Kearifan Lokal: Matinya Tumbu Gulupu

Ima Lawaru, telisik indonesia
Sabtu, 15 Agustus 2020
0 dilihat
Kearifan Lokal: Matinya Tumbu Gulupu
Ima Lawaru, Penulis Novel Savana asal Wakatobi. Foto: Ist.

" Bagi Orang Tomia, tumbu gulupu mengingatkan mereka pada lesung kayu dan beras putih yang ditumbuk di dalam lesung itu, secara bergotong royong. Beras yang ditumbuk ini, akan menghasilkan tepung beras (gulupu). "

Oleh: Ima Lawaru

Penulis Novel Savana asal Wakatobi

TUMBU gulupu sejatinya adalah sebuah kearifan lokal yang mulai hilang di tengah masyarakat Tomia. Bahkan boleh dikata sudah hilang.

Dalam Bahasa Tomia, tumbu artinya tumbuk. Dan gulupu artinya tepung beras putih.

Bagi Orang Tomia, tumbu gulupu mengingatkan mereka pada lesung kayu dan beras putih yang ditumbuk di dalam lesung itu, secara bergotong royong. Beras yang ditumbuk ini, akan menghasilkan tepung beras (gulupu).

 

Banyak pemilik lesung kayu, yang lesung dan anak lesungnya sudah lapuk dan terpaksa dijadikan kayu bakar. Daripada lapuk percuma. Foto: Ima Lawaru

 

Gulupu ini akan dijadikan bahan dasar membuat karasi dan cucuru.

Karasi dan cucuru adalah penganan khas orang-orang Buton pada umumnya. Dan bagi Orang Tomia, karasi biasanya dijadikan menu wajib sesajen yang dihidangkan pada acara-acara tertentu.

Misalnya pada acara kafi'a (pernikahan), sukara'a (kematian), islamu'a (sunatan), sasa'a nu sapo, manga lefu-lefu, te ompulu'a, te rua hulu'a, te hato hulu'a, dan te tau'a nu fatu (peletakkan batu nisan).

Sejak masuknya produk tepung beras buatan pabrik (mayoritas merk Rose Brand), di sekitar awal ahun 2000-an, sejak itulah masyarakat Tomia mulai meninggalkan tradisi tumbu gulupu.

Mengapa?

Berikut ini adalah penuturan Wa Halima (60 tahun), salah satu pebisnis kue karasi di Tomia.

"Yo te tumbu gulupu'a ana, kene sai'a nu karasi, mini mansuananto i molengo anne'emo. Jamani miana te kene kaimo no hada marasai. No pajeremo te mamudha. No parinta te doeno."

Baca juga: Jurnalisme Sastrawi: Prasangka Media terhadap Etnik Tionghoa

Yang artinya: Tumbu gulupu dan pembuatan kue karasi ini, sudah ada sejak dari orang tua jaman dulu. Jaman sekarang sekarang orang tidak ingin repot (susah). Orang mengejar mudahnya. Orang memerintah uangnya.

Pola pikir masyarakat yang mulai berubah, dari tradisional ke modern, akhirnya mereka pada umumnya lebih memilih cara yang lebih instan.

Dulu, untuk menghasilkan gulupu dari 6 liter beras, waktu yang dibutuhkan kurang lebih 2 jam. Itupun berasnya ditumbuk bergotong royong. Yang melibatkan kurang lebih 5 orang. Tiga orang juru tumbuk. Dan 2 orang juru ayak. Ayakannya biasanya menggunakan kain sifon atau chiffon. Yakni sejenis kain yang terbuat dari bahan sintetis, yang kainnya halus, ringan dan transparan.

Pelaku tumbu gulupu, rata-rata hanya dilakukan oleh kaum ibu-ibu saja. Dan kadang sesekali anak-anak ikut membantu. Penulis sendiri, sejauh yang saya ingat, pernah ikut tumbu gulupu waktu masih SD kelas 6, di tahun 2000.

Irama bunyi anak lesung menumbuk beras, adalah bunyi khas tersendiri. Apalagi jika ada beberapa kelompok ibu yang menumbuk, maka kedengaran ramai bunyi "duk, duk." Kalau dari kejauhan, bunyi ini kedengaran seperti alat musik yang sengaja dimainkan.

Kini, bunyi ini sudah tak terdengar lagi.

 

Lesung kayu penumbu gulupu. Foto: Ima Lawaru

 

Secara berkelompok saja, tumbu gulupu bisa sampai 2 jam. Lha, bagaimana kalau ditumbuk seorang diri? Tentu akan lebih lama lagi.

Kini, dengan adanya tepung beras olahan pabrik, tradisi tumbu gulupu sudah tinggal nama.

Misalnya di acara sukara'a (kematian). Tumbu gulupu biasanya dimulai pada hari ke enam si mati. Masyarakat akan tetap menyebut hari ke enam si mati adalah hari tumbu gulupu'a (te moina tumbu gulupu'a). Tapi pada kenyataannya, tidak ada beras yang ditumbuk pada hari itu.

Baca juga: Cerita Wiwi Saraswati, Gadis Mualaf yang Kini Miliki Klinik Kecantikan

Lalu, bagaimana teknisnya tumbu gulupu ini? Lalu tepungnya dibuat menjadi kue karasi?

Di jaman dulu, sebelum diadakan tumbu gulupu pada keesokan pagi, beras putih sudah direndam sejak malamnya. Beras cukup direndam dengan air saja, tanpa perlu dicuci.

Nanti pada pagi harinya, barulah dicuci, lalu beras ditiriskan. Setelah tiris, barulah ditumbuk di dalam lesung kayu.

Setelah menjadi tepung, maka mulailah proses pembuatan karasi. Dimulai dari menguleni tepung beras dengan air, dengan tambahan sedikit tepung kanji, gula dan garam. Lalu dicetak dan digoreng.

Biasanya, yang ambil bagian dalam jurusan membuat karasi di setiap acara di atas itu adalah para ibu yang sudah berumur.

Kini, dengan maraknya industrialisasi sampai ke pelosok kampung, tepung-tepung beras olahan pabrik telah mengambil tempat di hati masyarakat. Karasipun kini telah dijadikan lahan bisnis yang subur.

Dulu, dalam setiap acara kampung yang membutuhkan sesajian karasi, orang mesti harus tumbu gulupu secara bergotong royong dulu. Barulah dibuat karasi.

Sekarang? Tanpa perlu repot, yang punya acara tinggal memesan saja sama si penjual karasi. Dan urusanpun beres. Ini menguntungkan bagi penjual karasi. Juga bagi pembeli, yang merupakan orang perantauan. Maksudnya adalah, jika orang Tomia yang pekerjaannya di luar daerah, yang sesekali pulang kampung untuk mengadakan hajatan, ia tak perlu lagi merepotkan orang sekampung untuk tumbu gulupu. Dan ia akan terhindar dari cibiran orang kampung seperti ini" Huh! Dia cuma datang kasih repot orang kampung. Habis itu dia pergi lagi!"

Waktu terus berjalan. Industri-industri di perkotaan terus tumbuh. Di pelosok-pelosok kampung seperti Tomia, Kabupaten Wakatobi, turut merasakan dampaknya. Banyak tradisi yang mulai tergerus lalu hilang menyisakan nama. Tinggal kita yang harus pintar-pintar memanfaatkan keadaan. Ibu Wa Halima salah satunya. Yang berhasil umroh dari hasil produksi karasi dan kue-kue lainnya. (*)

Baca Juga