memiliki otoritas penuh. Setiap keputusan besar diambil melalui musyawarah dan konsensus di antara para anggota presidium.

Model ini sering digunakan dalam organisasi dengan struktur yang horizontal atau non-hierarkis, di mana prinsip kebersamaan dan musyawarah menjadi nilai utama. Kepemimpinan presidium juga sering diadopsi oleh organisasi yang ingin mendorong partisipasi lebih besar dari para anggotanya dalam proses pengambilan keputusan.

Berikut ini adalah ciri-ciri kepemimpinan presidium. Pertama, pengambilan keputusan yang bersifat kolektif kolegial. Tidak ada satu individu yang dapat mendominasi, karena semua anggota presidium memiliki hak suara yang sama. Keputusan biasanya diambil melalui musyawarah dan mufakat atau melalui voting jika diperlukan. Pengambilan keputusan kolektif kolegial inilah yang menjadi kekuatan utama kepemimpinan presidium.

Kedua, tugas dan tanggung jawab dalam presidium dibagi di antara para anggotanya sesuai dengan keahlian, fungsi, tugas, dan dan peran masing-masing. Ini memungkinkan setiap anggota fokus pada wilayah yang menjadi tanggung jawabnya, namun tetap harus bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Ketiga, kepemimpinan presidium dapat dirotasi. Artinya, anggota di antara anggota presidium dapat secara bergantian selama periode tertentu untuk menjadi ketua presidium. Hal ini untuk memastikan tidak ada konsentrasi kekuasaan pada satu orang saja.  

Keempat, kepemimpinan presidium mengutamakan musyawarah dan dialog dalam setiap proses pengambilan keputusan. Keputusan diambil setelah mendengarkan pendapat dari semua anggota dan memastikan setiap pandangan dipertimbangkan dengan adil.  

Kelima, kepemimpinan presidium melibatkan banyak orang, sehingganya transparansi dalam proses pengambilan keputusan menjadi sangat penting.

Lalu, apa kelebihan kepemimpinan presidium? Kepemimpinan presidium memiliki kelebihan sebagai berikut: Pertama, kepemimpinan presidium mengurangi risiko adanya otoritas tunggal yang berlebihan, sehingga dapat terhindar dari otoritarianisme atau penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, akan melibatkan beberapa orang dalam pengambilan keputusan, sehingganya dapat memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi dan kebersamaan berbagai pihak dalam organisasi

Ketiga, keputusannya lebih matang dan holistik, karena melibatkan dialog dari berbagai pihak dengan berbagai sudut pandang. Keempat, membagi tanggung jawab di antara para anggota presidium, sehingga beban kerja dapat dikelola secara lebih baik.

Bila kepemimpinan presidium memiliki kelebihan, tentu pula ada kelemahannya. Kelemahan kepemimpinan presidium, antara lain: Pertama, proses pengambilan keputusan lebih lambat. Hal ini dapat dimengerti karena tidak ada otoritas tunggal. Semua keputusan penting diambil melalui proses musyawarah.

Baca Juga: Jelang 2025: Saya, Kami, Dia, dan Kita

Kedua, terdapat potensi perbedaan pendapat sampai konflik internal di antara anggota presidium. Ketiga, karena semua anggota presidium setara, maka sering terjadi ketidak-jelasan siapa yang menjadi pemutus akhir bila terjadi deadlock dalam musyawarah.

Untuk mengatasi ketiga kelemahan di atas maka jumlah anggota presidium harus ganjil dan di antara anggota perlu disepakati adanya ketua presdium merangkap anggota. Ketua presidium berfungsi sebagai lokomotif serta penengah dan pemutus akhir bila terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam. Dan jangan lupa, dalam musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan melalui suara terbanyak (voting) bukanlah sesuatu yang haram dalam kepemimpinan presidium.

Catatan Akhir

Terdapat sepuluh alasan mengapa Muktamarnya IDI di Mataram 2025 mendesak untuk mempertimbangkan kepemimpinan kolektif kolegial berbentuk presidium untuk segera diterapkan pada eksekutif IDI (PB IDI). Kesepuluh alasan itu, sebagai berikut:

Pertama, lingkungan eksternal IDI yang tidak menentu dan cenderung represif. Penerapan kepemimpinan tunggal sangat berisiko bagi independensi IDI sebagai organisasi profesi.  Seperti diketahui bahwa sifat independensi adalah syarat mutlak bagi sebuah profesi dan organisasi profesi. Terlebih lagi bila profesi itu tergolong profesi luhur, bukan organisasi profesi ada umumnya.  

Kedua, kepemimpinan kolektif kolegial tiga serangkai (president, president elect, dan immediate past president) baru saja secara resmi ditinggalkan berdasarkan keputusan Muktamar IDI di Banda Aceh 2022. Artinya, pada Muktamar IDI di Mataram 2025 nanti tidak akan ada pemilihan president elect.

Ketiga, kepemimpinan kolektif kolegial yang berlapis berbentuk presidium merupakan pilihan yang tepat untuk menghadapi situasi eskternal yang tidak menentu dan cenderung represif. Keempat, kepemimpinan berbentuk presidium merupakan kepemimpinan yang tangguh, saling menguatkan, bak ikatan kuat yang tak mudah dilepas dan diputus oleh kepentingan apa dan siapa pun.

Kelima, kepemimpinan presidium dapat memberi kesempatan kepada beberapa kader terbaik IDI dari berbagai daerah untuk menduduki pucuk pimpinan dalam eksekutif organisasi. Keenam, hasil keputusan yang telah diambil oleh kepemimpinan presidium berkedudukan sangat kuat, tak mudah digoyahkan, sebab amat sulit untuk membujuk rayu apalagi menundukkan satu persatu anggota presidium.

Ketujuh, dalam kepemimpinan presidium adalah setara, meski tetap harus ada yang bertindak sebagai ketua presidium merangkap anggota. Ketua presidium berfungsi sebagai lokomotif, penengah dan pemutus akhir bila terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam. Kedelapan, kepemimpinan presidium sudah pernah diwacanakan dan diperdebatkan oleh peserta Rakernas IDI di Kendari tahun 2023 lalu. Bahkan boleh jadi perdebatan itu sudah menjadi catatan atau dokumen resmi pada rakernas tersebut.

Kesembilan, gayung bersambut, karena ternyata pemilihan president elect pada Muktamar IDI di Banda Aceh 2022, dari 5 (lima) calon yang ikut berkontestasi tidak satupun yang mengantongi suara di atas 50%, akibat dari proses pemilihan yang hanya berlangsung dua putaran. Sementara, bila ingin memperoleh suara di atas 50% maka semestinya pemilihan itu diselenggarakan tiga putaran.

Kesepuluh, karenanya, lima calon president elect yang berkonstestasi pada muktamar IDI 2022, layak diajukan dan ditetapkan menjadi anggota Presidium PB IDI, tanpa memerlukan mekanisme pemilihan lagi. Salah satu di antara anggota presidium tersebut perlu ditetapkan menjadi ketua presidium merangkap anggota, yang selanjutnya akan dirotasi menurut periode waktu tertentu sesuai keputusan muktamar. Semua ini harus tertuang di dalam tata laksana organisasinya.

Semoga IDI mampu bertahan sebagai ikatan dan wadah berhimpun bagi dokter Indonesia satu-satunya, menjadi mitra negara, dan sahabat rakyat Indonesia dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Wallahu a'lam bishawab. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga