Potret Balita Stunting Indonesia di Hari Anak Sedunia ke-65
Sumarlin, telisik indonesia
Jumat, 22 November 2019
0 dilihat
Arif Rahman, S.Tr.Stat
Oleh: Arif Rahman, S.Tr.Stat, Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik di Badan Pusat Statistik Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat.
Hari Anak Sedunia merupakan hari untuk merayakan dan mempromosikan kesejahteraan anak-anak di seluruh dunia. Setiap tanggal 20 November seluruh dunia memperingati “Hari Anak Sedunia”, tak terkecuali Indonesia. Tujuannya adalah untuk menghargai serta menghormati hak-hak yang harus diterima oleh seorang anak. Menurut konvensi hak anak yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1989, salah satu hak dasar yang dibutuhkan oleh anak adalah hak mendapat jaminan kesehatan.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan anak harus dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berumur 18 tahun. Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak ini ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak.
Saat ini, peningkatan kesehatan anak merupakan salah satu isu global. Isu ini termasuk dalam target Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ketiga, yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua umur pada tahun 2030. Salah satu target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.
Sejalan dengan upaya pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) tersebut, pemerintah berusaha meningkatkan status kesehatan dan gizi anak Indonesia. Salah satu program yang menjadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait hal ini adalah menurunkan prevalensi stunting di Indonesia. Agenda ini merupakan satu dari empat program prioritas pembangunan kesehatan yang terdapat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
1. Perkembangan Prevalensi Balita Stunting di Indonesia
Berdasarkan data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara. Dalam periode waktu 2007-2013, prevalensi balita stunting di Indonesia cenderung statis. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 36,8 persen. Selanjutnya, pada tahun 2010 terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6 persen. Namun, prevalensi balita stunting kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2 persen.
Data prevalensi balita stunting selanjutnya diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh pemerintah. Pada tahun 2018, prevalensi balita stunting turun menjadi 30,8 persen. Selanjutnya, berdasarkan hasil riset Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI), angka stunting pada tahun 2019 juga kembali mengalami penurunan menjadi 27,67 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dalam setahun terakhir telah terjadi penurunan angka stunting sampai 3,1 poin. Artinya, di era pemerintahan Jokowi periode pertama (2014-2019), angka stunting di Indonesia berhasil di tekan hampir mencapai 10 persen dalam lima tahun.
Namun, meskipun angka stunting di Indonesia telah terjadi penurunan yang signifikan, bukan berarti sudah bisa membuat tenang. Bila merujuk pada standar WHO, jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas maksimal stunting yang ditetapkan yaitu sebesar 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita. Dengan demikian, persentase balita stunting di Indonesia secara keseluruhan masih tergolong tinggi dan harus selalu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah.
2. Upaya Pemerintah Menurunkan Prevalensi Balita Stunting
Upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi balita stunting di Indonesia bukan tanpa alasan. Stunting merupakan gambaran rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada risiko penurunan kemampuan produktif suatu bangsa. Menurut Presiden Jokowi, anak yang stunting bukan saja secara fisik tumbuh terlalu pendek atau kerdil untuk usianya, tapi juga mengganggu perkembangan otaknya sehingga akan mempengaruhi daya serap dan prestasi di sekolah, mempengaruhi produktivitas, kemudian mempengaruhi kreativitas di usia-usia yang produktif. Apabila hal ini tidak segera ditangani, maka akan mempengaruhi daya saing bangsa di masa depan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, setidaknya ada lima objek yang menjadi sasaran pemerintah untuk menurunkan prevalensi balita stunting di Indonesia yaitu ibu hamil dan bersalin, balita, anak usia sekolah, remaja, dan dewasa muda. Adapun upaya yang dilakukan untuk masing-masing objek tersebut adalah:
Pertama, upaya yang dilakukan pada ibu hamil dan bersalin antara lain intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan; mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu; meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan; menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien (TKPM); deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); pemberantasan kecacingan; meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA; menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif; dan penyuluhan dan pelayanan KB.
Kedua, upaya yang dilakukan pada balita yaitu pemantauan pertumbuhan balita; menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita; menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
Ketiga, upaya yang dilakuakan pada anak usia sekolah yaitu melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS); menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS; menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba
Keempat, upaya yang dilakukan pada remaja yaitu meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba; dan pendidikan kesehatan reproduksi.
Kelima, upaya yang dilakuakan pada dewasa muda yaitu penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB); deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok/mengonsumsi narkoba. (*)