Kepastian Hukum Pilkada 2022 dan 2023
Hidayatullah, telisik indonesia
Sabtu, 30 Januari 2021
0 dilihat
Hidayatullah, SH, Ketua Presidum JaDI Sultra. Foto: Ist.
" Kondisi ini bisa saja ada kemungkinan penolakan cukup besar dengan segala kepentingan politik yang menyertainya. "
Oleh: Hidayatullah, SH
Ketua Presidium JaDI Sultra
SAAT ini untuk penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 merujuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 secara tegas tidak mengatur adanya Pilkada di dua tahun tersebut.
Agenda politik tersebut baru akan berlangsung secara serentak pada November 2024, usai Pemilu nasional yang digelar pada April 2024. Pasca Pilkada serentak 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah pada 9 Desember 2020, tidak ada lagi agenda politik pemilihan kepala daerah.
Hal ini berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk Pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Implikasi ketentuan tersebut, sebagaimana diatur pasal yang sama, maka kepala daerah hasil pemilihan 2017 (101 daerah) dan 2018 (170 daerah), yang akan berakhir masa jabatan pada 2022 dan 2023 tidak akan diselenggarakan Pilkada di daerahnya pada tahun tersebut. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai 2024.
Kalau kita amati wacana nasional menguatnya isu Pilkada 2022 dan 2023 bersumber dari wacana beberapa fraksi partai-partai kecil menengah dan penggiat Pemilu agar ada normalisasi UU Pilkada dimasukkan dalam draf RUU Pemilu yang dapat mengatur Pilkada bagian dari Pemilu lokal, sehingga AMJ kepala daerah tahun 2022 dan 2023 dapat dilaksanakan Pilkada-nya di tahun tersebut dan keserentakannya pada Pilkada 2027.
Tetapi menguatnya wacana tersebut hanya aspirasi dari partai-partai menengah dan kecil. Beda halnya dengan partai-partai besar seperti PDIP, Gerindra dan Golkar yang menguasai kursi sebagian besar di parlemen belum ada sikap untuk menyetujui adanya gelaran Pilkada 2022 dan 2023. Kondisi ini bisa saja ada kemungkinan penolakan cukup besar dengan segala kepentingan politik yang menyertainya.
Memang saat ini di parlemen (Baleg DPR) telah ada draf RUU Pemilu yang juga mau mengakomodir Pilkada di dalamnya. Diskusi-diskusi pakar, ahli dan masukan DIM dari penggiat pemilu luar parlemen juga sudah masuk di Baleg DPR.
Tetapi apapun namanya draf UU tetaplah bersifat rancangan bukan kepastian hukum untuk ancang-ancang Pilkada 2022 dan 2023. Pembahasan serius di masing-masing fraksi partai besar belum mewacanakan kepastian Pilkada di tahun 2022 dan 2023.
Kelihatannya konsentrasi partai-partai besar pada RUU Pemilu pada desain dan sistem kelembagaan Pemilu (election goverment dan electoral justice), standart parliementary thershold naik atau turun, paradigma sistem pencalonan legislatif kembali pada sistem proporsional tertutup yang dianggap lebih simpel.
Sehingga sampai saat ini partai besar belum kelihatan ada wacana menyepakati Pilkada 2022 dan 2023 yang akan diserentakkan pertama kalinya pada tahun 2027.
Baca juga: Bang, Pendemokrasian Polri
Pilkada Bukanlah Rezim Pemilu
Beberapa waktu lalu saya telah menulis bahwa “Pilkada bukanlah bagian dari rezim Pemilu.” Karena wacana Pilkada yang masuk dalan draf UU Pemilu yang tengah diwacanakan dianggap bagian dari Pemilu dengan penamaan Pemilu lokal disadur dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 55/PUU-XVII/2019.
Ternyata masih banyak pihak keliru memaknai putusan tersebut. Dimana masih saja ada yang memahami putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 menganggap bahwa Pilkada masuk rezim Pemilu. Padahal kalau dicermati Putusan MK sebelumnya dimana MK tidak lagi menanggapi teori pemilahan atau pemisahan rezim yang dimulai oleh MK dalam Putusan No. 97/PUU- XI/2013. MK tetap konsisten dengan yurisprudensi putusan sebelumnya bahwa Pilkada bukanlah rezim Pemilu.
Inilah yang menjadi salah tafsir dalam pemahaman 6 (enam) varian pelaksanaan Pemilu yang dimaksud. Padahal MK hanyalah berpendapat untuk menjadi landasan dan pijakan yang tidak bersifat memerintah pembuat/pembentuk UU.
Jadi bacaan terhadap putusan MK 55/2019 tidak bermaksud menyatukan UU Pemilu dan Pilkada menjadi satu UU tetapi maksud putusan itu adalah soal pemilahan antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal (yang didalamnya boleh ada Pilkada) dalam rangka untuk menertibkan keserentakan penyelenggaran Pemilu dan Pilkada kita.
Maka kewenangan dikembalikan kepada DPR bersama pemerintah sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU. Khusus posisi DPR adalah positif legislatif dan MK bersifat negatif legislatif.
MK tidak dapat memperluas makna pemilihan umum seperti diatur Pasal 22E UUD 1945 menjadi sama dengan makna pemilihan Pasal 18 UUD 1945 dimana Pilkada yang masuk rezim pemerintahan daerah. Kalau ini disamakan maka inkonstitusional. (*)