Upaya Anies Baswedan Menuju Pilpres 2024

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 16 Mei 2021
0 dilihat
Upaya Anies Baswedan Menuju Pilpres 2024
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

MOMENTUM lebaran digunakan oleh Anies Baswedan untuk mencari simpatik publik, sekaligus membangun hubungan untuk menjalin koalisi.

Anies Baswedan mendatangi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat dan dilanjutkan dengan menemui Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).

Tentu saja ini bukan sekadar silaturahim saling memaafkan, berlebaran semata, di balik itu ada upaya untuk saling merekatkan hubungan.

Harus diakui bahwa saat ini bandul politik sedang mengarah kepada persiapan Pemilu serentak 2024 ke depan. Gencarnya upaya membangun mitra koalisi, semakin terlihat jelas disebabkan DPR dan pemerintah sudah sepakat tidak akan dilakukannya revisi UU Pemilu.

Artinya, kesepakatan mengenai Pemilu nasional dan Pemilu daerah serentak tetap sesuai dengan jadwal yang diatur sebelumnya, dilakukan serentak pada tahun 2024, tidak adanya normalisasi jadwal Pilkada.  

Momentum ini yang digunakan oleh Anies Baswedan untuk mencari simpatik publik, apalagi elektabilitas Anies Baswedan masuk dalam kategori tiga besar. Wajar akhirnya, Anies melakukan langkah politik lebih cepat dibarengi dengan kesempatan dan momentum.

Sebab, Anies hanya punya waktu sampai tahun depan, masa jabatan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta hanya sampai 2022, artinya tidak sampai 2 tahun lagi dari sekarang.

Tulisan ini ingin menguraikan lebih lanjut terkait peluang dan kemungkinan realitas menuju Pilpres 2024 nanti.

Langkah Anies Merugikan Prabowo

Anies tentu memahami dirinya tidak berpartai. Apalagi Anies saat ini, melalui sikapnya yang menunjukkan harapan dapat maju menjadi salah satu pasangan calon di pemilihan umum presiden (Pilpres) telah melukai salah satu mitra koalisinya yakni Gerindra.

Langkah Anies, tentu saja sudah bukan satu kali ini merugikan Gerindra, utamanya Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra.  

Anies telah merugikan Prabowo dan Gerindra di Pilpres 2019 lalu.

Ketika itu, Prabowo dan Gerindra tentu saja berharap besar bahwa Anies akan berduet dengan Prabowo. Sebab selain elektabilitas Anies yang tinggi, juga kans Prabowo untuk menang dengan berpasangan bersama Anies bisa lebih besar. Tetapi, ternyata Anies menolak, maka pilihan injury time, adalah menduetkan Prabowo dengan Sandiaga Uno.

Langkah Anies kala itu bisa dimahfumi bahwa memang Anies berambisi maju sebagai calon presiden. Hasrat politik Anies, sudah terlihat sejak September 2013 silam, ia mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat, kala itu ia bersaing dengan 11 nama lainnya.

Baca Juga: Gerak Politik PKS dengan Safari Ramadan

Jadi sangat wajar, jika Anies hanya dipasangkan sebagai nomor dua untuk mendampingi Prabowo, tentu dapat ditafsirkan ia akan menolak.

Momentum Anies saat ini untuk diusung sebagai calon presiden tentu terbuka lebih luas, apalagi tanpa adanya calon petahana.

Meski begitu, elektabilitas tiga besar, acap masih ada nama Prabowo Subianto dari Gerindra. Seperti disajikan oleh Indikator Politik Indonesia, hasil survei yang dirilis bulan Mei ini, bahwa elektabilitas tertinggi pertama dimenangkan oleh Ganjar Pranowo dengan 15,7 persen, sedangkan Anies saat ini berada diperingkat kedua di angka 14,6 persen.

Adapun tingkat keterpilihan Prabowo diposisi ketiga sebesar 11,1 persen, (CNN Indonesia, 04/05/2021). Tentu saja, momentum Anies dapat mengganggu kesempatan terakhir dari Prabowo untuk mencalonkan diri sebagai presiden.  

Popularitas Prabowo sebagai menteri yang memperoleh respons positif dari masyarakat, tentu berdampak terhadap kepercayaan diri Prabowo. Sebab, selama ini Prabowo masih diragukan karena belum pernah menduduki jabatan eksekutif seperti sebagai pembantu presiden.

Ketika momentum Prabowo sedang baik, disertai tanpa adanya petahana, maka kans Prabowo ikut bertarung kembali masih terbuka peluang.  

Sehingga, ketika Prabowo diisukan akan berduet dengan Puan Maharani, terjadinya koalisi kembali antara PDIP-Gerindra seperti dulu antara Megawati-Prabowo Subianto pada Pilpres 2009 lalu, akan semakin memberatkan langkah Prabowo, jika Anies terus melakukan manuver untuk menunjukkan kesiapan maju dalam Pilpres 2024 nanti.

Anies Baswedan yang pernah diusung Prabowo dan Gerindra bersama PKS di Pilkada Gubernur 2017 lalu, tentu lebih berkans besar dibandingkan Prabowo. Alasan belum pernah mengikuti Pilpres dan belum pernah kalah di Pilpres menjadi modal besar didorong untuk menyudutkan Prabowo.

Akhirnya bisa saja desakan di publik hingga ke internal Gerindra yang menguat adalah Prabowo untuk bersikap negarawan dan legowo, dengan cara turut mengusung Anies Baswedan, meski dengan catatan Anies telah beberapa kali mengecewakan Prabowo.

Anies Menaikkan Kans Ganjar Pranowo

Manuver Anies Baswedan untuk maju sebagai calon presiden dengan melakukan silaturahim pada momentum lebaran telah membuat beberapa partai berpikir ulang dalam mempersiapkan strategi politik menuju Pilpres 2024 mendatang.

Langkah Anies yang telah membuyarkan strategi politik partai-partai, tentu disambut baik oleh berbagai calon, meski tidak secara terang-benderang, disebabkan kans mereka diusung menjadi lebih besar.

Saat ini, isu Prabowo Subianto-Puan Maharani telah menyebabkan PDIP berpikir ulang dan bijak dalam mengatur strategi politik. Kans Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, juga akan menguat untuk berkesempatan diusung sebagai calon presiden 2024.

Baca Juga: Pandami dan Mengingatkan Kembali Kesadaran Sosial

Diyakini meski keputusan di tangan Megawati Soekarnoputri, logika rasional, tentu mereka akan mempersiapkan calon yang elektabilitas tinggi, karena akan berpengaruh kepada hitungan matematika politik mitra koalisi. Sebab, Ganjar Pranowo dalam segi elektabilitas di peringkat pertama, sedangkan elektabilitas Puan Maharani saat ini jeblok hanya 2,9 persen.

Saat ini partai-partai politik yang lolos parliamentary threshold, lolos di parlemen tidak ada yang dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden sendiri tanpa berkoalisi.

Sebab, jika merujuk presidential threshold dalam UU Nomor 7  Tahun 2017 tentang Pemilu, dijelaskan bahwa syarat partai atau gabungan partai politik yang boleh mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional.

Inilah yang tentu saja amat diperhitungkan oleh PDIP dan Megawati Soekarnoputri dalam memutuskan calon presiden 2024 nanti.

Gerak Politik Anies Memunculkan Banyak Figur

Anies Baswedan saat ini tentu saja selain memburu tiket menuju Pilpres juga memburu waktu kans dicalonkan. Sebab, jika menunggu hingga 2022, peluang Anies akan sedikit menyusut. Saat ini adalah momentum Anies Baswedan, selain didasari silaturahim berlebaran, juga ini kesempatan Anies untuk mengalihkan perhatian masyarakat agar tertuju kepada dia.

Kesempatan Anies bisa dipahami, sebab politik itu bergerak sangat dinamis dan cepat. Mumpung Anies belum keseleo lidah, mumpung belum ada blunder kebijakan, maka momentum ini harus benar-benar dimanfaatkannya.

Wajar langkah-langkah politik yang ditemuinya adalah memulai menjalin hubungan dengan partai-partai yang posisinya berada di luar pemerintah. Sebab, PAN, dan Partai Demokrat saat ini selain butuh pencitraan di publik, popularitas, juga sedang khawatir akibat konflik dan hadirnya partai baru yang lahir disebabkan oleh konflik di tubuh partai-partai itu, sebut saja Partai Umat akibat konflik internal di PAN.

Gerak politik Anies Baswedan saat ini tentu saja, membuat beberapa calon dari ketua umum-ketua umum partai, semakin khawatir. Maka, wajar akhirnya figur-figur yang berhasil memimpin di daerah-daerahnya dimunculkan di publik.

Sebab, mereka harus memiliki posisi tawar yang lebih baik, karena kemunculan Anies Baswedan yang tidak berpartai tetapi diusung oleh partai menunjukkan telah mencoreng muka partai-partai politik dalam segi rekrutmen calon pemimpin.

Baca Juga: Gerak Politik PKS dengan Safari Ramadan

Popularitas Anies yang tinggi, juga menunjukkan saat ini partai-partai secara tidak langsung mengalami kemerosotan dalam popularitas di publik. Ini dibuktikan oleh Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, munculnya dorongan dari masyarakat, maupun kelompok kepentingan, sehingga orang yang tidak berpartai seperti Anies, malah diusung oleh partai dan koalisi partai.

Mengutip tulisan menarik Richard S. Katz dan William Crotty,  yang menyatakan, “Di era ketika partai politik lemah, kelompok kepentingan sering mempengaruhi pencalonan, sangat menentukan dalam pemilihan calon favorit, dan membantu mengelola pemerintah dengan memengaruhi penunjukkan pejabat dan proses pengambilan keputusan itu sendiri,” (Handbook Partai Politik, 2015: 9).

Langkah politik Anies yang menunjukkan persiapan diri menuju Pilpres 2024 nanti, bukan saja akan menimbulkan revisi hitungan matematika dalam politik mengusung calon.

Tetapi juga mendorong partai-partai untuk menampilkan calon-calon yang potensial dari daerah-daerahnya, ini menunjukkan posisi ketua umum partai yang umumnya merupakan calon tunggal sebagai calon kuat diusung oleh partai, sudah mengalami pergeseran, untuk turut memperhitungkan calon-calon dari daerah yang telah berhasil memimpin daerahnya.

Momentum Anies ini, semestinya partai-partai juga dapat memberikan banyak pilihan calon kepada masyarakat. Harapan wajah-wajah baru dari daerah-daerah juga diharapkan dapat menguat dalam Pilpres 2024 nanti. (*)

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga