Penjelasan Wamenkumham Soal Pidana Mati KUHP Nasional

La Ode Andi Rahmat, telisik indonesia
Minggu, 30 Juli 2023
0 dilihat
Penjelasan Wamenkumham Soal Pidana Mati KUHP Nasional
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan pidana mati dalam acara Kumham goes to campus di UHO Kendari. Foto: La Ode Andi Rahmat/Telisik

" Hukuman mati kerap kali memunculkan pro dan kontra masyarakat terhadap penerapannya, bahkan para pakar hukum pun turut berbeda pendapat terkait penerapan hukuman mati "

KENDARI, TELISIK.ID - Hukuman mati kerap kali memunculkan pro dan kontra masyarakat terhadap penerapannya, bahkan para pakar hukum pun turut berbeda pendapat terkait penerapan hukuman mati.

Wakil Menteri Hukum dan Ham, Edward Omar Sharif Hiariej atau akrab disapa Prof Eddy mengatakan, perbedaan pendapatan, antara pakar hukum dengan latar belakang hukum pidana dan pakar hukum dengan latar belakang kriminologi memiliki teori yang sama kuatnya. Ia sendiri berada pada posisi setuju terhadap hukuman mati.

"Antara kami yang setuju pidana mati dan mereka yang tidak setuju dengan pidana mati dan itu punya basic teori yang sama kuatnya," ujar Prof Eddy ketika menjadi narasumber Kumham goes to campus di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, baru-baru ini.

Baca Juga: Kemenkumham Sulawesi Tenggara Gelar Bakti Sosial Pengentasan Stunting

Prof Eddy, analogikan terhadap pembunuhan  berencana yang dilakukan dengan cara yang sangat keji, kemudian pelaku tidak dijatuhi pidana mati dengan dalil melanggar HAM, sementara disisi lain perbuatan pelaku kejahatan juga tidak memikirkan hak asasi manusia orang lain.

"Kalau pelaku kejahatan sendiri tidak memikirkan hak asasi korban, lantas untuk apa harus memikirkan hak asasi pelaku," terang Prof Eddy.

Kemudian Prof Eddy menjelaskan, dua pendapat pakar hukum yang menolak hukuman mati. Pertama, terhadap kesalahan eksekusi mati, dikhawatirkan terhadap pelaku kejahatan yang telah dieksekusi mati, namun ternyata bukan pelaku yang sesunggunya, tentunya itu juga dapat berakibat fatal. Kedua, hukuman mati melanggar HAM, karena mencabut nyawa orang hanya milik tuhan.

Jadi, perdebatan secara teori antara doktrin retensionis yang ingin mempertahankan pidana mati dan doktrin abolisionis yang ingin menghapuskan pidana mati secara argumentasi, itu sama kuatnya.

Lantas Prof Eddy mengatakan, dalam KUHP baru mencoba mencari solusi terhadap dua perdebatan tersebut dengan menerapkan masa percobaan selama 10 tahun terhadap pidana mati.

Hal demikian salah satu visi dalam KUHP baru yaitu reintegrasi sosial, pelaku kejahatan diberi kesempatan kedua untuk dia bertobat, artinya dalam jangka 10 tahun pelaku kejahatan berbuat baik, maka Presiden berdasarkan pertimbangan Mahkama Agung mengubah hukum mati tersebut dengan pidana penjara seumur hidup atau waktu tertentu.

Prof Eddy juga mengatakan, masalah pidana mati bagi Indonesia bukan hanya persoalan hukum, tetapi mencakup persoalan sosial, persoalan politik bahkan persoalan agama.

Dilansir dari badilag.mahkamaagung.go.id, ke depan terdapat beberapa perubahan penting terkait hukuman mati ini, terutama pembaharuan yang telah dilakukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.

Hal tersebut terdapat dalam Pasal 100 KUHP. Pasal 100 ayat 1 KUHP mengatur, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memerhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau peran terdakwa dalam tindak pidana.

Baca Juga: Sambut Harlah ke-78, Kanwil Kemenkumham Sulawesi Tengara Gelar Sepada Santai dan Lulo

Namun dalam pasal 100 ayat 2 dijelaskan, pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Maka ketika ia menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan tersebut, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.

Perubahan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan, bunyi pasal 100 Ayat 5 KUHP.

Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung, bunyi pasal 100 ayat 6 KUHP. (B-Adv)

Penulis: La Ode Andi Rahmat

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga