Gonjang-ganjing Mundurnya Sandiaga Uno

Efriza, telisik indonesia
Selasa, 25 April 2023
0 dilihat
Gonjang-ganjing Mundurnya Sandiaga Uno
Efriza, Dosen Ilmu Politik di beberapa kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Partai Gerindar memang dibentuk untuk mengantarkan Prabowo menjadi calon presiden (capres), sehingga meski Prabowo kalah berulang-ulang di Pilpres, tetapi yang akan diajukan sebagai capres tetaplah Prabowo Subianto "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di beberapa kampus dan Owner Penerbitan

SANDIAGA Uno yang akrab disapa Sandi dalam moment Syawal -Lebaran Idul Fitri memilih untuk mengundurkan diri sebagai pengurus dan kader Partai Gerindra. Sandi menyampaikan pamit di acara open house yang digelar oleh Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.

Dasco telah mengonfirmasi keinginan Sandiaga Uno keluar dari Partai Gerindra sejak Desember 2022, hanya saja Sandi belum resmi pamit mundur dari Partai Gerindra.

Moment Open House setelah Sandi berbincang dengan Dasco, disampaikan Dasco bahwa Sandi telah menyampaikan pamit dan juga menitipkan surat dengan amplop tertutup kepada Prabowo Subianto selaku Ketua Umum Partai Gerindra. Dari mundurnya Sandiaga Uno ini ada pembelajaran politik yang dapat kita pelajari.

Obsesi Sandi dan Keinginan PPP

Mundurnya Sandiaga Uno menunjukkan obsesi dirinya yang amat tinggi. Ia masih berharap dirinya dapat turut kembali meramaikan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024, utamanya ia ingin berjuang sebagai calon wakil presiden (Cawapres).

Sandiaga Uno termasuk dari empat menteri yang telah mengungkapkan dirinya berniat maju di Pilpres kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sandi juga telah melakukan diskusi dan pamit kepada Prabowo, juga ia mendapatkan wejangan dari Presiden Jokowi mengenai kontestasi politik. Sandi memang disinyalir juga dilirik dan didukung oleh Jokowi.

Sandi dalam menuju kontestasi Pilpres 2024 ini memang dilirik dan diinginkan oleh Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Mardiono untuk dipinang jelang Pemilu Serentak 2024 ini. Pamitnya Sandi juga memang mengarah kepada dirinya yang akan bergabung sebagai kader PPP nantinya.

Desember 2022 lalu, saat itu diungkapkan oleh Dasco bahwa politisi Gerindra sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Sandiaga Uno akan resmi menjadi anggota PPP sebentar lagi.

Hanya saja Sandi memang belum resmi pamit dan juga menjadi Kader PPP. Setelah ia pamit dari Partai Gerindra, wacananya Sandi akan diumumkan menjadi kader PPP sekitar bulan Mei nanti.  

Rekrutmen Partai ‘Buntu” dan Efek Pamit Sandi

Mundurnya Sandi, sekaligus alarm untuk Gerindra. Mengapa dikatakan alarm atau sebut saja peringatan dini? Tak bisa diabaikan bahwa dalam diri Sandi memendam kekecewaan atas keputusan partainya.

Tak dimungkiri bahwa partai-partai politik di Indonesia terjebak pada personalisasi partai politik, maksudnya aktor individu lebih utama dibandingkan partai politik maupun identitas kolektif lainnya seperti kader-kadernya.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Diendorse, Ganjar Dihujat

Ini juga yang terjadi di Gerindra, partai Gerindar memang dibentuk untuk mengantarkan Prabowo menjadi calon presiden (capres), sehingga meski Prabowo kalah berulang-ulang di Pilpres, tetapi yang akan diajukan sebagai capres tetaplah Prabowo Subianto.

Di dalam tubuh Partai Gerindra juga tampaknya sudah terjebak kepada persepsi diri yang pesimis. Kader-kadernya merasa bahwa Partai Gerindra sebagai partai baru hingga akhirnya berada di peringkat kedua pada Pemilu 2019 lalu, didasari oleh karena figur Prabowo semata.

Personalisasi partai telah membentuk persepsi bahwa Pemimpin partai telah mengidentifikasi dengan partai itu sendiri, sehingga menghilangkan peran keanggotaan partai atau sederhananya peran kader dianggap urutan jauh dibelakang figur Prabowo.

Prabowo meski telah kalah sebanyak 3 kali di Pilpres, tetapi tetap diajukan dan dianggap layak sebagai capres dalam Pilpres 2024 ini. Meski memang tak bisa dimungkiri, Prabowo elektabilitasnya masih berada dalam tiga besar bersama Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Akan tetapi, Gerindra memang selalu mengajukan hanya satu nama capres yakni Prabowo saja, entah sampai berapa kali Pilpres.

Sandi menyadari dirinya tak ada kans ikut Pilpres 2024 ini jika tetap di Gerindra. Ia sempat bertahan di Gerindra, kala itu ada ‘desas-desus’ yang memungkinkan Prabowo memilih tidak maju sebagai capres Gerindra kemudian menyerahkan kesempatan itu kepada Sandiaga Uno. Namun realitasnya tidak terjadi, Prabowo masih sebagai capres dari Partai Gerindra dan juga diterima oleh Prabowo.

Sandi memang pada Pilpres 2019 dapat ikut terlibat sebagai cawapres dari Gerindra, meski tidak secara langsung ia dianggap kader Gerindra. Pernyataan secara tidak langsung, karena Sandi sempat mundur dari jabatan di kepengurusan DPP Partai Gerindra untuk konsentrasi sebagai wakil gubernur. Namun disinyalir ia tetap kader Gerindra saat itu.

Pilpres 2019 lalu, Sandi dipilih sebagai cawapres juga pada posisi waktu last minute, sebab ketika itu Anies Baswedan menolak berpasangan dengan Prabowo. Sehingga opsi terakhir adalah cawapresnya Sandi, tidak dapat dikatakan ini sebuah keberuntungan semata, karena keberuntungan yang tidak cuma-cuma didapatkannya.

Sebab, Sandi mengeluarkan biaya kebutuhan logistik untuk kampanye dengan angka yang lumayan besar. Sehingga wajar, Sandi dapat dipasangkan dengan Prabowo, juga didukung oleh beberapa partai politik koalisi. Realitasnya Pilpres 2019 lalu adalah pasangan paket dari Gerindra yang didukung oleh barisan partai koalisi Indonesia adil makmur.

Pamitnya Sandi, sekali lagi ditegaskan juga menunjukkan kekecewaannya. Sikap Sandi sebagai Ketua Dewan Pembina kemundian pamit mundur, artinya ia menunjukkan sikap kecewanya dengan perilaku santun. Sekaligus ini menunjukkan Sandi tidak patuh mendukung Prabowo seperti yang telah dimintakan kawan-kawannya, maupun mengikuti hasil keputusan partai.

Meski Sandi sempat memilih bertahan, tetapi ia menyadari peluangnya tidaklah realistis tetap bertahan di Partai Gerindra. Apalagi nyatanya mengulang seperti di Pilpres 2019 lalu dengan mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga hal mustahil.

Sehingga cara terbaik bagi Sandi adalah mundur dari kepengurusan dan anggota partai. Kasus Sandi, semestinya menjadi perhatian sekaligus alarm bagi Partai Gerindra, yang perlu diperhatikan adalah soliditas dan loyalitas terhadap partai Gerindra sepertinya mulai terkikis.

Meskipun berkali-kali Sandi beragumentasi menghormati Prabowo sebagai panutannya, tetapi ia akhirnya memilih pamit dari Partai Gerindra yang telah membesarkan namanya.

Efek mundurnya Sandi dapat saja merembet kepada para pendukung Sandi, juga kader-kader lain yang dapat mulai berpikir rasional mensikapi cara Partai Gerindra dalam mengajukan capres yang sampai saat ini telah empat kali Pilpres hanya Prabowo saja yang diajukan.  

Sistem Presidensial Rasa Parlementer

Pembelajaran politik berikutnya dari kasus mundurnya Sandiaga Uno. Semestinya juga diikuti oleh Sandiaga Uno mundur dari kursi menteri. Sebab, kursi menteri yang ia raih milik dan jatah dua kursi menteri yang diberikan oleh Presiden Jokowi pada Partai Gerindra. Sedangkan, Sandi tidak lagi sebagai kader dari Partai Gerindra.

Mengapa Sandi sebaiknya mundur atau direshuffle? Meski Indonesia menerapkan sistem presidensial yang menunjukkan keterpisahan antara lembaga legislatif dan eksekutif. Berbeda dengan sistem parlementer bahwa kabinet memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara partai-partai politik yang ada di dalam parlemen.

Tetapi dengan pola Presiden Jokowi membagi-bagi kursi menteri dari partai-partai pendukungnya menunjukan secara tidak langsung sistem presidensial Indonesia memiliki citra rasa parlementer.  

Jika Sandi tidak mundur sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, maka yang akan terjadi adalah Sandiaga Uno, saat ini sebagai menteri yang statusnya adalah wakaf.

Sandi tak bisa disematkan sebaga sosok profesional sebab pengangkatannya diajukan dari Partai Gerindra, yang diminta oleh Presiden Jokowi untuk menggantikan kader Edy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan) yang tersangkut kasus korupsi.

Diyakini akhir penyelesaiannya diserahkan kepada Presiden Jokowi, dengan argumentasi jabatan menteri adalah hak prerogatif presiden. Hak prerogatif presiden menjadi samar, jika dibandingkan ketika menteri dari Gerindra di reshuffle tetapi tetap jatah Gerindra tak berkurang sebanyak dua kursi, seperti kasus Edy Prabowo yang direshuffle kemudian diganti dengan Sandiaga Uno.

Inilah kerancuan sistem presidensial dengan format sistem multipartai, akhirnya bercitra rasa parlementer. Jika pola Presiden menjalankan hak prerogatifnya dilakukan dengan membagi jatah menteri dari partai-partai politik.

Semestinya Sandi juga harus mundur dari kursi menteri, karena ia melepaskan status sebagai kader Partai Gerindra. Setidaknya, Sandi memang patut di reshuffle oleh Presiden Jokowi sebab lepasnya status dia sebagai kader Partai Gerindra maka semestinya lepas pula jabatan menteri.

Jangan nanti malah semakin rancu, ketika Sandi memilih bergabung sebagai Kader PPP, karena PPP hanya mendapat jatah satu kursi menteri. Jika Sandi nantinya menjadi kader PPP, pertanyaannya adalah status menteri PPP bertambah menjadi dua kursi atau Sandi adalah kader yang bukan dari Gerindra juga bukan dari PPP di kabinet, tetapi Sandi adalah sosok dari “golongan jenis wakaf.”

Baca Juga: Habis Manis, Nasdem Dibuang

Jika demikian, sosok menteri Jokowi adalah dari partai politik, profesional, dan golongan wakaf. Namun diyakini Presiden tidak punya nyali mereshuffle Sandiaga Uno, juga mengabaikan realitas itu, berbeda jika Gerindra yang melakukan resistensi kepada Presiden Jokowi untuk mendorong terjadinya reshuffle terhadap Sandiaga Uno.

PPP Berjuang untuk Elektabilitas

PPP saat ini menuju Pilpres 2024 perlu berjuang keras untuk menaikkan elektabilitasnya. PPP terjerambab dalam persepsi berdasarkan hasil survei sebagai partai yang kemungkinan besar tidak akan lolos Parliamentary Threshold (PT) bersama Partai Amanat Nasional (PAN).

PPP memang telah “diselamatkan” oleh Presiden Jokowi dengan tersingkirnya Ketua Umum PPP Suharso Manoarfa oleh para Majelis dan Mahkamah Partai dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP, juga dalam Rapat Pengurus Harian DPP PPP, Muhammad Mardiono yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden diamanatkan sebagai Plt Ketua Umum PPP menggantikan Suharso Manoarfa.

PPP disinyalir berharap partainya dapat mengajukan cawapres untuk berpasangan dengan Ganjar Pranowo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). PPP mencoba mengapungkan dua nama yang akan mereka usung yang berasal dari kabinet yakni Sandiaga Uno dan Erick Thohir (Menteri Badan Usaha Milik Negara). Pengajuan dua nama ini juga disinyalir sudah direstui oleh Presiden Joko Widodo.

Sehingga, dua nama ini akan turut berjuang mengapungkan namanya dan meloloskan dirinya sebagai cawapres mendampingi Ganjar Pranowo, sebab selain mereka berdua juga ada lima nama lainnya yakni Mahfud MD, Ridwan Kamil, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartato, dan Prabowo Subianto, meski nama yang terakhir sudah menyatakan menolak karena memilih bersikap konsisten maju sebagai capres sesuai amanat Rakerna Partai Gerindra.

Pengajuan dua nama oleh PPP ini, karena melihat pola umum sebelumnya PDIP berkoalisi dengan turut berpasangan bersama partai yang memiliki irisan dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Hanya saja, terlihat jelas kasus Sandi yang berusaha disorongkan oleh PPP adalah upaya pragmatis partai. Dikatakan pragmatis, sebab Sandi sendiri selama ini tidak begitu terlihat memiliki irisan dengan Organisasi Masyarakat dari NU yang terbesar di Indonesia ini, juga Sandi malah cenderung terlihat lebih memiliki irisan dengan kelompok Islam Moderat.

Hanya saja Sandi punya kedekatan dengan mantan Ketua Umum PPP Suharso Manoarfa yang masih kerabat Sandi, juga Sandi disinyalir lebih lincah dan proaktif, bahkan untuk sekadar menghadiri acara-cara di tingkat Dewan Pimpinan Cabang PPP, inilah kelebihannya (ruangpolitik.com, 21 April 2023).

Meski begitu, hingga saat ini kita masih patut menunggu, Sandi akan bergabung dengan PPP dan juga perjuangan Sandi untuk mengikuti kompetisi Pilpres 2024 ini. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Atlit

Atlit

Kolumnis Selasa, 17 Maret 2020
Baca Juga