Giat Vaksinasi dan Gelombang Kedua COVID-19

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 27 Juni 2021
0 dilihat
Giat Vaksinasi dan Gelombang Kedua COVID-19
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung sejak 2 Maret 2020 lalu, saat ini malah menunjukkan kenaikan drastis di tengah pelaksanaan program vaksinasi COVID-19. "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

PANDEMI COVID-19 yang telah berlangsung sejak 2 Maret 2020 lalu, saat ini malah menunjukkan kenaikan drastis di tengah pelaksanaan program vaksinasi COVID-19.

Kamis lalu adalah rekor selama pandemi COVID-19 berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa melaporkan ada tambahan 20.574 kasus COVID-19 pada 24 Juni 2021.

Kenaikan ini kian mencemaskan dalam narasi-narasi yang disampaikan oleh pemerintah dan juga tenaga kesehatan. Namun, kecemasan ini tak begitu kentara di masyarakat, seperti yang terekspos di pemberitaan bahwa kedislipinan protokol kesehatan dianggap sudah longgar. Dua kondisi yang berbeda malah tampak di permukaan ketika gelombang kedua COVID-19 pasca lebaran melanda Indonesia. Tulisan ini ingin menguraikan permasalahan-permasalahan di atas.

Baca juga: Pasar Gelap Demokrasi

Akar Permasalahan Kenaikan Kasus COVID-19

Kementerian Kesehatan sudah merilis penyebab kenaikan kasus COVID-19 pascamomen lebaran ini dikarenakan adanya peningkatan mobilitas pada saat sebelum pengetatan mudik, pelarangan mudik, bahkan sesudah pelonggaran mudik. Situasi memburuk juga disebabkan lantaran protokol kesehatan yang sudah longgar. Ditambah pula dengan adanya varian baru sehingga mempercepat peningkatan penularan, (cnbcindonesia.com, 24 Juni 2021).

Jika kita pelajari seksama, kenaikan drastis yang terkonfirmasi positif COVID-19 saat ini sangat mengkhawatirkan. Masyarakat memang terlihat mulai jengah dengan situasi pandemi COVID-19 ini. Tetapi penyebab utamanya juga disumbang oleh kebijakan, keputusan, dan perilaku pemerintah yang dinilai tak konsisten dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Terkesan tindakan tidak tegas dan tak konsisten pemerintah, dianggap hal lumrah. Padahal ini menjadi bumerang bagi pemerintah. Ketika masyarakat diminta tidak mudik, tetapi tak terdengar lagi sosialisasi yang efektif seperti pada awal pandemi merebak yakni #dirumahaja.

Pemerintah malah terkesan pilih-pilih, seperti mudik di larang, tetapi tidak menutup penerbangan bahkan kelonggaran warga negara lain untuk keluar masuk Indonesia. Pembatasan mobilisasi juga tak efektif karena Pemerintah Pusat tak berkordinasi dengan baik kepada Pemerintah Daerah, sehingga pelarangan mudik dilakukan tetapi pusat perbelanjaan dan wisata tetap dibuka.

Ketidakkonsistenan ini terjadi disebabkan kebijakan politik Presiden Jokowi adalah segitiga keberimbangan. Stabilitas negara diletakkan dalam perspektif tiga sisi yang terdiri atas prioritas politik, prioritas ekonomi, dan prioritas kesehatan. Prioritas ekonomi ini juga di dalamnya diletakkan kepentingan pembangunan infrastruktur layaknya merek dari kerja Presiden Jokowi.  

Dari ketiga prioritas ini tentu saja, tak ada yang lebih dominan, melainkan dijalankan secara bersama-sama. Tetapi sayangnya, hal ini malah menyebabkan ketidakkonsistenan perilaku pemerintah dan ketidaktegasan keputusan pemerintah.

Baca juga: Relawan Jokowi Ibarat Faksi dari PDI Perjuangan

Upaya Pemerintah Menghadapi Lonjakan Kasus COVID-19

Harus diakui pemerintah telah bergerak cepat merespons lonjakan kasus COVID-19. Pemerintah kian gencar untuk mengupayakan masyarakat mencapai herd imunity, ditunjukkan dengan Indonesia telah menerima 104.728.400 dosis vaksin dari Sinovac, AstraZeneca, dan Sinopharm, (IG Jokowi, 22 Juni 2021).  

Gencarnya upaya mencapai herd imunity, disebabkan akselarasi vaksin di Indonesia masih sangat lambat yakni di bawah 5 persen, masyarakat yang sudah divaksin baru sebanyak 14.606.331 orang. Akselarasi ini tentu saja belum mencapai target pemerintah untuk herd imunity mencakup 70 persen atau sekitar 188,5 juta, (lokadata.id, 23 Mei 2021).

Pemerintah juga merespons cepat dari imbas peningkatan kasus konfirmasi COVID-19 berupa berkurangnya ketersediaan tempat tidur bagi pasien COVID-19. Keterisian tempat tidur cukup tinggi terutama di daerah Jakarta dan sekitar, sehingga Kemenkes menunjuk 3 rumah sakit vertikal yang berada di bawah naungannya sebagai rumah sakit perawatan pasien COVID-19 yakni RSUP Fatmawati, RSPI Sulianti Saroso, dan RSUP Persahabatan, (kemenkes, 24 Juni 2021).  

Bahkan, Kementerian Agama juga kembali mengizinkan asrama haji digunakan kembali sebagai ruang isolasi COVID-19. Setidaknya ada 27 dari asrama haji di seluruh Indonesia yang siap digunakan untuk penanggan pasien, (merdeka.com, 21 Juni 2021).

Upaya pemerintah menanggulangi pandemi COVID-19 disertai dengan pemerintah tetap memilih Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro di berbagai daerah, yang disertai dengan menggenjot pelaksanaan vaksinasi massal untuk mengejar kekebalan komunal terhadap COVID-19.

Baca juga: Kemunculan Kandidat Tanpa Perhitungan Politik

Saran

Situasi di Indonesia adalah dilematis. Pemerintah dalam menjalankan keputusan, kebijakan, dan berperilaku cenderung tak konsisten akhirnya berdampak terhadap kekesalan di tingkat masyarakat.  

Masyarakat yang terpapar arus informasi yang  begitu cepat juga merespons pandemi COVID-19 dengan tidak bijak. Ini terjadi seperti aksi protes warga terhadap kebijakan penyekatan dan swab antigen yang terjadi di Suramadu baru-baru ini.  

Ditambah lagi, persoalan perilaku oknum nakal, yang turut menyusutkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah bahkan turut menyasar rumah sakit. Pada Minggu kemarin, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) angkat bicara perihal tudingan rumah sakit yang “meng-COVID-kan pasiennya.”  

Tentu saja, perilaku “meng-COVID-kan pasien,” dapat terjadi karena ulah oknum. Sebab jika itu terjadi, akan berdampak sangat buruk untuk rumah sakit se-Indonesia. Di sisi lain juga adanya problematika yang acapkali kurang dipahami oleh masyarakat terkait hasil diagnosis COVID-19. Seperti dianogsis COVID-19 itu membutuhkan waktu, karena virus corona pada dasarnya juga membutuhkan waktu untuk berkembang di tubuh manusia, dan juga hasil pemeriksaan lab sangat tergantung dengan individunya, (detik.com, 20 Juni 2021).

Di tingkat masyarakat sangat variatif dalam merespons gelombang kedua COVID-19 ini. Ketidakpercayaan juga berkembang di tengah-tengah masyarakat, hal mana dapat dikelompokkan kepada yang kesal dengan perilaku pemerintah, maupun yang memang meyakini COVID-19 tidaklah berbahaya.

Padahal mereka yang tidak percaya, dalam hatinya turut meyakini akan COVID-19 ini. Ilustrasinya adalah seseorang yang sesumbar dengan menyatakan diri tidak percaya COVID-19, tetapi ketika ada kawannya yang sakit seperti demam-batuk-pilek, berciri seperti COVID-19, ia juga akan memilih menyingkir untuk sesaat tidak ketemuan, misalnya.  

Di sisi lain, masyarakat juga ada yang mengalami kejenuhan atas situasi COVID-19, maupun merasa sudah punya kekebalan tubuh karena sudah memperoleh sertifikat vaksin.  

Problematik di atas, yang menghasilkan beragam respons miring atas situasi pandemi COVID-19 di Indonesia, seperti yang tidak percaya dimasukkan dalam kategori golongan covidiot, maupun perilaku yang tak benar dari masyarakat dan pemerintah menyebabkan Indonesia malah dicibir dengan bahasa telah mencapai herd stupidity, karena pemerintah dan masyarakat sama-sama abai terhadap pandemi COVID-19.

Melihat persoalan-persoalan di atas apa yang semestinya dilakukan? Untuk mengatasi lonjakan kasus COVID-19 sekarang ini, pemerintah perlu melakukan upaya sebagai berikut.  

Pertama, terkait rumah sakit yakni kesiapan rumah sakit dengan fasilitas layanan kesehatan, ketersediaan fasilitas tempat tidur, dan juga penambahan sumber daya manusia dari tenaga kesehatan. Perlu diperhatikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masing-masing.  

Kedua, untuk mengurangi resiko penularan yang tinggi, maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu konsisten dan tegas dalam penerapan peraturan, melaksanakan pengawasan yang konsisten dan tepat terhadap program pembatasan kegiatan masyarakat yang dilakukan.  

Ketiga, edukasi, sosialisasi dan komunikasi yang intens dari pemerintah terhadap masyarakat, sehingga program pemerintah dapat berjalan dengan lancar, termasuk juga dalam pelaksanaan program pemerintah peningkatan jumlah tes maupun program vaksinasi. Harus diakui, peningkatan jumlah tes memang beresiko semakin tingginya angka konfirmasi positif COVID-19, tetapi peningkatan tes secara masif akan membantu dalam penanganan yang baik seperti isolasi atau karantina, bahkan meminimalisir tingkat penyebarannya.  

Keempat, pemerintah turut juga memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dalam Pandemi COVID-19. Sudah semestinya pemerintah menambah jumlah sasaran penerima bantuan pemerintah, bahkan program dana bantuan bagi yang bekerja di sektor swasta juga patut diperhatikan kembali.  

Dan terakhir, edukasi dalam mempromosikan gaya hidup higienis, perlu disampaikan dan dilaksanakan di masyarakat. Edukasi ini dapat dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat, tak hanya tenaga kesehatan dan pemerintah.

Melainkan juga dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat, Tenaga Pendidik, Pemilik Perusahaan, dan juga seluruh pejabat pada tingkatan hirarki di partai-partai politik, karena Partai Politik semestinya juga berperan aktif dalam mengatasi Pandemi COVID-19 di wilayah-wilayah yang menjadi kekuatan lumbung suaranya. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga