KUHP Dinilai Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kardin, telisik indonesia
Jumat, 09 Desember 2022
0 dilihat
KUHP Dinilai Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers
Pakar hukum pers dan kode etik jurnalistik, Wina Armada, menilai KUHP tidak berlaku untuk kegiatan kemerdekaan pers. Foto: Ist.

" Walaupun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah disahkan DPR menjadi UU KUHP, khusus untuk pelaksanaan kemerdekaan pers tetap hanya akan mengikuti dan patuh terhadap UU Pers No 40 Tahun 1999. Oleb sebab itu, KUHP tidak berlaku dalam ruang lingkup mekanisme dan pelaksanaan kemerdekaan pers "

JAKARTA, TELISIK.ID - Walaupun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah disahkan DPR menjadi UU KUHP,  khusus untuk pelaksanaan kemerdekaan pers tetap hanya akan mengikuti dan patuh terhadap UU Pers No 40 Tahun 1999. Oleb sebab itu, KUHP tidak berlaku dalam ruang lingkup mekanisme dan pelaksanaan kemerdekaan pers.

Demikian ditegaskan oleh pakar hukum pers dan kode etik jurnalistik, Wina Armada di Jakarta, Jumat, (9/12/2022), menanggapi disahkannya KUHP oleh DPR pada Selasa, 6 Desember lalu.

Menurut penulis banyak buku hukum pers dan kode etik ini, sepanjang terkait dengan pers, UU Pers bersifat Undang-Undang yang diutamakan, sehingga semua persoalan pers diatur dan diselesaikan sesuai dengan UU Pers.

“Bukan UU dan peraturan lain, termasuk dalam hal ini bukan pula diatur oleh KUHP yang baru disahkan,” tegas Wina.   

Selain itu, tambah lulusan Fakuktas Hukum Universitas Indonesia, UU Pers juga bersifat swaregulasi atau memberikan keleluasaan kepada masyarakat pers untuk mengatur diri sendiri. Artinya, sesuai UU Pers, segala urusan yang terkait dengan pers telah dan akan diatur sendiri berdasar ketentuan yang disepakati oleh masyatakat pers.   

Baca Juga: Begini Cara Cek 3 Bansos Cair Bulan Desember

“Ketentuan ini sudah diperkuat dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu,” ujar Wina yang waktu perkara ini disidangkan di MK menjadi advokat untuk Dewan Pers.  

Mantan Sekjen pengurus PWI Pusat yang memiliki pengalaman kerja sebagai wartawan sekitar 40 tahun itu mengingatkan, dalam UU Pers jelas disebut tidak ada satu pihak pun yang dapat mencampuri urusan kemerdekaan pers.

”Tentu dalam hal ini, termasuk KUHP yang baru disahkan tidak dapat mengatur soal kemerdekaan pers,” tandasnya.

Peran Pers Memang Mengeritik Mantan Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat itu menungkapkan, dalam UU Pers, disebut salah satu peran utama pers ialah melakukan kritik terhadap hal-hal yang terkait dengan kepentingan umum. Untuk mendukung peran itu, UU Pers sudah menegaskan, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran dan pembredelan. Dalam pengertian penyensoran ini, jelas Wina, termasuk tidak boleh mengancam pers.   

Bahkan UU Pers telah menegaskan siapapun yang menghalang-halangi tugas pers, diancam pidana dua tahun penjara dan atau denda Rp 500 juta.

Dengan demikian, tambah Wina, hak mengeritik tetap melekat pada pers dan tidak dapat dibungkam, termasuk melalui KUHP.

“Jelasnya, kritik yang dilontarkan pers tidak dapat ditafsirkan berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP,” tambah advokat berstandart kompetensi tersumpah ini.

Profesi Wartawan Dilindungi Hukum Tak lupa Wina mengingatkan kembali, dalam pasal 8 UU Pers sudah sangat jelas diatur, dalam menjalankan tugasnya wartawan dilindungi hukum. Dengan begitu KUHP sama sekali tak dapat dan tak boleh atau dilarang menyentuh kegiatan pers.

Seandainya, kelak ada kegiatan pers yang sampai dikenakan pidana melalui pasal-pasal KUHP, di mata Wina berarti itu berupakan kejahatan terhadap pers.

”Itu termasuk kriminalisasi terhadap pers,” tuturnya.

Wina berpendapat, pers hanya akan tumbuh sehat dalam lingkungan masyarakat dan bangsa yang demokratis, sedangkan sebagian dari pasal KUHP baru jelas bertentangan dengan alam demokrasi.

Wina memberi contoh, ketentuan KUHP mengenai penghinaan terhadap lembaga-lembaga negara, memberi hak kepada negara untuk menghukum orang yang mengeritik penguasa, sedangkan  lembaga negara dapat ditafsirkan dari tingkat kepresidenan sampai tingkat kelurahan.

Dalam konteks ini, Wina mengkhawatirkan pelaksanaan pasal-pasal yang terkait penghinaan seperti itu dalam KUHP kelak dapat menimbulkan kerancuan perbedaan antara tafsir kritik dengan penghinaan dan fitnah terhadap penguasa.

Hal itu karena dalam praktik kelak yang melaksanakan isi KUHP bukanlah para anggota DPR yang mengesahkan KUHP satu ini, maupun para pejabat pemerintah yang kini berkuasa, tapi aparat hukum yang pasti punya tafsir tersendiri.

“Ini alarm buat perkembangan demokrasi,” ungkapnya.

Fatal

Selain itu Wina Armada juga mengecam tetap dimasukannya pasal-pasal "hazaai artikelen" atau pasal-pasal permusuhan dan kebencian dalam KUHP. Dari sejarahnya,  terang Wina, ketentuan ini sengaja diciptakan penjajah Belanda untuk membungkam pergerakan organisasi kemerdekaan Indonesia dan menempatkan Ratu dalam posisi yang sakral yang tidak boleh dikritik. Kini dalam KUHP malah dipertahankan untuk menegakan kewibawaan penguasa.

Dengan demikian seakan-akan rakyat dihadap-hadapan dengan penguasa. Dalam hal ini ada logika dan filosofi pembuatan KUHP yang sangat keliru. “Fatal!” tandas Wina.

Mantan penyiar radio dan televisi ini menyatakan keheranannya, kalau berlakunya KUHP ada waktu transisi sampai tiga tahun, kenapa tidak mau mengundurkan sebentar pengesahannya untuk mengadopsi pasal-pasal perlindungan terhadap demokrasi. Dalam hal ini Wina memandang, “Akhirnya yang terjadi bukan legency di bidang perundang-undangan, melainkan bom sosial.”

Akhirnya Wina membeberkan,  KUHP peninggalan penjajah memang perlu diganti dengan KUHP produk nasional yang baru. Kendati begitu, menurut Wina, pergantian itu tidak boleh hanya bajunya. Hanya casingnya, melainkan juga harus subtansinya.

Di sinilah Wina sampai pada kesimpulan, "Justru sepanjang terkait dengan pasal-pasal demokrasi, KUHP baru subtansi dan filosofinya lebih kolonial dari kolonial. Jadi dari aspek ini bukan dekolonialosasi, tapi malah menjadi rekolonialisasi," pungkasnya.

Dilansir Tempo.co, Dewan Pers menyatakan kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman setelah UU KUHP baru disahkan pemerintah dan DPR. Lantaran, UU KUHP dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik.

"Tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli, baru-baru ini.

Dewan Pers kemudian mencatat pasal-pasal UU KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Di antaranya sebagai berikut:

1. Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

2. Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

3. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.

4. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

5. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

6. Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.

Baca Juga: DPR Resmi Sahkan RKUHP jadi Undang-Undang, Lintasi 7 Presiden

7. Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.

8. Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.

9. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.

10. Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.

11. Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

Dewan Pers menyayangkan keputusan soal UU KUHP diambil dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers. Mengingat masih terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan. (C)

Penulis: Kardin 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga