Demokrasi dalam Bingkai Oligarki

Hananto Widodo, telisik indonesia
Minggu, 26 Mei 2024
0 dilihat
Demokrasi dalam Bingkai Oligarki
Hananto Widodo, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya. Foto: Ist.

" Perbandingan antara sistem demokrasi dan sistem pemerintahan yang otoriter wajar dilakukan oleh hampir sebagian besar negara di dunia, karena sistem demokrasi seringkali menjadi antitesa dari sistem otoriter "

Oleh: Hananto Widodo

Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya

SISTEM pemerintahan demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dipilih oleh sebagian besar negara di belahan dunia. Demokrasi dianggap sebagai sistem yang terbaik dari yang terburuk dari sistem pemerintahan lainnya.

Oleh karena itu, untuk menguatkan hipotesis kalau demokrasi merupakan sistem yang terbaik dibanding sistem lainnya, maka sistem demokrasi seringkali bahkan selalu dibandingkan secara vis a vis dengan sistem pemerintahan yang otoriter.

Perbandingan antara sistem demokrasi dan sistem pemerintahan yang otoriter wajar dilakukan oleh hampir sebagian besar negara di dunia, karena sistem demokrasi seringkali menjadi antitesa dari sistem otoriter. Kita tentu paham, bahwa hampir semua negara-negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi memiliki sejarah yang sama terkait dengan lahirnya sistem demokrasi di masing-masing negara.

Bahkan secara vulgar dapat dikatakan bahwa lahirnya sistem demokrasi di negara-negara yang sebelumnya menganut sistem otoriter, disebabkan kondisi obyektif dari tiap-tiap negara yang mengalami krisis pemerintahan sebelumnya.

Negara Indonesia, sebagai negara yang secara konstitusional memiliki sejarah panjang dalam berdemokrasi.

Mengapa dikatakan secara konstitusional memiliki sejarah panjang dalam berdemokrasi? Karena memang UUD 1945 yang merupakan hukum dasar kita memang secara tegas mengatur kalau Indonesia adalah negara demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen secara tegas menyatakan “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.” Adanya frasa “kedaulatan adalah di tangan rakyat,” menandakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.

Terdapat beberapa konsep demokrasi yang pernah dianut oleh Indonesia, seperti demokrasi terpimpin ala Soekarno dan demokrasi Pancasila ala Suharto. Namun demikian, demokrasi yang pernah kita anut tidaklah dianggap sebagai demokrasi yang sebenarnya. Baik Soekarno maupun Suharto selalu menggunakan dalih bahwa demokrasi kita ini beda dengan demokrasi ala barat.

Baca Juga: KDRT dan Subordinasi Laki-Laki

Demokrasi ala barat tidak akan cocok jika diterapkan di Indonesia.  

Boleh saja Soekarno dan Suharto berdalih bahwa demokrasi barat tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia. Namun yang harus kita pahami bahwa demokrasi itu merupakan asas universal bukan sekadar asas yang bersifat lokal.

Terdapat beberapa indikator yang harus dimiliki oleh negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi. Seperti terjaminnya kebebasan warga untuk menyampaikan pendapatnya dan adanya pemilu yang diadakan secara berkala.

Masa Reformasi dianggap sebagai tonggak dimulainya era demokrasi baru di Indonesia. Karena pada masa Orba juga mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi, maka demokrasi pada era reformasi merupakan antithesis terhadap konsep demokrasi era Orba. Dengan demikian, maka terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara demokrasi era Orba dan demokrasi era reformasi.

Pertanyaannya apakah demokrasi pada era reformasi lebih baik dibandingkan demokrasi pada era Orba? Jika melihat pada segi penguatan kelembagaan, memang demokrasi era reformasi jauh lebih baik dibandingkan demokrasi era Orba. Pada era reformasi, pemilu diselenggarakan oleh KPU yang independen.

Di samping itu juga ada Bawaslu yang senantiasa mengawasi setiap langkah KPU. Belum lagi ada DKPP yang siap untuk menghukum anggota KPU dan Bawaslu yang melanggar etik. Terdapat juga pengadilan khusus untuk menangani sengketa hasil pemilu, yakni MK.

Secara konseptual, tentu tidak cukup untuk mengukur keberhasilan demokrasi hanya dilihat dari aspek penguatan kelembagaan saja. Sebab secara konseptual, demokrasi bukan hanya sekedar hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya.

Menurut Miriam Budiarjo, demokrasi juga harus dimaknai sebagai kegiatan politik warga untuk memengaruhi kebijakan Pemerintah. Apakah selama ini warga masyarakat telah menggunakan haknya untuk memengaruhi kebijakan dari pemerintah?

Sekarang ini kita sedang dipertontonkan dengan drama pembentukan beberapa UU yang dilakukan secara diam-diam alias nir partisipasi dari masyarakat, seperti RUU Penyiaran, revisi UU MK dan revisi UU Kementerian. Ini hanya sebagian saja dari drama pembentukan UU yang nir partisipasi. Masih ada UU lainnya yang dibentuk tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, seperti UU IKN.

Bagaimanapun peran serta masyarakat dalam proses pembentukan UU harus diprioritaskan. Karena RUU ketika diberlakukan menjadi UU akan mengikat masyarakat, sehingga masyarakat harus didengar pendapatnya terkait substansi dari UU yang akan diberlakukan itu.

Baca Juga: Selusin Negara yang Pisahkan Ibu Kota

Pemberlakuan UU tanpa melibatkan partisipasi masyarakat menandakan bahwa penentuan kebijakan di negeri ini hanya diputus oleh segelintir orang saja. Pengambilan Keputusan hanya oleh segelintir orang merupakan bentuk oligarki yang berjalan dalam sistem demokrasi.

Kehendak dari segelintir orang penguasa yang menentukan suatu kebijakan yang berupa UU ini tanpa melibatkan partisipasi masyarakat ini, tentu patut dicurigai bahwa kehendak mereka adalah semata-mata untuk kepentingan mereka bukan untuk kepentingan masyarakat dalam artian luas.

Hal ini tentu merupakan ironi dari negara yang mengklaim dirinya demokrasi. Demokrasi tidak bisa dipersepsikan hanya sekedar pemilu untuk memilih pemimpinnya. Namun, ketika pemimpin itu telah terpilih, maka hubungan antara yang memilih dan dipilih harus terus berjalan.

Adanya partisipasi warga untuk memengaruhi kebijakan Pemerintah itu juga dalam menjalin relasi antara yang memilih dan yang terpilih. Pelibatan masyarakat dalam proses pembentukan UU merupakan bentuk tanggung jawab dari yang terpilih kepada yang memilih.

Oleh karena itu, jika pemerintah dan DPR abai terhadap aspirasi masyarakat, maka value dari demokrasi kita masih sangat rendah. Relasi antara Pemerintah, DPR dan warga masyarakat hanya sekedar relasi yang tidak saling menguntungkan. Warga masyarakat hanya dimanfaatkan sekadar untuk kepentingan elektoral. Setelah itu hubungan antara yang terpilih dan memilih menjadi terputus. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga