Tinggal Kenangan: 'Cawapres Rasa Presiden,' Jika Ganjar-Mahfud Terpilih

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 18 Februari 2024
0 dilihat
Tinggal Kenangan: 'Cawapres Rasa Presiden,' Jika Ganjar-Mahfud Terpilih
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Pasangan Ganjar-Mahfud meskipun dari hasil penghitungan suara real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar 64,8 persen berada pada posisi buncit, diprediksi juga hanya satu putaran yang dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

PASANGAN Ganjar-Mahfud meskipun dari hasil penghitungan suara real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar 64,8 persen berada pada posisi buncit, diprediksi juga hanya satu putaran yang dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran.

Tetapi, tulisan terakhir, sepertinya patut tetap disajikan tentang hubungan capres dan cawapresnya jika terpilih, dengan sedikit penambahan kajian kekinian pasca Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang diusungnya yakni Ganjar-Mahfud pasca kalah dari Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 ini.

Jika dicermati ketiga pasangan capres punya kelemahan bawaan masing-masing. Dua tulisan sudah mengungkapkan dua pasangan dari nomor urut 01 dan 02, sekarang tulisan terakhir nomor urut 03.

Jika salah satu dari ketiga pasangan capres ini terpilih, kemungkinan besar pemerintahan akan bergoyang dengan kencang dari dalam pemerintahan maupun dari luar pemerintahan. Ketiga pasangan ini, diyakini jika salah satunya terpilih memungkinkan terjadinya persaingan yang kuat baik langsung maupun tidak langsung antara capres terpilih dengan calon wakil presiden (cawapres) terpilih.

Cawapres ketiga pasangan calon memiliki pengaruh yang cukup besar. Bahkan, pemerintahan ketiga pasangan ini harus diakui bahwa kekuatan besarnya berada di posisi cawapresnya. Sehingga topangan kokoh dari cawapres menyebabkan cawapres terpilih nanti diprediksi layak dianggap “cawapres rasa capres,” bahasa Sarkasnya, wakil presiden nanti sebagai “the real president.”

Tulisan ini adalah ulasan terakhir dari pasangan terakhir yang memang dihadirkan secara bersambung per minggunya. Kita akan kupas pasangan Ganjar-Mahfud, sebagai berikut.

Ganjar-Mahfud Beda Karakter

Saat Pilpres, Mahfud tampak tak dieksplore, ia juga tampak menerima diarahkan oleh PDIP. Ganjar yang lebih menonjol, ini semua untuk kebutuhan strategi politik. Meskipun, terkesan Mahfud tampak nyaman, menerimanya. Padahal disinyalir tidak, pribadi Mahfud tipikalnya kuat akan pendirian dan pemikiran, orang seperti ini agak keras kepala (koppig).

Lihat saja, ketika ramai-ramai PDIP menghujat Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mahfud tetap melindungi Pemerintahan ini. Ketika itu misalnya, Mahfud masih bergeming untuk tidak menghujat Presiden Jokowi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Di debat cawapres pertama, Mahfud juga masih menunjukkan sikap santun dan bijak. Ia tak tampak rivalitasnya dengan Gibran. Mahfud juga ketimbang menghujat pemerintahan sekarang, lebih memilih menawarkan gagasan.  

Sikap Mahfud tentu saja berbeda dengan pola yang dilakukan oleh Ganjar. Ganjar yang menyerang Prabowo maupun Pemerintahan Jokowi yang adalah Pemerintahan PDIP.

Jokowi adalah tetap kader PDIP, tetapi Jokowi dijadikan sasaran oleh PDIP. Sikap PDIP melalui Hasto sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen), maupun kader-kader elite dari PDIP akan terus menghujat pemerintah dan juga personal Jokowi maupun Gibran.

Baca Juga: Kecewa Keputusan Mundur Mahfud MD

Dapat dikatakan bahwa Mahfud masih sempat berperilaku santun, bijak, tetapi terbawa maupun akhirnya mengikuti rekan-rekannya di PDIP. Sedangkan Ganjar memang personalnya adalah arogan, jumawa, dan tinggi hati. Mirip dengan PDIP yang merasa bahwa mereka partai lama, partai penguasa, partai peringkat pertama, jadi terkesan Pemilih itu dianggap berposisi top-down mengikuti arahan PDIP sebagai partai penguasa.

Mahfud Awalnya akan Berperan Penting

Awalnya Mahfud sudah menyatakan, bahwa ia menolak untuk meninggalkan kursi menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan Indonesia (Menkopolhukam). Ia sudah menjelaskan akan menyelesaikan tugas besar yang sedang dijalankannya. Bahkan, andai ia terpilih sebagai pemenang di PIlpres, maka ia tetap ingin bersama Jokowi sampai akhir masa jabatan.

Namun sayangnya, Mahfud harus mengikuti maunya Ganjar dan PDIP untuk mundur dari kabinet sebagai pembantu Presiden Jokowi.

Meski begitu, diyakini pengalaman Mahfud di tiga lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, ditenggarai yang akan mewarnai pemerintahan ke depan, andaikan Ganjar-Mahfud terpilih.

Mahfud diyakini bukan sosok seperti Ma'ruf Amin, yang bisa menerima diposisikan dirinya sebagai cawapres hanya sekadar mengkomunikasikan kebijakan pemerintahan semata. Mahfud mengingatkan kita akan sosok cawapres Jusuf Kalla (JK), di periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

JK yang lebih berperan besar, sehingga JK sempat dianggap the real president. JK juga mencolok di era Jokowi periode pertama. Pemerintahan Jokowi riuh-rendah karena Presiden dan Wakil Presiden sama-sama berpengaruh.

Kehadiran Mahfud bersama Ganjar ditenggarai akan terjadi layaknya dua nakhoda pemerintahan. Riuh-rendah pemerintahan akan menghangat di antara dua kepentingan capres dan cawapres.

Hanya bedanya, Mahfud sosok politisi non-partai artinya ia berdiri untuk kepentingan masyarakat seperti ditunjukkannya selama ini. Berbeda dengan Ganjar yang harus mengayuh kepentingan dari PDIP maupun partai-partai lain di pemerintahan sebagai konsekuensi politisi partai.

Ganjar juga diyakini yang memungkinkan akan lebih banyak bersama masyarakat, bermain media sosial untuk menghibur dirinya, mengurangi ketegangan dirinya bekerjasama dengan Mahfud. Ini dilakukan Ganjar untuk menghindari persepsi negatif publik terhadap dirinya sebagai presiden.

Andai kita menganggap sosok Mahfud sebagai cawapres rasa capres. Patut dicatat bahwa itu bukan karena kesadaran diri, maupun disengaja ingin menonjolkan dirinya, maupun ingin merebut peran Ganjar sebagai Presiden, tentu saja tidak, tetapi itu terjadi secara alamiah.

Sebab Mahfud ingin memberikan yang terbaik kepada masyarakat, panggilan dirinya sebagai seorang pekerja profesional. Hanya saja memungkinkan kelemahan Ganjar yang akan membuat Mahfud lebih mengilap sehingga dapat dianggap sebagai the real president oleh publik.

Prediksi ini sebelum Pilpres, yang nyatanya melempar PDIP dari Istana, membuyarkan impian Ganjar-Mahfud untuk terpilih. Posisi kedua saja tidak dapat direngkuh, PDIP sedang ambyar. Lalu, Pasca Pilpres seperti apakah sikap PDIP terhadap Pemerintahan Prabowo-Gibran jika lolos satu putaran dan dilantik sebagai capres-cawapres terpilih.

Pasca Pilpres, PDIP Memilih Oposisi

PDIP diyakini pasca kalah dari pasangan Prabowo-Gibran yang didukung oleh Presiden Jokowi, PDIP akan memilih sebagai oposisi. PDIP akan menolak tawaran bergabung dalam pemerintahan, meski Prabowo jika terpilih akan berusaha mengajak untuk bergabung di pemerintahan, dalam upaya membangun negeri bersama.

Baca Juga: Persaingan Cawapres dengan Capres, Jika Prabowo-Gibran Terpilih

PDIP akan memilih sebagai oposisi. Oposisi PDIP adalah ini tentang harga diri dengan semangat juang yang tinggi karena kekuatan besarnya di Parlemen. Sebab dari hasil quick count, PDIP menempati posisi pertama dan Gerindra menempati posisi ketiga.

Bagi PDIP menjadi oposisi adalah martabat diri organisasi kepartaian. Kemenangan Prabowo-Gibran tak bisa dilepaskan dari peran Jokowi. Seolah telah terjadi, sekali lagi seolah, bak satu orang Jokowi yang merupakan penguasa politik, telah mengalahkan satu organisasi besar bernama PDIP.

PDIP adalah partai lama, partai penguasa, partai besar berperingkat pertama, partai yang lahir karena berjuang melawan pemerintahan otoriter di masa Orde Baru. Miris, ketika "petugas partai"-nya seperti Jokowi, yang dianggap "cupu (culun punya)", “ndeso,” telah membantu Prabowo mengalahkan PDIP.  

PDIP layaknya sedang merasakan Orkes Sakit Hati, seperti dinyanyikan oleh Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP bersama Slank di panggung kampanye akbar terakhir di Kota Bandung.

Sakit Hati ini ditenggarai melipatkan energi besar dari semangat PDIP untuk menjadi oposisi. Hal ini juga didorong oleh fakta bahwa menjadi oposisi, PDIP juga pernah keren, bahkan berhasil memerintah karena dari oposisi di masa Orde Baru dan di Masa Era SBY.

Hanya saja beda nuansa emosinya meski tetap sama yang disakiti adalah Ketua Umum sekaligus Ikon PDIP yakni Megawati Soekarnoputri. Emosinya sekarang, jelas karena Jokowi adalah kadernya PDIP, tetapi malah ia membelot dengan mengendorse Prabowo dan mengajukan anaknya, kalo bahasa Sarkasnya, Jokowi bak anak "durhaka" bagi PDIP kepada ibu ketua umumnya. Jadi opsi ini soal kemarahan dan harga diri organisasi partai.

Meski begitu, PDIP bukanlah marah kepada Prabowo dan Gerindra. Sebab, Megawati dan Prabowo adalah dikenal bersahabat. Tetapi PDIP sakit hati dengan perilaku Jokowi dan keluarganya. Sebab tanpa Jokowi maupun obsesi Gibran, diyakini PDIP bisa "metal akronim menang total" bukan malah tersingkir dari keinginan hattrick di pemerintahan, lalu menjadi "losser", Banteng Moncong Putih terlempar dari Istana.

Ini menyakitkan bagi PDIP. Sebab bagi PDIP mereka meyakini bahwa Prabowo dan Gerindra bisa dijungkalkan oleh mereka ketiga kalinya di Pilpres jika tanpa peran Jokowi. Jadi, andai Prabowo-Gibran ditetapkan satu putaran, maka dinamika politik berupa serangan kepada pemerintahan Jokowi akan kian keras. Bahkan, Pemerintahan Prabowo-Gibran sedang ditunggu dan ditantang “bergelut” layaknya part dua berupa sebelum dan sesudah Pilpres. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga