Ketidakmungkinan Empat Poros Koalisi di Pilpres 2024

Efriza, telisik indonesia
Senin, 08 Mei 2023
0 dilihat
Ketidakmungkinan Empat Poros Koalisi di Pilpres 2024

" PDIP berhasil menghancurkan impian wacana Koalisi besar juga sekaligus membuat kisruh soliditas beberapa koalisi yang telah terbentuk "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

PASCA Ganjar Pranowo ditetapkan sebagai calon presiden (capres) oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bandul koalisi mengalami pergerakan. Wacana Koalisi Besar yang direncanakan oleh sejumlah partai-partai politik pendukung pemerintah, yang juga telah disetujui oleh Presiden Jokowi, berakhir berantakan.

PDIP yang mengumumkan mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres, disinyalir melakukan pengumuman itu bukan hanya dipercepat tetapi juga sebagai bagian dari strategi politik. PDIP berhasil menghancurkan impian wacana Koalisi besar juga sekaligus membuat kisruh soliditas beberapa koalisi yang telah terbentuk.  

Sebelum PDIP melakukan pengumuman itu, PDIP terlihat pasif tanpa pergerakan, sebaliknya delapan partai lainnya yang berada di parlemen melakukan pendekatan dengan membentuk koalisi seperti, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Partai Golkar) membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

Sedangkan, Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) bersama dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).

Selanjutnya, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) bersama Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).

Namun, PDIP yang telah menyatakan dirinya akan berkoalisi ketimbang memilih mencalonkan paket pasangan calon sendiri, telah membuat soliditas ketiga koalisi ini mulai diragukan oleh publik kekompakannya.

KIB Auto Bubar

Pasca Ganjar Pranowo ditetapkan sebagai capres dari PDIP. PPP langsung bergerak mendeklarasikan Ganjar, sebagai partai pertama yang lolos ambang batas parlemen diluar partainya yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai capresnya.

Langkah ini membuat kisruh juga meruntuhkan soliditas KIB, sebab PPP melakukannya untuk kepentingan partainya sendiri tanpa atas nama koalisi.

PPP memang sudah berada dalam kendali Presiden Joko Widodo. PPP telah dijinakkan oleh Jokowi, tidak lagi independen dalam mengambil keputusan ini terjadi pasca pelengseran Ketua Umum Suharso Manoarfa kepada Mardiono, yang sebelumnya Mardiono merupakan bagian dari dewan pertimbangan presiden (wantimpres).

Sehingga apa yang diarahkan oleh Jokowi dapat disinyalir akan dilakukan oleh PPP. PPP memang saat ini terbebani dengan elektabilitas partai ini yang diprediksi tidak akan lolos ambang batas parlemen. PPP yang selama ini pasif dalam hiruk-pikuk Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) menjadi lebih aktif.

Ia melakukan dua langkah sekaligus, pertama, berhasil membujuk Sandiaga Uno untuk memikirkan opsi keluar dari Gerindra dan sekaligus melakukan upaya menjadikan Sandiaga Uno sebagai kader PPP untuk berjuang sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Ganjar Pranowo dengan partai PPP.

Baca Juga: Habis Manis, Nasdem Dibuang

Langkah ini diambil oleh PPP untuk mencoba peruntungan yang dinilai akan berdampak positif pada kenaikan raupan jumlah suara PPP di Pemilu Serentak nanti, anggapan ini terjadi melihat contoh nyata Nasdem yang dua kali meraih kenaikan suara dan peringkat karena mengusung Jokowi sebagai presiden lebih dulu.

Langkah PPP juga sekaligus menunjukkan PPP tidak lagi mempedulikan KIB. Keputusan PPP sudah final, terserah PAN dan Golkar akan mengikutinya atau malah memilih berseberangan dengan bergabung pada koalisi lainnya yang ada.

Secara riil kita dapat dinyatakan KIB sudah bubar, tetapi secara politik meski ketiga partai ini merasa KIB masih solid namun bagi penulis itu bukan lagi koalisi solid tetapi perkumpulan ketiga partai semata. Wacana Koalisi besar telah menyebabkan resistensi Golkar dengan PDIP.

Partai ini utamanya juga Airlangga Hartarto dirasa malu jika bersama PDIP. Saat wacana koalisi besar berhembus, Airlangga merasa jumawa, ia melihat kans dia besar menjadi cawapres mendamping Prabowo Subianto. Ia pun mencoba “mengusir” PDIP untuk gabung dalam Koalisi Besar dengan komunikasi berupa penolakan keikutsertaan PDIP apalagi jika PDIP minta jatah cawapres.

Airlangga merasa koalisi pendukung pemerintah dalam Koalisi Besar ini akan menyetujui dirinya mendampingi Prabowo, karena Golkar peringkat ketiga, dan juga Golkar merasa lebih punya pengalaman tinggi karena jam terbang juga partai ini telah lama berdiri di negeri ini.

Hanya saja, ternyata Airlangga dipermalukan. PPP malah menyeberang kepada PDIP pasca Ganjar Pranowo diumumkan sebagai capres PDIP.

KKIR Masih Gamang

KKIR punya problematika sendiri. Gerindra enggan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres pendamping Prabowo. Sehingga ditenggarai proses penentuan pendamping Prabowo tersendat dalam membangun komunikasi untuk kesepakatan.

Peluang ini yang coba dimainkan oleh Airlangga Hartarto, karena rasa malu dirinya, sudah berkoar-koar, amat yakin dirinya akan mendampingi Prabowo, disinyalir Golkar mencoba melakukan kepada Prabowo dan Gerindra, agar meski wacana koalisi besar gagal tetapi peluang itu tetap meski dilakukan.

Prabowo diyakini enggan juga bersama Airlangga Hartarto sebagai pasangan calonnya di Pilpres, tetapi Prabowo menyambut dengan senang hati jika Golkar bergabung dengan KKIR. Hanya saja, ternyata menimbulkan kekecewaan yang tidak menonjol dipermukaan terhadap Muhaimin Iskandar.

Gerindra langsung bergerak cepat, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerindra berkomentar Muhaimin Iskandar sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto.

Hal ini dilakukan untuk meredam kekecewaan Cak Imin untuk sementara, sambil mencoba melobi Golkar untuk begabung. Hanya diluar dugaan, ternyata Airlangga mengetahui, peluang dirinya sebagai pendamping Prabowo juga menyusut drastis. Sehingga Airlangga mencoba bergerak cepat melakukan pendekatan politik kepada PAN, PD, dan PKB.

Airlangga mencoba mengupayakan membangun Koalisi Baru. Golkar mengapungkan wacana empat koalisi menuju Pilpres 2024 mendatang. Dengan masih kalemnya pergerakan PAN, disinyalir Golkar merasa sudah satu frekuensi.

Sehingga Airlangga mencoba membujuk PD, dengan mengambil hati Agus Harimurti Yudhyono (AHY) melalui membesarkan antusiasnya. Ketika AHY terlihat menyusut peluang menjadi Cawapres pendamping Anies Baswedan, Airlangga mencoba megajak jika pasangannya Airlangga Hartarto-AHY.

Tetapi Airlanggga merasa peluang ini juga tidak direspons positif. Maka Airlangga merayu Muhaimin dan PKB bersama Airlangga dan Golkar. Airlangga memahami masih terbuka dirinya, apalagi dengan adanya Muhaimin dan PKB, juga memungkinkan mengajak PD kemudian Demokrat menyetujuinya.

Sebab selama dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PKB merupakan partai yang loyal, bahkan saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 lalu Pasangan AHY-Slyviana Murni didukung juga oleh PKB.

KPP Pergerakan Menurun

Setelah deklarasi, KPP mengalami penurunan pergerakan. Disebabkan Nasdem pergerakannya “terikat” oleh permainan politik dari Presiden Jokowi karena masih bersama di pemerintahan. KPP juga mengalami penurunan soliditas, dari kekecewaan PD.

Partai Demokrat merasa, tanpa PD maka KPP tidak akan jadi terbentuk, impian Anies pun sirna menjadi capres di Pilpres 2024 ini.

Bandul politik juga mengalami pergerakan. Sebab Istana berusaha menggoyang Nasdem untuk memikirkan kembali langkah politiknya mendukung Anies Baswedan.

Nasdem diajak berpikir kembali, pasca Ganjar Pranowo ditetapkan, sebab Nasdem memang awalnya lebih memilih Ganjar Pranowo dibandingkan Anies Baswedan.

Nasdem diprediksi masih kukuh bersama KPP. Sedangkan Demokrat juga terlihat masih solid mendukung KPP.

Maka langkah yang dilakukan Istana adalah intens membangun komunikasi dengan Nasdem, jika KPP tetap terbentuk, setidaknya Istana bisa memberikan masukan mengenai cawapres pendamping Anies Baswedan, minimal Anies tidak sepenuhnya sebagai Antitesa Jokowi.

Istana memang melakukan pendekatan langsung kepada Nasdem tetapi melalui Luhut Binsar Pandjaitan yang beberapa kali menemui Surya Paloh, pertemuan ini diyakini tidak mungkin tanpa adanya pendekatan politik.

Koalisi Empat Poros Ketidakmungkinan di Antara Kemungkinan

Pergerakan Golkar yang merasa sebagai partai peringkat ketiga sehingga merasa layak sebagai capres juga mencoba membangun koalisi baru telah menghembuskan rencana koalisi empat poros di Pilpres 2024 ini.

Baca Juga: Gonjang-ganjing Mundurnya Sandiaga Uno

Airlangga bagi Penulis, melakukan langkah ini, agar ia terlihat serius dan berkeringat menawarkan dirinya juga menunjukkan Golkar tidak bisa dianggap sebagai partai pelengkap koalisi saja.

Koalisi empat poros yang direncanakan oleh Golkar diyakini sulit terbentuk. Meski memungkinkan tetapi ketidakmungkinan lebih kuat. Sebab, PAN tidak jauh berbeda dengan PPP, mereka dibawah kendali Presiden Jokowi. Saat ini PAN yang memegang peranan sebagai pemain kunci dalam pergerakan politiknya terwujudnya empat poros koalisi.

Peranan PAN saat ini masih pasif, karena menunggu arahan dari Presiden Jokowi, sehingga PAN masih bisa menjadi opsi menyelamatkan KKIR maupun KPP jika rekan koalisi malah menyeberang karena merasa layak membangun Koalisi Poros baru ketimbang tetap bertahan dengan pilihan koalisi lamanya yang sebelumnya telah disepakati.

Jika Golkar dan PKB berkoalisi, maka KKIR akan gagal sebagai koalisi yang ikut Pilpres 2024. Oleh sebab itu, maka Gerindra harus mencari rekan baru untuk berkoalisi, tentu yang memungkinkan adalah PAN yang memang KIB sudah bubar.

Sedangkan jika KPP malah yang bubar, misalnya PD bergabung dengan Golkar, maka PAN yang memungkinkan untuk menutupi presentase angka yang ditinggalkan oleh PD untuk memenuhi ketentuan presidential threshold sebagai syarat pembentukan koalisi di Pilpres.

Diyakini utamanya Airlangga Hartarto hanya melakukan pergerakan, sekali lagi ditegaskan, hanya agar ia terlihat serius dan berkeringat. Sebab ia telah diajukan sebagai capres Golkar, tetapi elektabilitasnya masih tetap dipapan bawah Pilpres, ia tidak menyadari bahwa dirnya dianggap oleh masyarakat sebagai sosok yang layak sebagai capres dan cawapres.  

Sedangkan saat ini, Golkar yang memang terdiri dari faksi-faksi, telah menunjukkan pergerakan melalui patronnya, seperti Jusuf Kalla yang mendorong juga terlibat aktif dalam KPP karena Anies Baswedan dinilai layak sebagai capres.

Sisi yang lain, Airlangga yang disinyalir juga didukung oleh Aburizal Bakrie, keduanya melakukan pertemuan dengan Prabowo Subianto, ini menunjukkan Aburizal dapat saja lebih menyenangi jika Airlangga berjuang bersama Prabowo Subianto dibandingkan memilih membangun koalisi empat poros.

Andaipun koalisi empat poros, bagi penulis, koalisi keempat merupakan koalisi dari partai-partai barisan sakit hati. Koalisi dari partai-partai politik yang kecewa karena tidak dapat berperan besar dalam koalisi.

Malah ditenggarai poros koalisi keempat paling lemah kiprahnya jika terwujud, poros koalisi keempat bukanlah pasangan calon presiden/calon wakil presiden alternatif maupun kuda hitam.

Sekali lagi ditegaskan, barisan koalisi keempat diprediksi malah koalisi terlemah dibandingkan ketiga poros koalisi yang ada, sederhana alasannya karena tiga calon presiden yang ada saat ini adalah elektabilitasnya yang tinggi yakni Prabowo, Ganjar dan Anies. Sedangkan, jika koalisi ini diusung maka standar calon presiden tersebut adalah dalam elektabilitas cawapres semata.

Malah memungkinkan pasangan capres-cawapres dari koalisi poros keempat adalah pasangan yang elektabilitasnya berada di papan degradasi capres-cawapres, bahasa sarkasnya adalah sosok capres-cawapres yang sudah dianggap tak layak oleh masyarakat berdasarkan elektabilitas. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga