Dinamika Politik Pasca Pendaftaran Pasangan Capres-Cawapres
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 29 Oktober 2023
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Diperkirakan persaingan sengit terjadi dari ketiga pasangan calon tersebut. Sebab, elektabilitas ketiga pasangan itu masih bersaing dan juga elektabilitas masing-masing pasangan capres/cawapres tidak terpaut jauh. Elektabilitas Prabowo-Gibran yang dalam banyak survei merebut posisi pertama, saat ini menunjukkan belum sanggup menembus angka 40 sekian persen "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
PASCA Gibran Rakabuming Raka memperoleh “karpet merah” dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain, telah lengkap pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu Serentak 2024 ini, juga menunjukkan perubahan konstelasi perpolitikan menjelang waktu krusial Pemilu Serentak 14 Februari 2024.
Diperkirakan persaingan sengit terjadi dari ketiga pasangan calon tersebut. Sebab, elektabilitas ketiga pasangan itu masih bersaing dan juga elektabilitas masing-masing pasangan capres/cawapres tidak terpaut jauh. Elektabilitas Prabowo-Gibran yang dalam banyak survei merebut posisi pertama, saat ini menunjukkan belum sanggup menembus angka 40 sekian persen.
Padahal, kalkulasi dari bisa terjadinya tanpa putaran kedua, ketika angka elektabilitas Prabowo-Gibran misalnya menembus persentase 47-50 persen, itu pun dengan catatan tidak ada “tsunami politik” dari peristiwa politik yang membuat terjadinya perubahan respons masyarakat dari positif menjadi negatif dengan konsumsi tinggi atas pasangan Prabowo-Gibran.
Fokus Terpecah karena Gibran
Pergerakan dan dinamika dari koalisi maupun partai politik sebagai koordinator atas pasangan calon. Jika kita simak awal dari pasca pendaftaran calon bahwa asumsi dirinya diprediksi yang kemungkinan masuk dua besar untuk lanjut putaran kedua, jika merujuk berbagai hasil survei adalah pasangan Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud MD, sebab keduanya acap dikategorikan peringkat satu dan kedua, sedangkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dikategorikan peringkat ketiga.
Hanya saja, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) malah jumawa, lalu mengesankan mengabaikan kehadiran dari pasangan AMIN. Pasangan Ganjar-Mahfud MD lebih fokus kepada Prabowo-Gibran. Pasca Gibran dipinang oleh Prabowo dan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Langkah PDIP lebih fokus kepada Prabowo-Gibran karena mereka tersengat oleh ulah Gibran yang tak lagi satu rampak barisan mendukung keputusan PDIP mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres.
Disisi berikutnya, PDIP merasa Mahfud MD adalah cawapres yang akan otomatis menyebabkan koalisi pasangan Ganjar-Mahfud MD pasti menang. Hitung-hitungan ini membuat mereka mengabaikan AMIN, sehingga dibayangan PDIP bahwa Putaran kedua, PDIP dengan pasangan Ganjar-Mahfud MD akan berhadapan dengan pasangan Prabowo-Gibran.
Padahal jika dicermati bahwa dimajukan Gibran sebagai cawapres dari Prabowo, menjelaskan Jokowi malah pesimis dengan capres Ganjar. Oleh sebab itu, Jokowi lebih meyakini bahwa Prabowo-Gibran yang punya potensi besar masuk putaran kedua ketimbang Ganjar-Mahfud.
Menerka Dimajukan Gibran
Gibran ini didorong maju sebagai cawapres, disatu sisi diperkirakan strategi Jokowi adalah ingin mengepung AMIN. Jokowi pesimis jika hanya satu pasangan calon utamanya Ganjar semata. Jokowi pula yang merekomendasi kepada PDIP untuk mengusung Ganjar dan Mahfud MD, ini menunjukkan Jokowi cermat berhitung, bukan malah dianggap salah pilih Ganjar.
Baca Juga: Demi Kepentingan Gibran
KIM juga bersedia menerima Gibran dipasangkan dengan Prabowo karena menyakini Jokowi sebagai Penguasa Politik akan semangat, serius, dan berjuang maksimal untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Jika tak bisa satu putaran, tetapi sanggup jungkalkan pasangan Ganjar-Mahfud.
Situasi ini menguntungkan juga bagi AMIN, mereka juga bisa fokus turut melemahkan kubu PDIP. Sebab, Jokowi dan Keluarganya serta berbagai kelompok dari unsur Pemerintah yang pro kepada Jokowi akan fokus membantu memenangkan setidaknya meloloskan Prabowo Gibran untuk putaran kedua Pilpres 2024.
Menerka keinginan Jokowi dengan memajukan Gibran, pokok utamanya adalah melanjutkan program pembangunan. Disisi lain, Jokowi menyadari jika sekadar mempercayai Ganjar dan PDIP semata, kemudian melepaskan Prabowo yang loyal dan solid mendukung Pemerintah adalah tindakan gegabah.
Sebab, jika terjadi putaran kedua dengan melepaskan Prabowo, dikhawatirkan ketika Prabowo masuk putaran kedua, sedangkan Anies tak masuk putaran kedua, maka otomatis Prabowo dapat limpahan suara dari kubu AMIN yang kalah di putaran pertama. Artinya, koalisi pasangan Ganjar-Mahfud akan mudah disingkirkan, sedangkan Pemerintah dirugikan karena sudah mencampakkan Prabowo.
Ini menunjukkan melepaskan Prabowo dan hanya menggantungkan nasib terhadap satu pasangan calon yakni Ganjar semata, itu adalah kalkulasi berkhayal ketinggian. Oleh sebab itu, Jokowi bermain "dua kaki", ia merangkul Prabowo dengan menyodorkan Gibran sebagai cawapres, sekaligus sudah menempatkan Ganjar-Mahfud sebagai pasangan calon dari koalisi PDIP-PPP.
Strategi ini memang diperlukan untuk menguatkan persepsi sekaligus opini publik agar pembicaraan lebih banyak berputar dan menguat pada bahasan mengenai nasionalisme. Dengan adanya dua koalisi nasionalisme yang dipikirkan dan diharapkan oleh Jokowi dalam strateginya ini adalah agar menghempaskan pembahasan mengenai isu Islam.
Terjebak Pembahasan Gibran
Gibran harus diakui memang didukung oleh kaum muda dari Generasi Z dan Milenial. Jokowi juga melihat Prabowo juga diperhitungkan oleh Generasi Z dan Milenial seperti Gibran. Jokowi akhirnya memilih mengajukan Prabowo-Gibran, dianggap adalah pasangan dengan pilihan terbaik.
Baca Juga: Kaesang dan PSI yang Telah Layu
Hanya saja, rancangan mengajukan Prabowo-Gibran tidak berjalan mulus, terjadi permasalahan dan sebuah kesalahan dari sisi moral dan etis ketika memaksakan Gibran melalui mekanisme MK. Dengan hasil Putusan MK yang mengabulkan sebagian itu ditenggarai untuk Gibran dengan menghadirkan norma baru dari Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bunyi norma baru tersebut, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Ini yang akhirnya menjadi polemik di masyarakat, Gibran dianggap dari sisi moral dan etis bermasalah dalam proses pencalonan cawapresnya.
Diyakini situasi berikutnya juga di luar dugaan Jokowi, ketika Jokowi fokus untuk strategi dan rancangan di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024, PDIP malah menyerang Jokowi dan keluarga, juga menggunakan narasi Gibran “pengkhianat” disebabkan tidak satu rampak barisan.
Kehadiran Mahfud MD juga tidak dimanfaatkan dengan baik oleh PDIP, sebab PDIP melupakan memanfaatkan Mahfud MD untuk mendongkrak elektabilitas Ganjar, yang terjadi Mahfud MD malah digunakan untuk tujuan memberikan persepsi negatif kepada Istana, seperti: Mahfud MD malah sibuk memperkenalkan anak-anaknya kepada publik untuk memberikan contoh yang baik kepada Presiden Jokowi dalam mengasuh anaknya.
Mahfud MD malah tampak tak jauh beda dengan Jokowi, bahasa anak sekarang bahwa Mahfud dan Jokowi adalah 11, 12. Sarkasnya, yakni “kacang lupa kulit.” Mahfud melupakan bahwa Jokowi turut terlibat dalam mengajukan Mahfud MD, tetapi ketika dirinya terpilih tidak lagi di prank seperti pada Pilpres 2019, Mahfud MD malah dengan jumawa ingin memberikan contoh teladan kepada Jokowi. Padahal, Mahfud MD masih pembantunya Presiden Jokowi di Pemerintahannya.
Memanfaatkan Polemik Dua Koalisi Nasionalis
AMIN sepertinya memperhitungkan juga bahwa terjadinya perebutan suara antara kubu nasionalis dari koalisi Ganjar dan koalisi Prabowo, yang akan beresiko terjadinya penurunan perolehan suara diprediksi dan juga diharapkan adalah kubu Ganjar. Itu adalah perkiraan dari harapan kubu AMIN.
PDIP diprediksi kehilangan fokus karena kesal dengan Gibran, akhirnya hanya terfokus kepada pasangan Prabowo-Gibran, sehingga dianggap ini adalah kesempatan melemahkan lawan karena kehilangan fokus menjaga soliditas dan penguasaan daerah pemilihan. Sehingga harapan dari AMIN bahwa mereka akan bertemu dengan Prabowo, ketika PDIP mulai melupakan AMIN dan berpikir koalisi itu akan terjungkal.
Padahal memungkinkan yang terjadi sebaliknya, dengan terjadinya perseteruan antara Koalisi Ganjar-Mahfud dan Koalisi Prabowo-Gibran, suara salah satu koalisi akan melemah karena fokus menghadapi Pilpres 2024 teralihkan dengan saling berseteru, maka yang diprediksi menguat adalah juga persepsi negatif kepada PDIP.
Sebab, PDIP tak bisa melupakan Presiden Jokowi adalah pemerintahan terpilih atas nama PDIP, Jokowi kadernya, begitu juga Gibran kader PDIP, artinya buruknya Jokowi dan Keluarganya maka buruk pula wajah PDIP. PDIP semakin mencaci-maki Jokowi dan Gibran, malah dapat menjadi bumerang buat partai itu sendiri. Apalagi jika malah didiamkan oleh Jokowi dan Gibran, persepsi publik malah semakin menyeruak ke kandang Banteng moncong putih.
Jadi, kehadiran Gibran merubah konstelasi perpolitikan. Fokus utama di Pilpres juga bergeser terjadi saling menghujat antar sesama koalisi nasionalis, kedua koalisi ini pada dasarnya sama-sama koalisi dari pemerintahan. Perseteruan ini yang dapat dimanfaatkan oleh pasangan AMIN, dengan titik fokus jungkalnya adalah pasangan Ganjar-Mahfud, sebab bagaimanapun Jokowi sebagai penguasa politik bisa merancang kelolosan Prabowo-Gibran dengan pengelolaan kekuasaan yang dimilikinya. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS