Muhammad-Samir: Harmoni Beda Agama
Haidir Muhari, telisik indonesia
Selasa, 22 September 2020
0 dilihat
Muhammad dan Samir. Foto: Repro republika.co.id
" Mereka berdua, Muhammad-Samir adalah potret zaman tentang harmoni. Mereka telah mencontohkan, perbedaan adalah harmoni. Seperti nada, dalam beda melantun indah, mendendang jiwa. "
KENDARI, TELISIK.ID - Ada foto unik dan inspiratif yang dibagikan oleh Imam Shamsi Ali, Imam Masjid Al Hikmah, New York, Amerika Serikat.
Foto tersebut menunjukkan dua orang lelaki. Lelaki jangkung menggendong lelaki kecil. Muhammad lelaki jangkung itu buta menggendong Samir kecil yang lumpuh tak bisa berjalan.
Muhammad dengan matanya yang buta tentu tak dapat melihat. Samir yang lumpuh tentu tak bisa berjalan.
Dari Samir, Muhammad mendapatkan penglihatan. Juga dari Muhammad, Samir mendapatkan langkahnya. Kedua lelaki itu yatim sejak kecil.
"Keduanya bekerja di sebuah warung kopi dan mereka saling support dalam kehidupan sehari-hari," tulis Imam Shamsi Ali seperti dikutip dari republika.co.id.
Hal unik lainnya, keduanya berbeda keyakinan. Muhammad beragama Islam. Samir seorang nasrani.
Keduanya bersahabat. Saling mengisi dengan kelebihan, dari kekurangan masing-masing.
Mereka berdua wafat dalam waktu yang hampir bersamaan. Samir wafat lebih dulu, karena itu Muhammad merasakan duka yang amat dalam. Sepekan kemudian ia menyusul sahabatnya itu.
Baca juga: Jakob Oetama: Beberapa Kilasan Tentangnya
Foto mereka berdua adalah foto lawas. Diambil di Damaskus, pada tahun 1889. Walau usang, hikmah persahabatan mereka membentang jauh. Juga melampaui kita di masa kini.
Dari mereka kita belajar, ketaklengkapan ragawi bukanlah "hukuman Tuhan". Mereka berdua berhasil saling melengkapi dengan caranya masing-masing.
Oleh Muhammad-Samir, langgam kemanusiaan universal dan toleransi benar-benar menjadi laku. Tidak sebatas akuan di podium akademis atau klaim dari mimbar religi.
Mereka menunjukkan kepada kita bahwa kerja sama adalah kodrat kehidupan. Sama halnya siang dan malam, gunung dan lembah, terjal dan curam dan lain seterusnya.
Mereka menuntun kita menuju jalan kearifan. Perbedaan agama bukanlah alasan untuk memusuhi. Bukan pula alasan untuk saling menjauhi, terlebih lagi alasan untuk saling memusnahkan.
Mereka berdua, Muhammad-Samir adalah potret zaman tentang harmoni. Mereka telah mencontohkan, perbedaan adalah harmoni. Seperti nada, dalam beda melantun indah, mendendang jiwa.
Perlu digaris bawahi, pada kisaran tahun 1889 Muhammad-Samir telah melakukan hal itu. Lalu bagaimana kita saat ini?
Masihkah beda khilafiah menjadi ajang debat? Masih harus berapa lagi negeri harus porak-poranda, situs sejarah ambruk, anak-anak menjadi yatim, simbah darah dimana-mana untuk kita belajar cara mengelola perbedaan?
Reporter: Haidir Muhari
Editor: Kardin