Eksistensi Tari Fomani di Pulau Siompu Buton Selatan

Ali Iskandar Majid, telisik indonesia
Minggu, 07 Juli 2024
0 dilihat
Eksistensi Tari Fomani di Pulau Siompu Buton Selatan
Dua orang laki-laki dewasa yang tengah mempertunjukkan Tari Fomani di Baruga Binawakili, Nggula-nggula, Siompu, Buton Selatan. Foto: Ali Iskandar Majid/Telisik

" Tari Fomani menjadi salah satu budaya lokal masih terus eksis dan tetap dilestarikan masyarakat di Pulau Siompu Kabupaten Buton Selatan sampai saat ini "

BUTON SELATAN, TELISIK.ID – Tari Fomani menjadi salah satu budaya lokal masih terus eksis dan tetap dilestarikan masyarakat di Pulau Siompu Kabupaten Buton Selatan sampai saat ini.

Pembina Adat Binawakili, Kecamatan Siompu, Pomili Womal mengatakan, Tari Fomani merupakan tari budaya bela diri yang tersirat makna mempertahankan suatu wilayah terhadap perompak yang datang merebut wilayah tersebut.

Dengan demikian, Tari Fomani dapat disebut juga sebagai tari perang yang menanamkan jiwa kesatria dalam diri individu bagi yang memperagakan gerakan tari tersebut.

Tarian yang sudah mulai ada dari tahun 1815 itu, kata Fomani, juga memiliki arti yaitu mengamankan serta gerakan spontanitas untuk mempertahankan baik identitas diri, suku, maupun daerah.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Metaua Bagi Masyarakat Sioumpu Buton Selatan

Kendati tiap-tiap wilayah di Indonesia, khususnya yang masih masuk cakupan kekuasaan Kesultanan Buton memiliki tarian perang. Namun, berbeda halnya dengan Tarian budaya yang dipertama kali diperkenalkan oleh La Paleandala itu .

Dimana para penari Fomani berasal langsung dari keturunan seorang pejuang yang diperintahkan pada masa pemerintahan Kesultanan Buton untuk menjaga perbatasan wilayah Kesultanan Buton itu sendiri, atau yang sudah pernah menjabat sebagai pemangku adat pada wilayah Pulau Siompu.

Tari Fomani umumnya, dimainkan oleh dua orang laki-laki dewasa baik yang berusia paruh baya maupun yang lanjut usia yang tampil dengan kostum kampurui (penutup kepala khas Buton), celana panjang yang dipadukan dengan sarung tenun Buton yang dieratkan dengan sabuk pinggang.

Lalu ada pula kain merah putih yang diliitkan pada sekitar area pundak kanan dan kiri dengan bentuk menyilang menutup area sekitar dada. Hal ini memvisualisasikan keberanian dari masing-masing penari.

Pada pertunjukannya, dua orang laki-laki dewasa akan saling menyerang seakan-akan tengah terjadi pertarungan sengit antara kedua kubu, yang mana diawali dengan gerakan memutar arena pertunjukan seni hingga masing-masing penari menancapkan ujung Pandanga (sebutan untuk tombak) masing-masing kepermukaan tanah.

Selanjutnya, para penari akan mulai melakukan gerakan tarian perang tersebut dengan menggunakan alat parang tradisional Kampue (perang panjang) untuk saling menyerang satu sama lain.

Uniknya sekalipun merupakan tarian perang, properti Ani atau perisai yang digunakan sebagai penangkis serangan dihiasi dengan ikatan bunga cempaka berbagai warna.

Pertunjukan Tari Fomani sendiri selalu diiringi dengan instrument tradisional masyarakat Pulau Sioumpu, yang dihasilkan dari beberapa alat musik tradisional seperti diantaranya Tawa-tawa atau gong berukuran besar dan Katagoba, gendang yang berukuran besar. Umumnya, akan dimainkan oleh Pande Rambi atau pemain instrument alat musik tradisional tersebut.

Tari budaya Fomani hanya dapat dijumpai pada perhelatan acara adat Kamboto dan tradisi Metaua yang kerap tampil di puncak perhelatan acara adat tersebut. Adapun diluar dari acara adat itu, Tari Fomani biasanya akan ditampilkan pada penyambutan tamu-tamu penting yang datang berkunjung di Pulau Siompu.

Baca Juga: Buton Selatan Bakal Didominasi Cuaca Berawan untuk 3 Hari Kedepan

Sampai saat ini, keberadaan budaya Tari Fomani masih eksis dan tetap dipegang oleh masyarakat di Pulau Siompu ditengah-tengah banyak tarian kreasi yang tercipta baik dari inofasi masyarakat itu sendiri maupun dari adaptasi budaya luar.

Bukan hanya saja eksistensinya diera serba digital ini, tapi sikap antusias dari masyarakat setempat juga semakin memperjelas kedudukan warisan budaya tersebut menjadi tidak tergeserkan pada peradaban dewasa kini.

Hal itu menandakan secara tidak langsung masyarakat masih terus melestarikan warisan budaya yang ditinggalkan oleh leluluh agar nantinya dapat terus dipertontonkan dan dinikmati oleh para generasi selanjutnya di Pulau Siompu maupun masyarakat dari luar daerah yang datang menyaksikan pertunjukan seni dan adat itu.

“Tari Fomani makin hari makin kokoh, makin dilestarikan buktinya antusias masyarakat yang begitu luar biasa menyaksikan pertunjukan budaya ini,” pungkas Pomili Womal, Minggu (7/7/2024). (C)

Penulis: Ali Iskandar Majid

Editor: Fitrah Nugraha

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baca Juga