Laut Kaombo di Wabula, Warisan Kesultanan Buton yang Masih Dilestarikan

Deni Djohan, telisik indonesia
Jumat, 22 Juli 2022
0 dilihat
Laut Kaombo di Wabula, Warisan Kesultanan Buton yang Masih Dilestarikan
Aktivitas masyarakat nelayan hukum adat Wabula ketika melakukan pemantauan di wilayah Kaombo Foto: Dheny/Telisik

" Dalam bangsawan Kaomu terdapat tiga kelompok yang disebut, Kambomboru talu palena. Kelompok tersebut yakni, Tanailandu, Kombewaha dan Tapi-tapi "

BUTON, TELISIK.ID - Selain terkenal dengan julukan Negeri para Resi (wali), Kesultanan Buton terkenal dengan sistim pertahanannya kokoh. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya peninggalan artefak benteng pertahan yang tersebar pada wilayah teritorial eks Kesultanan.

Tak hanya itu, jauh sebelum pakar politik Prancis, Montesquieu mengeluarkan teori pembagian wilayah kekuasaan atau trias politika, Kesultanan bahkan sudah menerapkan. Adalah Sultan ke IV Buton, Dayanu Ikhsanuddin pencetusnya.

Pada masa pemerintahannya, Sultan dari bangsawan Tanailandu ini membagi tiga kelompok sosial yang dikenal dengan, Kaomu, Walaka dan Papara. Dalam strata pemerintahan atau sara, bangsawan Walaka di istilahkan sebagai bapak dan kaomu adalah anak. Para sultan berasal dari bangsawan Kaomu sedangkan Siolimbona atau dalam pemerintahan saat ini dikenal dengan Legislatif berasal dari bangsawan Walaka.  

Dalam bangsawan Kaomu terdapat tiga kelompok yang disebut, Kambomboru talu palena. Kelompok tersebut yakni, Tanailandu, Kombewaha dan Tapi-tapi. Sedangkan Papara adalah rakyat biasa.

Seiring perkembangannya, wilayah administrasi kesultanan dibagi menjadi 72 wilayah. Pada masanya, wilayah ini disebut dengan, Kadie. Kadie dipimpin oleh Parabela. Kecuali dua kadie yang ada dalam wilayah benteng.

Tak hanya pembagian wilayah kekuasaan atau sosial saja. Sara atau pemerintah juga telah menentukan kawasan di hutan maupun di laut yang dilarang dan dibolehkan untuk digarap. Wilayah terlarang itu disebut dengan Kaombo.

Di era ini, penerapan Kaombo pada jazirah eks kesultanan masih dilestarikan. Bahkan di Kota Baubau, hutan Kaombo masih banyak kita temukan. Misalnya di Kecamatan Sora Wolio dan Bungi Kokalukuna. Namun bagaimana dengan di laut?

Di beberapa daerah bekas wilayah eks Kesultanan Buton, Laut Kaombo masih dilestarikan. Misalnya di Kabupaten Buton, Wakatobi dan Buton Selatan. Di Kabupaten Buton, laut Kaombo dapat kita temukan di Kecamatan Wabula. Di Kecamatan ini, peran lembaga adat untuk menjaga kearifan laut kaombo masih aktif.

Baca Juga: Pulau Rinca di Labuan Bajo, Jokowi: Kalau Mau Lihat Komodo Silahkan ke Sini

Kaombo dalam konsepsi masyarakat Wabula

Dalam konsepsi masyarakat Wabula, Kaombo adalah larangan memasuki wilayah adat yang memiliki potensi sumber daya alam dalam waktu tertentu. Kelembagaan adat membagi dua wilayah sumber daya alam itu menjadi dua, yaitu wilayah darat yang disebut Pangkolo, dan wilayah laut yang disebut Nambo. Wilayah darat (Pangkolo) dibagi dan diatur menjadi empat kawasan yakni, kawasan pemukiman, perkebunan/pertanian, hutan lindung dan kawasan pengembangan.

Sebagaimana wilayah Pangkolo, pengelolaan sumber daya alam wilayah Nambo meliputi, Picikoluano Ponu atau tempat berkembang biaknya Penyu sampai dengan Wacu-wacu Kandiy-ndiy atau wilayah laut antara desa Wasampela dan desa Holimombo.

Karakteristik dan keunikan yang dimiliki Nambo memiliki beberapa kawasan ekosistem, yaitu: Longka-longka atau hutan bakau, Parangkudu atau padang lamun, Pasi atau terumbu karang dan Kito atau laut dalam.

"Pada Nambo terdapat pula beberapa yang spesifik, antara lain: Picikoluano Ponu, Hou/Lagon, dan sekitarnya yang selama ini menjadi fishing ground dan dijadikan lokasi pemeliharaan budidaya perikanan dan Pasi," ungkap koordinator Destructive Fishing Watch Indonesia, Abdi Suhufan, Kamis (21/7/2022).

Bagi masyarakat Wabula, laut adalah sumber kehidupan. Sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup dari sumber daya laut.

Kekayaan sumber daya laut yang mereka miliki dikelola dan dimanfaatkan secara bersama (communal property right).

Sebagai kawasan laut yang dilindungi adat, ada dua kawasan laut yang di Kaombo. Pertama, Kaombo Awaktu, dan Kedua, Kaombo Saumuru.

Pada Kaombo Awaktu, masyarakat bisa memanfaatkan hasil laut di waktu-waktu tertentu. Periode dan wilayah pengambilan hasil laut ditentukan melalui musyawarah adat.

Ketika salah satu wilayah Kaombo akan dibuka atau dalam masyarakat setempat disebut, Bongkaana Kaombo, maka ada wilayah Kaombo lain yang ditutup. Cara ini adalah untuk memberi kesempatan ikan dan biota laut tetap berkembang biak sebelum nantinya di panen kembali secara berkelanjutan.

Kaombo Awaktu ini bertujuan agar ekosistem bawah laut terus terjaga. Lain halnya dengan Kaombo Awaktu, konsep Kaombo Saumurua tidak bisa sama sekali di akses.

"Jadi, wilayah laut Kaombo Saumura ditutup selama-lamanya dan tidak seorang pun dapat memasuki wilayah laut itu untuk mengambil hasil lautnya," tambahnya.

Menurutnya, konsep ini dipahami masyarakat bahwa ketika seseorang yang secara sengaja memasuki wilayah Kaombo, maka konsekuensinya adalah sanksi adat.

Penerapan sangsi adat

Sebagian masyarakat meyakini, pelanggaran memasuki wilayah Kaombo berakibat terjadinya musibah dan menurunnya sumber penghasilan di laut. Sanksi yang diberikan lembaga adat atau Sarano Wabula kepada masyarakat yang terbukti bersalah memasuki wilayah Kaombo dilakukan secara arif dan bijaksana. Tergantung besar kecilnya kesalahan yang dilakukan.

Biasanya, apabila terdapat nelayan yang terbukti memasuki namun tidak mengambil apa-apa di wilayah Kaombo, maka dirinya dapat dimaafkan tanpa ada ganti rugi yang diserahkan ke lembaga adat.

Namun jika terbukti dan mau mengakui telah menangkap ikan atau biota laut di wilayah Kaombo, maka ia berkewajiban menanggung akibat dan diadakan perhitungan ganti rugi sesuai dengan aturan dalam hukum adat Sarano Wabula.

"Namun ketika ada nelayan yang tidak mau sama sekali mengakui kesalahan memasuki wilayah Kaombo dan mengambil hasil laut di tempat itu, maka Sarano Wabula akan melakukan prosesi adat yang dikenal dengan Kaleo-leo," terangnya.

Ritual ini bertujuan untuk membuktikan seseorang melanggar aturan adat, termasuk melanggar memasuki wilayah Kaombo. Prosesinya disaksikan oleh perangkat adat dan seluruh masyarakat desa.

Masyarakat yang diduga bersalah diminta menyelam sambil memegang sebatang kayu yang menancap di dasar laut. Jika bersalah, maka ia merasakan kesakitan dan segera keluar dari dalam laut. Namun jika seseorang tidak bersalah, maka ia tidak merasakan apa-apa selama berada di air.

Konsep pengelolaan sumber daya alam tradisional (Kaombo) ini sudah sejak lama dilakukan, jauh sebelum undang-undang dan berbagai aturan yang dibuat pemerintah itu hadir dan memihak kepada masyarakat nelayan di wilayah pesisir.

Tokoh pembentuk wilayah Kaombo

Konsep Kaombo yang dijalankan masyarakat hukum adat Wabula mirip dengan konsep-konsep pengelolaan berbasis nilai kearifan lokal masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Misalnya, Sasi, Maluku Tengah, Bapongka, Sulawesi Tengah, Eha-Mane’e, Pulau Kakorotan Sulawesi Utara, Awig-awig, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Ola Nua, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Model pengelolaan ini dilakukan secara swadaya dan partisipasi aktif masyarakat adat pesisir. Hal ini bertujuan untuk terwujudnya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang lestari dan berkelanjutan.

Seperti halnya di daerah-daerah lain, konsep pengelolaan sumber daya milik bersama di Wabula diatur oleh Sarano Wabula. Sarano Wabula dibentuk oleh Kumaha atau seseorang yang sangat dihormati untuk menjalankan kekuasaan dan pemerintahan di Wabula.

Sarano Wabula dipimpin oleh seorang Parabela, yang wewenang untuk mengatur dan menjalankan pemerintahan dalam adat.

"Kaombo adalah warisan leluhur yang terus dipertahankan hingga saat ini agar ekosistem tetap terjaga," bebernya.

Baca Juga: OPD dan Kecamatan Wajib Punya Kaghati Kolope

Kita dapat memetik banyak pelajaran dari kehidupan orang-orang Wabula yang sejak dulu mempraktikkan konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut di desa mereka.

Di sisi lain, Parabela dianggap menjadi sosok penting di desa. Masyarakat percaya, kepemimpinan dan kharisma Parabela memberi pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Wabula.

Seorang Parabela dianggap gagal memimpin ketika ada warga desa secara berturut-turut dalam tempo waktu yang dekat meninggal dunia, atau tejadi bencana di desa yang memakan korban jiwa. Begitu juga sebaliknya.

Pada akhirnya, sesuatu yang dianggap mitos sekalipun menjadi sulit untuk diusahakan dari kehidupan masyarakat kita yang memiliki kepercayaan terhadap nilai-nilai leluhur, sehingga hal itu membentuk perilaku mereka.

Anggapan ini menjadi tidak salah apabila cara atau kebiasaan yang dilakukan oleh setiap masyarakat memberi kontribusi positif bagi kehidupan manusia dan alam semesta.

Kehidupan masyarakat di desa Wabula berjalan sebagaimana biasanya. Para suami pergi mencari ikan pada hari menjelang malam dan pulang saat fajar.

Sementara kaum ibu beberapa dari mereka hari-harinya diisi dengan membuat kain tenun dan berdagang. Saat sore ketika air laut sedang surut, terlihat orang-orang begitu ramai mencari kerang dan menombak ikan di sepanjang pantai. Anak-anak juga terlihat riang gembira bermain di atas pasir putih.

"Yang kami butuhkan saat ini adalah pos penjagaan. Karena banyak nelayan yang masuk mencuri di kawasan Kaombo. Bila air surut, kami sulit mengidentifikasi pelaku," pungkas Kades Wabula, La Unci. (B)

Reporter: Deni Djohan

Editor: Musdar

Artikel Terkait
Baca Juga