Ekonomi Lokal

Indarwati Aminuddin, telisik indonesia
Minggu, 01 Maret 2020
0 dilihat
Ekonomi Lokal
Indarwati Aminuddin Ombudsman telisik.id

" Yah sekitar Rp 5 juta setahun. "

Oleh: Indarwati Aminuddin
Ombudsman telisik.id


Seorang perempuan tua, Mak Ina—ia lupa usianya, namun menyebutkan sudah menjadi gadis saat Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan---, artinya kemungkinan usia ia sekitar 70 an tahun, memasuki rumah jabatan bupati Buton Utara, Sulawesi Tenggara. 

Ia sebenarnya tak tahu siapa yang mendiami rumah berwarna putih dengan halaman luas ini. Di punggungnya, sekitar 30 sapu lidi terlilit sarung. Ia memegang 3 sapu di tangan kiri. Penjaga rumah jabatan tidak melarang ia masuk, jadi ia masuk dan berhenti depan beranda. Mengajak si pemilik mengobrol sembari ia menawarkan sapunya. 

Si pemilik rumah, Ibu Hj Sitti Rabiah Abu Hasan, menanyakan harga, proses kerja sapu, alamat perempuan dan sebagainya. Mak Ina mengatakan, ia membuat sekitar 100 sapu lidi sebulan. Ini sapu yang benar benar bagus, ukurannya lebih dari segenggaman tangan, gemuk dan panjangnya cukup membuat punggung tegak saat digunakan. Harga per sapu Rp 10.000. Per hari ia bisa menjual sekitar 1-3 sapu. Dalam sebulan ia bisa mengumpulkan uang Rp 400 ribu dari penjualan sapu, “Yah sekitar Rp 5 juta setahun,” ceritanya.

Mak Ina, berjalan kaki di sepanjang ruas jalan Ereka, Buton Utara, untuk mengumpulkan uang. Dalam keadaan tertentu ia bertemu orang orang baik yang membeli sapu dalam jumlah banyak dan ia di bayar lebih. “Uang akan saya kumpulkan untuk periksa mata di Kendari,” Ia membuka kacamata dan menunjukkan mata kirinya yang dipenuhi selaput putih. “Susah melihat” jelasnya. 

Mak Ina adalah pekerja mandiri. Secara sederhana, apa yang ia kerjakan menunjukkan bagaimana perekonomian Buton Utara bersumber dari sumberdaya sekitar untuk sejumlah pekerjaan seperti berkebun,bercocok tanam di sawah atau di perikanan. 

Buton Utara (bagian dari Pulau Buton) memang dikenal kaya dengan sumberdaya alam. Buton memiliki potensi yang menggiurkan, sedikit explosive, misalnya aspal, minyak bumi, emas dan beberapa informasi menyebutkan uranium. Tapi hasil yang non explosive juga melimpah baik dari perkebunan; beras merah, putih, coklat, hitam, perikanan; tuna dan rumput laut, dan berbagai hasil hutan; kelapa, mete dan sebagainya.  

Tapi tampaknya pemimpin Buton Utara saat ini memiliki pemikiran jangka panjang, tidak berambisi mendapatkan limpahan uang secara cepat melalui explorasi dan exploitasi tambang, ia justru memilih jalan panjang yang seringkali membuat sakit kepala karena mata rantainya berliku liku; mendorong masyarakat paham standar pertanian, memastikan kualitas control produk, mencarikan pasar dan sebagainya. Ini bukan pekerjaan mudah.

Komitmen Pemerintah Buton Utara mengingatkan pada komitmen Pemerintah Jepang ; menghidupkan pertanian. Pasca perang dunia ke-2, Pemerintah Jepang menjadikan pertanian sebagai penggerak utama ekonomi mereka. Tak tanggung tanggung semua upaya digunakan untuk menjadikan pertanian sebagai sektor utama dan hasilnya adalah Jepang adalah negara dengan sistem pertanian terbaik di dunia.  

Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Pemerintah Jepang hingga pertanian mereka tumbuh jadi tulang punggung?  Pemerintah mengatur harga, memberikan subsidi, melindungi produk local, menyediakan dan bahkan membagi lahan. Ekonomi kerakyatan bukan hanya theory, ini malah dibuktikan dengan menghidupkan koperasi pertanian Jepang. 

Lembaga inilah yang bertugas seperti sebagian besar Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) atau Koperasi di Indonesia yakni mengumpulkan, mengangkut, mendistribusikan hingga menjual produk pertanian. Koperasi Jepang bahkan menyediakan sarana produksi lengkap. Saking kuatnya, koperasi Jepang juga mengatur pengolahan produk, bertindak sebagai bank, menyediakan asuransi dan layanan kesehatan. 

Pokoknya petani harus sejahtera dan kerusakan alam menjadi minim. Untuk sampai kearah maksimal,koperasi Jepang membangun jaringan secara besar besaran ke semua supermarket local, pasar international dan ke wilayah Pemerintahan Jepang lainnya. Pemerintah Jepang bahkan menetapkan harga produk impor tak boleh lebih murah dari harga produk local. Kan aneh, kalau harga beras dari negara lain lebih murah da bertebaran di Jepang. 

Kembali ke Buton Utara, saya berkesempatan diajak mengunjungi bakal calon gudang kopra, melihat mete, melihat showroom toko oleh oleh dan berkunjung ke pasar Buton Utara. Ini serpihan serpihan kecil yang telah dibangun di Buton Utara. Produk beras merah, mete, virgin oil, kopra putih dan beberapa jenis produk lainnya bahkan sudah melewati tahapan pengemasan yang cantik. Selesai? Belum.

Pemerintah Buton Utara masih harus meyakinkan pasar bahwa produk mereka adalah produk organic, bukan produk instan yang berbau petsisida.  

Jalan masih panjang kearah sana. Saya yakin Pemerintah Buton Utara memiliki optimistic dan kesempatan yang cukup untuk mensejahterakan rakyatnya. Melihat Mak Ina yang menawarkan dagangannya, mengunjungi pasar yang bertaburan produk local, dan melewati kebun kebun yang sehat sudah cukup menjadi melegakan, ahh ternyata masih ada pemerintah yang komitmen untuk meningkatkan status kebutuhan social masyarakatnya tanpa meminggirkan ekosistem alam ini. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga