Hidup Sebatang Kara di Kendari, Pemulung 75 Tahun Ini Butuh Uluran Tangan Pemerintah
Aris Mantobua, telisik indonesia
Rabu, 27 Juli 2022
0 dilihat
Muliono seorang pemulung di Kota Kendari saat beristirahat di pelataran MTQ sembari menunggu sedekah dari para pengendara yang melintas. Foto: Aris Mantobua/Telisik
" Muliono (75) adalah seseorang yang bernasib kurang beruntung "
KENDARI, TELISIK ID - Muliono (75) adalah seseorang yang bernasib kurang beruntung. Menjalani program transmigrasi pada tahun 1975 dari Jawa Barat ke Desa Sumber Sari, Kacamata Moramo, Kabupaten Konawe Selatan, kini dirinya menjadi pemulung di Kota Kendari.
Ia memulung setiap hari dari pukul 07.00 Wita hingga 19.00 Wita. Muliono mulai mengayun gerobak tuanya dari Kelurahan Watulondo, Kecamatan Puuwatu menyusuri sejumlah jalan protokol untuk mencari puing-puing rupiah dari botol bekas dan kardus.
Jarak yang ditempuh untuk memulung cukup jauh. Ditambah lagi usia yang sudah memasuki 75 tahun membuat dirinya harus banyak beristirahat saat mengayun gerobak tua miliknya.
"Kadang saya mencari botol bekas, kardus, besi, plastik sampai di Pasar Anduonohu, Jalan Bunggasi, Kecamatan Poasia, Kota Kendari hingga di Pasar Baruga, Kecamatan Baruga Kota Kendari. Diusia yang sudah menginjak 75 tahun membuat saya mudah capek, hingga mengharuskan beristirahat beberapa kali saat mengayun sepeda," ucap Muliono sambil mengusap kepala pada Telisik.id Rabu, (27/7/2022).
Setiap hari Muliono memunguti botol, kardus, dan barang bekas di tempat sampah tanpa mengenakan sandal. Tidak ada kata malu ataupun mengeluh baginya, sebab memulung sudah menjadi profesi yang sejak lama ia tekuni.
Kurang lebih 20 tahun Muliono mengaku memulung. Seakan rasa sakit saat berjalan di atas bebatuan dan aspal yang panas karena terik matahari sama sekali tidak dirasakannya.
"Kalau sudah panas kadang saya mencari pepohonan di pinggir jalan untuk berteduh, sambil menunggu ada pengendara memberikan sedekah. Saya bersyukur jika sewaktu-waktu ada pengendara yang memberikan nasi kotak hingga air minum," katanya sambil mengelus dada.
Baca Juga: Perjuangan Seorang Ibu, Hidupi Anak dari Jualan Tisu dan Air Mineral
Selama menjadi seorang pemulung di Kota Kendari dirinya belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Padahal dirinya mempunyai KTP Kota Kendari.
"Sampai saat ini saya belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Padahal saya di sini berjuang seorang diri tanpa ada yang menemani," ungkapnya.
Kesulitan ekonomi dari Muliono tambah terasa semenjak istri tercinta, meninggal akibat kanker payudara pada tahun 2020 lalu. Ia mengaku selama istrinya sakit, tidak pernah berobat ke rumah sakit akibat kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya.
Kakek yang sudah mempunyai cucu 9 orang ini, mengaku tidak pernah mendapatkan kiriman uang tiap bulan dari anak-anaknya. Ia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri setiap harinya.
"Anak saya ada tiga laki-laki semua, sudah berkeluarga. Kadang mereka jenguk saya 2 kali dalam satu tahun. Kaya lebaran kemarin mereka datang di rumah. Saya juga tidak berharap lebih sama mereka, namanya juga anak sudah berkeluarga. Intinya saya tetap sehat, bekerja seperti ini demi memenuhi kebutuhan. Kan semua pekerjaan yang penting halal," terangnya.
Baca Juga: Ditinggal Wafat Suami, Janda Ini Bertahan Hidup dari Buruh Cuci
Hasil ciri payah dari mengumpulkan barang bekas dalam satu hari yakni Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Pendapatan tersebut tidak menentu karena barang bekas yang dia dapat tidak selamanya banyak. Terkadang upayah Rp 60 ribu rupiah tersebut ia dapatkan dalam kurun waktu 3 hari.
"Saya sangat berharap bantuan dari pemerintah. Apalagi saya sekarang tinggal seorang diri di Kota Kendari, tanpa ada yang menemani. Jika persoalan administrasi seperti KTP dan kartu keluarga saya punya," tutupnya. (A)
Penulis: Aris Mantobua
Editor: Musdar