Menelisik Keberadaan Makam Moyang Etnis Tolaki yang Rusak di Tanjung Watulaki

Muh. Risal H, telisik indonesia
Minggu, 11 Juli 2021
0 dilihat
Menelisik Keberadaan Makam Moyang Etnis Tolaki yang Rusak di Tanjung Watulaki
Tidak jauh dari pohon kelapa tinggi (sisi kanan pohon kelapa) jalan menuju jetty PT Riota makam moyang masyarakat Tolaki tersebut berada. Foto: Muh. Risal/Telisik

" Sebelum terbentuk jalan poros Trans Sulawesi yang membelah gunung, mayoritas masyarakat etnis Tolaki yang mendiami Lipu Patowonua (Kolaka Utara) sebagai penduduk pribumi, dulunya menjadikan sebagian pesisir pantai sebagai akses jalan yang menghubungkan satu perkampungan dengan perkampungan lainnya. "

KOLAKA UTARA, TELISIK.ID -  Sebelum terbentuk jalan poros Trans Sulawesi yang membelah gunung, mayoritas masyarakat etnis Tolaki yang mendiami Lipu Patowonua (Kolaka Utara) sebagai penduduk pribumi, dulunya menjadikan sebagian pesisir pantai sebagai akses jalan yang menghubungkan satu perkampungan dengan perkampungan lainnya.

Agar mudah dilalui, masyarakat  harus terlebih dahulu menunggu air laut surut. Setelah itu barulah mereka melakukan perjalanan dari satu perkampungan ke perkampungan lainnya untuk mengunjungi sanak keluarga.

Bahkan konon katanya, terkadang orang tua dulu harus rela berjalan di tepi-tepi tebing atau berjalan dengan langkah kaki sedikit agak cepat untuk menghindari air pasang ketika mereka berada di tengah perjalanan.

Termasuk pesisir Pantai Tanjung Watulaki yang saat itu merupakan akses utama masyarakat yang bepergian dengan berjalan kaki dari daerah-daerah selatan menuju utara seperti Lasusua atau Lapai.

Bagaimana kisah keberadaan makam moyang etnis Tolaki di Tanjung Watulaki, yang beberapa hari ini menjadi gejolak dan memantik api demonstrasi oleh pihak Tamalaki Patowonua serta tokoh masyarakat Tolaki di Desa Lambai akibat ulah PT Riota Jaya Lestari, yang diduga mengobok-obok makam sakral tersebut untuk keperluan jetty?

Menurut cerita Abidin, salah satu tokoh masyarakat Tolaki Desa Lambai kelahiran tahun 1955 (66) yang sempat ditemui Telisik.id saat aksi penutupan jetty PT Riota, Jumat (9/7/2021), keberadaan makam itu berawal ketika leluhur mereka, nenek Wende'pa (yang dimakamkan di Tanjung Watulaki), hendak menemui kerabatnya di Lasusua.

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, ia berjalan kaki dari Abai (Lambai) menuju Lasusua menyusuri pesisir Pantai Lambai.

"Saat itu kondisi air laut sudah mulai pasang dan ombak besar, sehingga ketika sampai di Tanjung Watulaki nenek kami terjatuh dan terseret ombak dan hilang selama dua hari. Setelah dilakukan pencarian selama dua hari, akhirnya mayat nenek kami tersebut ditemukan mengapung di perairan Lambai tidak jauh dari bibir Pantai Tanjung Watulaki. Setelah itu kami bawa (dayung) mayatnya menuju Tanjung Watulaki. Karena akses jalan yang sulit dan kondisi mayat moyang kami sangat memprihatinkan, maka kami putuskan untuk dimakamkan di Tanjung Watulaki tidak jauh dari pohon kelapa tinggi itu," terang Abidin sambil menunjuk pohon kelapa yang berada di sekitar jetty PT Riota.

Karena jauh dari perkampungan, kenangnya, maka ketika dilakukan penguburan, jenazah tidak dikafani.

"Kami hanya memasukkan jasadnya ke dalam sarung kemudian kami ikat layaknya mengkafani jenazah, setelah itu kami makamkan. Tempat ini dulunya gunung dan masyarakat Tolaki tahu kisah dan sangat mensakralkan Tanjung Watulaki ini," bebernya.

Menurut Abidin, peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1970-an dan kondisi Tanjung Watulaki pada saat itu masih hamparan hutan dan sama sekali belum dihuni oleh manusia.

Baca juga: Kasus COVID-19 Melonjak, PKS Jatim Ajak Masyarakat Gelar Istighosah

Baca juga: Dewan Nilai Beberapa Proyek Pemda Konsel Dikerjakan Kurang Maksimal

Meski demikian, masyarakat etnis Tolaki yang bermukim di sekitar Lambai pada saat itu sudah sering mencari udang dan ikan di Sungai Lanipa-nipa yang berada di sekitar Tanjung Watulaki dengan cara mehamoi menggunakan alat tangkap ikan tradisional yang terbuat dari rotan.  

"Sudah disinilah tempat nenek moyang kami menggantungkan hidup dulunya dengan mencari udang dan ikan di Sungai Lanipa-nipa ini. Bahkan di hamparan Lanipa-nipa dulunya itu banyak ditumbuhi tanaman sagu. Hanya saja ketika ada aktivitas pertambangan, sagu tersebut mati tertimbun lumpur dan hanya menyisakan sedikit saja," bebernya.

Kuburan tersebut sangat dihormati etnis Tolaki yang bermukim di Desa Lambai karena Wende'pa ini masih keturunan mokole atau raja.

"Saya tahu betul kuburan tersebut, bahkan ketika pohon kelapa itu mau ditanam oleh masyarakat, saya sampaikan kepada mereka agar hati-hati karena jangan sampai mereka merusak kuburan leluhur kami. Kuburan tersebut memiliki tanda berupa bunga-bunga, hanya mereka yang menghilangkan tanda tersebut dan meratakannya untuk jalan mobil," tukasnya.

Atas kerusakan makam tersebut, pihak yang  dirugikan menuntut agar kuburan tersebut dikembalikan seperti sedia kala dan tidak ada lagi akses jalan menuju jetty yang melintas di sekitar makam tersebut.

Edi Sabara, yang juga perwakilan masyarakat Tolaki Desa Lambai menyalahkan PT Riota. Seharusnya, terang Edi, sebelum membangun jetty, pihak perusahaan terlebih dahulu melakukan sosialisasi dan mencari tahu tentang Tanjung Watulaki ini.

"Nah, itu dia kesalahan pihak Riota. Kenapa mereka tidak melakukan sosialisasi atau mencari tahu dulu tentang Tanjung Watulaki dan keberadaan kuburan leluhur kami di sini. Sebenarnya semua orang tahu keberadaan kuburan di sini, hanya mereka takut memberikan keterangan," pungkasnya.

Salah satu anggota legislatif Kolut, Sabri bin Mustamin saat RDP, Rabu (7/7/2021) kemarin turut membenarkan jika di sekitar Tanjung Watulaki memang ada kuburan yang dikeramatkan.

"Berdasarkan cerita masyarakat setempat, memang ada kuburan yang dikeramatkan di sekitar tanjung tersebut. Hanya saya tidak tahu pasti di area mana kuburan tersebut berada," tuturnya.

Sementara itu, Humas PT Riota, Ahmad Jais, saat ditemui di lokasi jetty membantah tudingan masyarakat terkait perusakan makam leluhur Tolaki di area jetty.

"Terkait makam yang menurut masyarakat kami rusak, makam yang mana sebenarnya. Kemarin kami bekerja memang tidak ada kuburan. Kalau ada, pasti kami larang. Apalagi menyangkut cagar budaya," pungkasnya. (A)

Reporter: Muh. Risal

Editor: Haerani Hambali

Artikel Terkait
Baca Juga