Muhammadiyah, FPI dan Human Right
Muhammad Alifuddin, telisik indonesia
Sabtu, 12 Desember 2020
0 dilihat
Dr. Muhammad Alifuddin, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Tenggara. Foto: Ist.
" Jika dalam konstruksi realitas, pendekatan dakwah keagamaan FPI ada atau bahkan banyak yang tidak sejalan dengan Muhammadiyah, bukan kemudian menjadi alasan bagi Muhammadiyah untuk kemudian “membenci” secara berlebihan atau bahkan “memusuhi” FPI. "
Oleh: Dr. Muhammad Alifuddin
Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Tenggara
SEBAGAI bagian aktif dari Pengurus Muhammadiyah Wilayah Sulawesi Tenggara, dalam beberapa hari terakhir ini, saya mendapat banyak pertanyaan melalui WhatsApp dari teman-teman sejawat di luar organisasi.
Secara umum pertanyaan tersebut berintikan dua hal, pertama: salut dan hormat atas kebijakan PP Muhammadiyah dalam menyikapi kematian 6 anak manusia di km 50 pada tanggal 7 Desember 2020, kedua: mempertanyakan posisi Muhammadiyah terhadap keberadaan atau eksistensi FPI.
Untuk hal yang kedua kira-kira konstruksi narasinya adalah mengapa Muhammadiyah sebagai organ Islam washatiyah cenderung “memihak” terhadap FPI dalam kasus 7 Desember 2020? Kesimpulan ini mungkin saja ditarik tatkala membaca pernyataan sikap PP Muhammadiyah terkait kasus 7 Desember 2020 tanpa mendalami substansi dari pernyataan sikap tersebut.
Atau paradoks itu dirasakan, karena sekitar sepekan sebelum peristiwa km 50 ada pernyataan “keras” dari sesepuh Muhammadiyah, Buya Syafi’I tentang tradisi memuliakan keluarga abi (habaib) secara berlebihan yang cenderung disebutnya sebagai “perbudakan spiritual”.
Pernyataan Buya tersebut sekalipun tidak mewakili Muhammadiyah, tetapi secara substansial mewakili konsep cara berpikir Muhammadiyah sebagaimana yang disebutkan oleh Prof. Haedar. Meski mendapat kritikan dari beberapa pihak, namun narasi Buya Syafi’i tidak menjadi topik kontroversial berkelanjutan.
Hal tersebut sangat boleh jadi karena pandangan Buya, keluar dari nurani, atau kritikan tersebut bukan atas dasar kebencian tetapi berbasis saintific, wallahu a’lam bi al sawab.
Terlepas dari hal itu, sependek pengetahuan saya, Muhammadiyah memang tidak pernah “mengurus” FPI apalagi memandangnya sebagai musuh. Bukti untuk hal ini sangat kasat mata, sekalipun mungkin pilihan metode dakwah Muhammadiyah berbeda dengan FPI, namun tidak pernah terdengar anak-anak muda Muhammadiyah, atau komunitas Muhammadiyah menolak kehadiran tokoh FPI Habib Rizieq Shihab, seperti yang dilakukan beberapa ormas Islam dan OKP lainnya.
Baca juga: Pilkada Wakatobi 2020: Menjaring Suara Langit
Bagi Muhammadiyah perbedaan cara pandang dalam menjalankan konsepsi keagamaan adalah hal biasa dan lumrah dalam ruang sistem sosial budaya. Apatah lagi dalam tradisi Islam berbeda sikap tentang suatu masalah bukanlah hal “tabu” dan tidak kemudian harus memberi stigma negatif kepada teman sesama anak negeri yang berbeda dengan kita.
Jika dalam konstruksi realitas, pendekatan dakwah keagamaan FPI ada atau bahkan banyak yang tidak sejalan dengan Muhammadiyah, bukan kemudian menjadi alasan bagi Muhammadiyah untuk kemudian “membenci” secara berlebihan atau bahkan “memusuhi” FPI.
FPI adalah bagian integral dari kelompok bangsa ini, yang perlu dihormati meskipun tidak harus selalu disetujui pandangannya atau bahkan pandangan dan pendekatan dakwahnya sangat mungkin kita tolak karena perbedaan perspektif dan cara pandang tentang suatu obyek masalah.
Standing position Muhammadiyah jelas, sebagai organ keagamaan yang berpengalaman lebih dari 100 tahun, Muhammadiyah memiliki ketajaman nurani untuk memilah mana hal yang mungkin dikritik atau bahkan ditolak tanpa harus “membenci” dan pada situasi bagaimana Muhammadiyah harus menunjukkan keberpihakannya terhadap suatu masalah.
Problem Km. 50 yang mengakibatkan tertembaknya 6 orang anak manusia, sesungguhnya bukan problem FPI. Jika kemudian anak-anak tersebut disebut sebagai pengawal HRS, itupun bukan alasan untuk melegitimasi penghilangan nyawa mereka.
Dalam konteks itulah kita dapat memahami sikap resmi PP Muhammadiyah terkait tertembaknya 6 orang anggota FPI.
Sebagai organ yang mendasarkan pada Quran dan hadis, Muhammadiyah menyadari betul tentang kemuliaan harkat manusia, sehingga menghilangkan nyawa anak manusia tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara adalah pelanggaran atas nilai-nilai kemanusiaan universal, dan kemuliaan manusia disematkan oleh Allah kepada manusia.
Pernyataan sikap Muhammadiyah yang mendesak pemerintah untuk membentuk Tim Pencari Fakta yang independen,membuktikan jika Muhammadiyah benar-benar berada dalam kelompok/komunitas sosial budaya yang intelek religious, yang menimbang segala sesuatunya atas dasar nilai-nilai agama berbasis saintific.
Baca juga: Solusi Sistematis Penanganan Gizi Buruk
Sikap resmi Muhammadiyah terkait tertembaknya 6 orang anak manusia di km.50 adalah bukti bahwa Muhammadiyah adalah organ Islam washatiyah yang berkemajuan, atau seperti kata Prof. Din, washatiyah Muhammadiyah bersifat luas, luwes, tegas dan mandiri.
Sikap lugas Muhammadiyah dalam kasus tertembaknya pengawal Rizieq Shihab, bukanlah sikap partisan terhadap FPI, kalaupun harus dikatakan partisan maka yang lebih tepat disebut adalah sikap tersebut adalah sikap partisan kepada kemanusiaan atau Hak hidup manusia.
Sikap lugas yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah atas kasus kemanusiaan yang menimpa keluarga besar FPI tidaklah ujug-ujug. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa jalan tersebut telah dilakukan oleh Muhammadiyah sebelumnya, seperti yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah dalam kasus Siyono di Klaten, Baiq Nuril di NTB demikian pula kasus kematian Randi di Kendari dan sejumlah kasus kemanusiaan lainnya.
Sikap tegas dalam berbagai kasus HAM di tanah air yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah, bukan berarti Muhammadiyah tidak sejalan dengan pemerintah, tetapi sikap dan pandangan Muhammadiyah tersebut merupakan wujud dari citra Muhammadiyah sebagai warga Negara yang bijak dan bertanggungjawab atau sekaligus sebagai mitra sejati pemerintah.
Melalui Muhammadiyah, pemangku kekuasaan diingatkan secara elegan tentang tugas mereka atas rakyat, yaitu untuk mengayomi, melindungi dan mensejahterakan, bukan untuk menumpahkan darah rakyat.
Muhammadiyah sebagai elemen bangsa ini akan terus mengawal pengamalan Pancasila, dan bukti dari kawalan yang berkesinambungan untuk konsisten dengan nilai-nilai Pancasila adalah desakan Muhammadiyah kepada pemerintah untuk membentuk Tim Pencari Fakta independen atas kasus kemanusiaan di km.50.
Dalam konteks itulah, kita dapat memahami atau menjawab pertanyaan yang mengesankan Muhammadiyah memihak FPI.
Kesimpulannya Muhammadiyah tidak memihak pada FPI tetapi memihak pada kemanusiaan universal atau berpihak pada human right (hak-hak asasi manusia) dalam rangka meluruskan kiblat bangsa. Wallah a’lam bi al-tsawab. (*)