Menerka Jumlah Pasangan Calon di Pilpres 2024
Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 29 Oktober 2022
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Prabowo diusung oleh Koalisi Gerindra-PKB. Sementara Anies Baswedan oleh Nasdem, yang disinyalir akan terbentuk koalisi bersama PKS dan Partai Demokrat "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
JIKA mencermati sekaligus menerka jumlah pasangan calon presiden/wakil presiden maka kita harus melihat realitas berbagai kemungkinannya terlebih dahulu. Saat ini peluang untuk satu pasang calon atau calon tunggal di Pilpres 2024 telah usang.
Ketika dua nama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan sudah dideklarasikan sebagai calon presiden (capres). Prabowo diusung oleh Koalisi Gerindra-PKB. Sementara Anies Baswedan oleh Nasdem, yang disinyalir akan terbentuk koalisi bersama PKS dan Partai Demokrat.
Kemungkinan dua pasang koalisi juga sepertinya menjauh sinarnya. Ketika melihat masih adanya koalisi dari Golkar-PAN-PPP yang bernama Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). KIB yang pertama kali mendeklarasikan koalisi tetapi belum menetapkan siapa yang diusung sebagai pasangan calonnya.
Dari sembilan partai yang lolos ambang batas parlemen hanya PDIP yang bisa mengajukan pasangan calon sendiri tanpa perlu berkoalisi. Ini menunjukkan kemungkinan empat pasangan calon cukup besar potensial terjadi. Meski tidak menutup kemungkinan yang menguat adalah tiga poros koalisi.
Dilema PDIP Diantara Puan dan Ganjar
Puan Maharani diutus oleh PDIP untuk membangun komunikasi dengan ketua umum-ketua umum dari partai lain. Patut diduga upaya komunikasi yang dibangun dalam pertemuan ini malah cenderung gagal.
Seperti, Nasdem yang awalnya dapat saja membuat kembali Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) untuk mengajukan nama Puan Maharani. Nyatanya, malah memilih mempercepat deklarasi capres dengan mengusung Anies Baswedan.
Puan tak patah semangat, ia berkomunikasi dengan Gerindra yang dilanjutkan dengan PKB. Sekali lagi, pasca pertemuan itu, malah Gerindra-PKB diwacanakan pasangan calonnya Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar.
Meski, keputusan ini belum final, yang masih ragu adalah dari kubu Gerindra. Sedangkan PKB sebaliknya amat getol dan percaya diri Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presidennya.
Baca Juga: Upaya PDIP Menahan Laju Dinamika Koalisi
Meski elektabilitas Cak imin berada di papan bawah calon wakil presiden (cawapres) potensial terdegradasi.
Lagi-lagi, ketika Puan Maharani merampungkan pertemuan dengan Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum Partai Golkar. Ternyata, rilis lembaga survey LSI Denny JA, malah menggambarkan Airlangga Hartarto berpotensi menang jika dipasangkan dengan Ganjar Pranowo.
Realitas dari sosok Puan Maharani dalam melakukan berbagai silaturahim tersebut adalah langkah komunikasi politiknya diperkirakan memang buntu berkali-kali. Sosok Ganjar-lah yang lebih menguat dari segi elektabilitas di masyarakat. Ganjar pula yang terlihat didorong-dorong oleh berbagai partai-partai politik baik yang di parlemen maupun partai politik non-parlemen.
Misalnya, Nasdem telah menunjukkan tidak dapat Ganjar Pranowo akhirnya memilih plan B kepada sosok Anies Baswedan. Memang, Anies dalam tiga pilihan nama di rapimnas adalah yang pertama di rekomendasikan. Namun jika dipelajari seksama, itu terjadi tatkala “lamaran” Nasdem bertepuk sebelah tangan kepada Ganjar-PDIP.
Bahkan, jika merujuk hasil Jajak Pendapat terbaru dari Litbang Kompas bahwa responden Nasdem ternyata lebih banyak yang memilih Ganjar Pranowo sedangkan Anies Baswedan justru berada di urutan ketiga dari pemilih partai ini dengan raihan elektoral 15,4 persen, bandingkan dengan Ganjar Pranowo yang justru dipilih oleh 26,9 persen responden pemilih Nasdem (kompas.com, 25 Oktober 2022).
KIB Berpotensi Penentu Poros Koalisi
Penentu tiga atau empat poros koalisi diperkirakan adalah KIB. KIB yang belum menentukan capresnya disinyalir juga dapat saja memilih bergabung dalam Koalisi Gerindra-PKB, Koalisi Nasdem-PKS-PD, atau malah membangun poros KIB plus PDIP. KIB merencanakan akan baru membahas calon presiden dan wakil presiden pada November mendatang.
Jika diamati saat ini, calon kuat dari KIB berdasarkan ketiga partai itu adalah Airlangga Hartarto dari Golkar. Meski begitu, melihat gelagat PAN dan PPP, lebih mengharapkan KIB mengusung capres alternatif. Kecenderungan menguatnya capres alternatif, memungkinkan terjadi. Meski, cawapresnya bisa saja seperti Airlangga Hartarto, Golkar.
Tetapi juga tidak menutup kemungkinan pasangan calonnya benar-benar bukan dari ketiga ketua umum partai tersebut, melainkan pasangan calon alternatif. Jika Puan Maharani lagi-lagi tersingkirkan dari kemungkinan sebagai capres dari KIB plus PDIP.
Baca Juga: Menipisnya Opsi Puan sebagai Capres
Sedangkan PDIP tetap kekeuh mengajukan Puan Maharani sebagai capres. Maka, kemungkinannya adalah empat pasang calon, dengan PDIP memajukan pasangannya sendiri. Jika opsi ini dipilih maka Puan Maharani-Ganjar Pranowo adalah pilihannya.
Poros Koalisi Masih Dinamis
Nama-nama dalam poros koalisi yang memungkinkan telah menjadi perbincangan di tengah masyarakat saat ini. Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar dari Poros Koalisi Gerindra-PKB, Poros Koalisi Nasdem-PKS-PD mengusung Anies Baswedan-AHY, KIB dengan pasangan calon alternatifnya, dan PDIP dengan Puan Maharani-Ganjar Pranowo. Ini jika empat poros koalisi yang tercipta.
Namun, kemungkinan dari wacana ini dirasa tidak akan terwujud sepenuhnya. Sebab, dinamika penentuan poros koalisi dan pasangan calon sangat dipengaruhi berbagai hal, seperti berdasarkan kesepakatan antara partai-partai politik, rekam jejak masing-masing calon, aspek kapabilitas, elektabilitas, popularitas, juga kemungkinan simulasi dari berbagai calon penantangnya, dan utamanya kemungkinan menangnya besar.
Dengan waktu, masih sekitar setahun kurang, memang sebaiknya partai-partai lebih intens membangun komunikasi untuk mewujudkan koalisi. Namun diharapkan pasangan-pasangan calon yang hadir dan diajukan, benar-benar bisa memenuhi harapan masyarakat.
Jangan lagi, ketika pasangan calon yang dihadirkan di masyarakat adalah kesepakatan partai, tetapi yang dianggap bodoh dalam memilih sosok capres adalah pemilihnya atau masyarakatnya. Padahal sebaliknya, masyarakat hanya tinggal memilih dari calon yang telah diproses oleh partai politik. (*)