Saat Elit Politik Membutuhkan Rakyat

Usmar, telisik indonesia
Sabtu, 03 Februari 2024
0 dilihat
Saat Elit Politik Membutuhkan Rakyat
Dr. Usmar, SE, M.M, CIBA, CPS, Dekan Fak.Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Foto: Ist.

" Tinggal dua minggu lagi atau tepatnya tanggal 14 Februari 2024, Rakyat Indonesia akan memutuskan dan memilih para elit politik untuk menjadi pemimpin yang akan menahkodai kapal besar kehidupan yang bernama Republik Indonesia "

Oleh: Dr. Usmar, SE, M.M, CIBA, CPS

Dekan Fak.Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)

TINGGAL dua minggu lagi atau tepatnya tanggal 14 Februari 2024, Rakyat Indonesia akan memutuskan dan memilih para elit politik untuk menjadi pemimpin yang akan menahkodai kapal besar kehidupan yang bernama Republik Indonesia.

Mungkin kitalah negara terbesar yang mampu melaksanakan pemilihan Presiden dan Legislatif, secara serentak dan langsung dengan situasi dan kondisi Rakyat Indonesia yang Multi Etnis dan Multi Budaya dengan jumlah populasi yang mencapai lebih dari 270 Juta jiwa, dan ada sekitar 13.466 Pulau dengan 1.128 Suku dan 746 Bahasa daerah, yg terbentang dalam Jarak 5.428 KM dari Sabang sampai Merauke. Sungguh amat dahsyat dan membuat kagum orang seantero dunia.

Seharusnya kita semua bisa bergembira termasuk anak-anak muda, karena pada saat hari pencoblosan tersebut mereka juga sedang merayakan hari kasih sayang yang bernama “Valentine days”, sekaligus juga momen untuk berproses belajar berdemokrasi dengan baik dan benar, agar negara kita menjadi lebih kuat dan bijaksana dalam merespon kemajuan peradaban dengan melihat bahwa perbedaan sebagai sebuah keniscayaan untuk negara kita yang multi etnis untuk bersama bernaung dibawah pandangan hidup “Bhinneka Tunggal Ika”

Tapi dalam kontestasi Politik Pilpres di tahun 2024 ini ternyata banyak yang tidak gembira, karena banyak peristiwa yang mengawali cacatnya jalan demokrasi menjadi tidak sehat, yang dimulai dari Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berujung pada pemecatan ketua MK oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena dianggap melakukan pelanggaran Etika berat, yang kemudian melahirkan sebuah istilah baru dalam istilah politik “Anak Haram Konstitusi”.

Dan dalam pemberitaan media massa, jelang mendekati hari pencoblosan di berbagai daerah terjadi berbagai tindakan yang berkategori intimidasi yang melibatkan aparatus negara yang mengkhianati keberadaan posisi sosialnya, bahwa semestinya mereka bersikap non partisan.

Disisi lain terhadap masyarakat yang ada pada garis kemiskinan apalagi di bawah garis kemiskinan secara sosiologis di barter idealisme meraka dengan berbagai nama bantuan negara yang dinarasikan sebagai bantuan pemerintah bahkan bantuan personal elit politik. Karena memang para elit politik tersebut mengetahui bahwa dalam realitas kehidupan, manakala kebutuhan dasar berteriak untuk di ekspresikan, maka idealisme cenderung luntur.

Social Engineering Politik

Social engineering politik menurut saya, dapat kita artikan berbagai bentuk rekayasa sosial politik dengan upaya memanipulasi perilaku yang memanfaatkan kelemahan rakyat untuk mendapatkan otoritas atas mereka agar bisa mengarahkan tindakan mereka sebagaimana yang dinginkan oleh elit politik tersebut yang tak jarang sangat berjarak dengan kebutuhan mendasar rakyat.

Baca Juga: Kesehatan dan Ideologi Negara Kesejahteraan Sosial

Padahal sejatinya politik adalah, Ilmu melayani Rakyat sekaligus merupakan instrument mengkalkulasi resiko yang terukur untuk implementasi sebuah cita-cita besar dalam membangun negara dan mensejahterakan rakyat.

Untuk itu kita perlu mengingatkan bersama, sebagaimana disampaikan oleh Berthold Brecht (1898-1956), seorang penyair Jerman, yang mengatakan bahwa “Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa seluruh biaya hidup kemudian semua tergantung pada keputusan politik.

Dan ini sejalan dengan pemikiran Will Rogers seorang Pelawak Politik yang mengatakan bahwa politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan uang yang sangat besar.

Tapi setelah kontestasi selesai biaya itulah yang kemudian akan di tanggung oleh rakyat dengan berbagai instrumen yang akan dibuat oleh elit politik untuk meraupnya Kembali pengeluaran mereka ditambah keuntungan yang mereka inginkan.

Konsolidasi Intelektual Organik

Dalam upaya kita membantu agar rakyat tidak terlalu jauh tergelincir menjadi penanggung korban dari nafsu serakah para elit politik yang rakus, yang hanya berfilosofi bahwa “Politik itu hanya mengajarkan Menang”, dengan tak perduli cara memperoleh kemenangannya, maka momentum saat pemilihan adalah waktu yang tepat bagi seluruh Masyarakat untuk berpartisipasi mengantisipasi upaya manipulasi dan upaya penyimpangan yang akan dilakukan ole elit politik”.

Perlu kita saling mengingatkan bersama bahwa dalam praksis politik, tidak penting anda diam saja, apatis atau tidak mau tahu, Dalam konsep one man one vote, kesalahan memilih bahkan terparah tidak hadir untuk memilih adalah tindakan naif.

Begitu juga jika rakyat tidak di edukasi, hingga terjadi polarisasi di akar rumput, maka ini akan menjadi dosa sosial kolektif kaum intelektual. Karena itu kita perlu saling mengingatkan bersama, pada Masyarakat, bahwanya Politik itu memiliki Panggung Depan dan Panggung Belakang.

Situasi dan suasana politik yg beredar di sosmed adalah ekspresi dari Panggung Depan Politik. Sedangkan apa sebenarnya peristiwa yang ada dan real terjadi ada di Panggung Belakang Politik, dan itu adalah Domainnya para Elit Politik, yang mereka tau betul, bahwa muara semuanya dari perbedaan sikap dan pandangan diantara mereka para elit selalu berakhir pada titik "kompromi".

Baca Juga: Agar Persaudaraan dan Kegotongroyongan Tidak Cuma Seremoni Belaka

Bahkan tak heran jika ada yang mengatakan bahwa  sejatinya ada tiga ruang dalam hukum, yaitu Ruang Terbuka di kampus dgn segala teori dan pembahasannya, kemudian ruang Semi Terbuka di sistem peradilan. Dan terakhir ruang Tertutup di lobi-lobi politik itulah realitas.

Melihat makin meluasnya penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa melalui berbagai instrumen yang ada di bawah kendalinya bahkan sudah dapat di kategorikan dalam tindakan Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) dalam Upaya mereka memenangkan kontestasi utamanya dalam Pilpres di 2024 ini, maka mutlak dibutuhkan kelompok penekan yang masih rasional untuk mengembalikan Demokrasi sebagaimana mestinya. Kelompok penekan ini perlu segera melakukan aksinya, baik itu kelompok Penekan yang ekslusif maupun kelompok penekan yang parsial, dan itu ada dalam diri kaum intelektual organik

Untuk melakukan upaya penyadaran terhadap rakyat, bagaimana posisi penting rakyat pagi para elit politik saat kontestasi politik adalah bagaimana kaum intelektual organik melakukan edukasi yang tidak hanya di sosial media, seperti memposting gambar, membuat narasi dan menulis  komentar di Instagram, Twitter, Tiktok, FB dsbnya, tapi juga harus hadir di dunia nyata, untuk kita melakukan konsolidasi rakyat pro demokrasi dan kita bertemu dan bertatap muka untuk melihat dan berbicara tentang realitas sosial politik dan ekonomi yang terjadi saat ini”.

Penulis tertarik dengan prinsip - prinsip yang dikemukakan oleh  Y.C.Yen seorang Tokoh Gerakan Pembangunan Masyarakat di China pada tahun 1920, agar Birokrasi  tidak hanya sebagai “Service Provider”, tapi menjadi “Enabler”, yaitu:

Datanglah kepada rakyat, hidup bersama rakyat, belajar dari rakyat, rencanakan bersama rakyat, bekerja bersama rakyat, mulailah dengan apa yang diketahui rakyat, bangunlah apa yang dimiliki rakyat, ajarilah dengan contoh, belajar dengan bekerja bukan pameran, melainkan pola bukan rintangan dan akhir, melainkan suatu sistem bukan pendekatan cerai berai, melainkan menyatu, bukan kompromi, melainkan mengubah, dan buka pertolongan, melainkan pembebasan. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga