Melihat ke Belakang Dalil Hukuman Mati di Tanah Air, Begini Penerapannya Sebelum Eksekusi

Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Sabtu, 03 Agustus 2024
0 dilihat
Melihat ke Belakang Dalil Hukuman Mati di Tanah Air, Begini Penerapannya Sebelum Eksekusi
Ferdi Sambo saat menjalani sidang kasus pembunuhan ajudannya. Foto: Repro antaranews.com

" Pertentangan pertama mengenai hukuman mati di Indonesia terjadi pada sidang konstituante yang berlangsung pada tahun 1955-1959 "

JAKARTA, TELISIK.ID - Hukuman mati telah menjadi salah satu bentuk hukuman paling kontroversial. Dari masa ke masa, penerapannya sering kali memicu perdebatan sengit di kalangan akademisi, politisi, hingga masyarakat umum. Tidak hanya menyentuh aspek hukum dan keadilan, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar.

Pertentangan pertama mengenai hukuman mati di Indonesia terjadi pada sidang konstituante yang berlangsung pada tahun 1955-1959. Asmara Hadi, anggota Konstituante dari Gerakan Pembela Pancasila, pada 14 Agustus 1958, mengusulkan perlunya dimuat dalam norma UUD mengenai hak hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati, seperti dilansir dari, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Sabtu (2/8/2024).

Usulan ini muncul dalam Sidang ke II tahun 1958, Rapat ke 27 Konstituante. Namun, pandangan ini tidak mendapatkan pembahasan serius karena dianggap sebagai pandangan minor pada masa itu.

Dalam proses amandemen UUD 1945, perdebatan mengenai hukuman mati kembali muncul. Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka Subekti, dan Slamet Efendy Yusuf adalah beberapa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mendesak agar hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Meskipun demikian, dalam sidang tersebut, pembahasan mengenai hak hidup dan hukuman mati tidak dielaborasi lebih lanjut, dan ketentuan mengenai pembatasan hak hidup terkunci pada Pasal 28J UUD 1945 yang membatasi hak asasi oleh hak asasi orang lain.

Indonesia telah meratifikasi Konvenan Sipil dan Politik melalui UU No 12 tahun 2005 yang memperbolehkan negara mencantumkan hukuman mati pada legislasinya, namun hanya untuk kejahatan yang sangat serius.

Konsep "the most serious crimes" dalam hukum internasional sangat terbatas pada kejahatan dengan karakteristik yang keji dan kejam, yang menggoncangkan hati nurani kemanusiaan dan menimbulkan akibat yang sangat serius.

Baca Juga: Dirjen HAM Beber 305 Produk Hukum Daerah Belum Sesuai Prinsip

Namun, dalam proses legislasi di Indonesia, alasan pencantuman hukuman mati sering kali dipermudah tanpa mempertimbangkan batasan ketat "the most serious crime". Pada masa reformasi, perdebatan mengenai hukuman mati sering kali terjebak dalam penggunaan hukuman mati sebagai alat politik.

Alasan kedaruratan dan responsivitas digunakan sebagai dasar pencantuman hukuman mati dalam legislasi tanpa penelitian berbasis bukti dan penghargaan hak asasi manusia yang memadai.

Melihat sejarah hukuman mati, hukuman ini pertama kali ditentukan oleh Raja Hamurabi dalam Codex Hamurabi dari Babilonia pada abad ke-19. Dalam Kovenan Internasional seperti Declaration Universal of Human Rights (DUHAM), hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan dianggap usang serta tidak efektif sebagai pencegah kejahatan.

Indonesia mengakui eksistensi hak asasi manusia dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan dalam amandemen kedua UUD 1945 yang mencakup Pasal 28A-28J. Meskipun demikian, pengakuan hak asasi manusia ini tidak mengarah pada penghapusan hukuman mati. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hukuman mati diatur sebagai pidana pokok dalam Pasal 10 huruf a, bersumber dari mahkamahagung.go.id.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah setelah vonis hukuman mati dijatuhkan, tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan? Menurut KUHAP yang berlaku di Indonesia, terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati masih bisa menempuh upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali.

Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan pidana. Proses banding akan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi. Tenggang waktu untuk mengajukan banding adalah 7 hari sejak putusan dibacakan.

Kasasi, upaya hukum biasa lainnya, dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap putusan banding. Proses kasasi akan diperiksa oleh Mahkamah Agung. Tenggang waktu untuk mengajukan kasasi adalah 14 hari sejak diberitahukan kepada terdakwa.

Peninjauan kembali dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh terpidana atau ahli warisnya. Dasar pengajuan peninjauan kembali meliputi adanya keadaan baru, pernyataan yang bertentangan dalam putusan, atau kesalahan hakim yang nyata.

Selain upaya hukum, terpidana mati juga dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Grasi diatur dalam UU No. 22 Tahun 2002 yang telah dirubah dalam UU No. 5 Tahun 2010. Permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali dan memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak ini.

Baca Juga: Intip Spesifikasi Medium Tank Harimau Buatan Anak Negeri Diincar Banyak Negara

Selain grasi, Presiden juga dapat memberikan amnesti dan abolisi. Amnesti adalah pernyataan umum yang mencabut semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana. Abolisi adalah hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau tuntutan pidana kepada seorang terpidana.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022, terdapat pembaruan penting terkait hukuman mati. Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun, dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan harapan untuk memperbaiki diri.

Jika terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.

Sebagai informasi tambahan, vonis mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap terdakwa Ferdi Sambo. Putusan ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat, dengan pembela hak asasi manusia yang menolak hukuman mati dan pihak keluarga korban yang bersyukur atas putusan tersebut.

Vonis mati terhadap Ferdi Sambo lebih berat dari tuntutan penjara seumur hidup oleh Jaksa Penuntut Umum. Alasan yang memberatkan termasuk perbuatan yang dilakukan kepada ajudan sendiri, dampak mendalam kepada keluarga korban, dan keresahan yang meluas di masyarakat. (C)

Penulis: Ahmad Jaelani

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga