Gibran Sosok Kontroversial
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 12 November 2023
0 dilihat
Efriza, dosen ilmu politik di beberapa kampus dan owner penerbitan. Foto: Ist.
" Polemik di masyarakat terjadi karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikabulkan sebagian terkait untuk memuluskan pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
POLEMIK di masyarakat terjadi karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikabulkan sebagian terkait untuk memuluskan pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Putusan MK ini akhirnya menghadirkan norma baru berdasarkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bunyi norma baru tersebut, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Pasca putusan MK yang kontroversial, akhirnya dibentuklah Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). MKMK mencoba menyelesaikan problematika atas putusan MK tersebut terhadap etik dari hakim-hakim MK.
Merujuk putusan MKMK bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (hakim terlapor) dinyatakan melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama berupa Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
Alhasil, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, (mkri.id, 07 November 2023). Hanya saja, putusan MKMK ini tidak menyelesaikan perbincangan terhadap permasalahan politik yang turut menyertai dari sosok Gibran sebagai cawapres dalam pemilihan umum (pemilu) serentak 2024 ini.
Upaya Melabeli Sosok Gibran
Harus diakui bahwa dari putusan MK yang menimbulkan problematika di masyarakat yang dianggap memuluskan pencalonan Gibran sebagai cawapres, telah coba diselesaikan oleh MKMK. Nyatanya, putusan MKMK tidaklah dapat mengakhiri masalah. Ini fakta dari hari ini menjelang pemilu serentak 2024.
Putusan MKMK memang hanya menyentuh kulit luarnya saja tentang etik hakim MK semata, tanpa memilih masuk kepada substansi permasalahannya yakni putusan MK yang menghadirkan polemik tersebut. Langkah ini dilakukan karena, putusan MK ini bersifat mutlak, dengan sifatnya yang final dan mengikat. Hal ini sebuah doktrin dan juga diatur di dalam konstitusi.
Sehingga putusan MK yang kontroversial itu harus tetap dihormati. Sehingga, kejengkelan terhadap putusan MK untuk memuluskan Gibran, tak dimungkiri menghadirkan upaya melabeli pencalonan Gibran sebagai cawapres adalah cacat hukum. Ini didasarkan bukan karena sosok Gibrannya tetapi lebih kepada cara-cara memuluskan pencawapresan Gibran yang kontroversial bahkan dianggap menginjak-injak konstitusi.
Melabeli Gibran dengan dasar putusan MK sebagai landasan pencawapresan Gibran cacat hukum, adalah bahasa terlalu ekstrem. Sebab, Putusan MK tersebut masih berlaku, final dan mengikat, serta Putusan MK harus dihormati, semua institusi penyelenggara negara harus menghormati Putusan MK tersebut tanpa terkecuali.
Baca Juga: Dinamika Politik Pasca Pendaftaran Pasangan Capres-Cawapres
Penulis melihat bahwa adanya ketidakpuasan itu sudah tentu. Oleh sebab itu, terhadap kasus ini lebih dapat disebut bahwa “dari putusan ke putusan yang tak mengakhiri masalah,” dibandingkan melabeli pencalonan Gibran bahwa cacat hukum. Sebab, menyebut pencalonan Gibran sebagai cacat hukum, sekaligus kita tak tak menghargai institusi MK itu sendiri.
Sebaiknya kita mulai beranjak move on. Jangan kemudian kita melabeli bahwa Putusan MK itu cacat hukum untuk dilekatkan kepada sosok Gibran. Dengan penguatan atas penafsiran sanksi yang diterima oleh Anwar Usman berupa dicopot dari Jabatan Ketua MK. Jadi, jangan sampai, kita juga tidak menghormati hukum itu sendiri serta tak menghormati institusi MK, karena kita menolak Putusan MK yang dinilai kontroversi, tetapi masih tetap berlaku.
PDIP Versus Jokowi dan Keluarganya
PDIP pasca putusan MK kontroversial dan juga perilaku Gibran yang menerima sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto. PDIP mengasah tanduk Banteng moncong putihnya untuk menyerang dan menyeruduk Pasangan Prabowo-Gibran ini.
PDIP punya misi menggiring persepsi negatif publik kepada Jokowi dan Keluarga. Sehingga terbentuk citra negatif untuk Jokowi dan Keluarganya dibenak pikir publik, seperti Gibran sebagai pengkhianat, Jokowi tamak kekuasaan, aktor-aktor seperti Jokowi, Kaesang, Gibran, dan Bobby penyebab dari kemunduran demokrasi.
PDIP melakukan ini karena muka "banteng moncong putih" telah dicorat-coret. Sehingga, imej PDIP di masyarakat terdampak buruk oleh perilaku Jokowi dan Keluarga, seperti sebagai partai lama dan partai penguasa ternyata PDIP tak becus melakukan pendidikan pengkaderan.
Melalui aksi ramai-ramai dari keluarga Jokowi yang tak pedulikan PDIP, Jokowi dan keluarganya telah membawa contoh buruk dari perilaku tidak satu rampak barisan. Bahkan, Megawati selaku ketua umum dan ikon PDIP dengan pengelolaan kekuasaan demokrasi terpimpin ala PDIP turut tak dihargai, dari aksi tak satu rampak barisan.
Label negatif ini dilakukan dengan tujuan agar keluarga Jokowi ke depannya, jika punya niat untuk maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekalipun tidak akan didukung oleh masyarakat. Sebab sudah terbangun persepsi negatif dari masyarakat terhadap Jokowi dan keluarga, misalnya, Jokowi dan keluarga adalah cermin perilaku haus kekuasaan, Gibran, Kaesang, dan Bobby adalah sosok-sosok pemimpin dengan sifat diri "kacang lupa kulit", dan "pengkhianat".
Jadi PDIP dengan narasi-narasi menyerangnya, tak sekadar berusaha menurunkan elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran serta mengalahkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan Jokowi semata. Tetapi lebih dari itu, tujuannya adalah merusak nama baik Jokowi dan keluarga dari sisi kegiatan berpolitik ke depannya.
Sehingga Jokowi dan keluarganya, dalam personal brandingnya, sudah buruk namanya, maka tak layak untuk diajukan sebagai pemimpin di level nasional dan daerah saat ini dan di masa depan. Bahasa Sarkasnya, PDIP lewat aksi serangannya, sedang melakukan pembunuhan karakter secara politik terhadap Jokowi dan keluarga.
Gibran Sang Kontroversial
Meskipun Gibran adalah Sosok Kontroversial, namun suka tidak suka harus diakui bahwa Gibran adalah calon pemimpin masa depan. Gibran memang memungkinkan pada akhirnya sampai kepada mengikuti Pilpres. Hanya saja tidak secepat ini, dan juga tidak dengan kontroversi dari putusan MK tersebut.
Jika dipelajari bahwa setidaknya Gibran masih ada sekiranya 3 periode yang bisa ditempuh dirinya untuk rekam jejak karir politiknya, misalnya sebagai eksekutif daerah. Gibran misalnya, dapat melanjutkan sebagai walikota Surakarta kembali, dan memungkinkan satu atau dua periode sebagai Gubernur di salah satu Provinsi di Indonesia.
Harus diakui memang amat disayangkan pengalaman dan kemampuan Gibran masih belum banyak teruji. Tetapi Gibran sudah diajukan sebagai cawapres, dengan landasan pencawapresan yang kontroversial berdasarkan Putusan MK tersebut.
Diperkirakan Obsesi diri Gibran dan Jokowi sebagai ayah sekaligus presiden, telah membuat Gibran tak menyadari bahwa pengalamannya di kota Surakarta selama memimpin sekiranya 2 tahunan. Dapat dikatakan, belum sampai pada kategori prestasi membanggakan. Gibran bagi penulis, baru berkategori B saja.
Baca Juga: Membincangkan Usul Hak Angket DPR
Diyakini bahwa problematika di Surakarta tidak sekompleks di kota-kota lain. Contoh perbandingan, di kota Depok, amat kompleks dari permasalahan tata kota sampai pada ketertinggalan berbagai wilayah di daerah.
Gibran memang telah berkinerja baik, dari dua tahun memerintah di Surakarta sebagai wali kota. Gibran telah memiliki beberapa prestasi kinerja dalam pembangunan, meski dalam program skala kecil, berupa revitalisasi pembangunan untuk kebutuhan masyarakat, maupun pembangunan masjid dan pembangunan prasarana olahraga.
Ini menunjukkan Gibran dalam pemahaman pembangunan infrastruktur, memang memiliki kemampuan melanjutkan kebijakan ayahnya yang sebagai presiden dalam pembangunan infrastruktur, misalnya.
Gibran juga patut diakui memang dirinya sanggup bekerja dalam respons cepat. Seperti, menyelesaikan permasalahan dari pengaduan masyarakat dengan cepat, dalam kasus Pungutan Liar yang dilakukan oleh Lurah. Atas kinerjanya itu telah menghadirkan persepsi positif dan simpati dari masyarakat. Ini menunjukkan Gibran sebagai walikota Surakarta telah bekerja bersama masyarakat juga memuaskan keinginan masyarakat tersebut.
Tetapi harus diakui pula bahwa kemampuan Gibran yang bekerja positif di Surakarta, belum layak dikategorikan sebagai prestasi gemilang. Sebab, diyakini daerah di sana sudah dengan wajah perkotaan yang baik, dibandingkan wajah perkotaan lainnya.
Ini menunjukkan tantangannya tidak terlalu tinggi, terlebih faktanya Gibran tinggal melanjutkan kebijakan dari ayahnya Jokowi yang sebelumnya. Telah memerintah selama dua periode, saat itu, prestasi Jokowi di Surakarta lebih gemilang, sedangkan Gibran tinggal menata hal-hal kecil semata.
Meski Gibran Kontroversial tetapi harus diakui ia adalah sosok anak muda yang juga telah bekerja dengan baik sebagai wali kota Surakarta. Hanya saja, disayangkan tiket Gibran sebagai cawapres terjadi dalam kontroversi atas Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS