Menilik Eksistensi Peringatan 1 Abad Tamansiswa
Mu’min Boli, telisik indonesia
Sabtu, 11 Juni 2022
0 dilihat
Mu’min Boli, Aktivis Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI). Foto: Ist.
" Pendirian Tamansiswa adalah upaya Ki Hadjar untuk mencerdaskan bangsa Indonesia agar lepas dari belenggu ketertindasan (baca: kebodohan) dan menuju kemerdekaan lewat medium pendidikan "
Oleh: Mu’min Boli
Aktivis Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI)
TAMANSISWA? Iya benar, lembaga pendidikan nasional pertama yang didirikan oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau lebih beken dengan nama Ki Hadjar Dewantara beserta kolega-koleganya ini berdiri pada tanggal 3 juli 1922 di Yogyakarta.
Semangat awal berdirinya lembaga ini ialah sebagai antitesis atau perlawanan terhadap pendidikan kolonial Belanda yang menggunakan konsep reegering, tucth, en orde (paksaan, hukuman, dan ketertiban) yang pada dasarnya model pendidikan ini merupakan bentuk perkosaan atas kehidupan batin anak-anak sehingga rusak budi pekertinya.
Di lain pihak, sekolah atau lembaga pendidikan yang didirikan kolonial Belanda saat itu pun tidak untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi manusia cerdas dan terampil, akan tetapi tujuannya hanyalah memberikan pengajaran teknis untuk para pribumi sehingga nantinya ketersediaan buruh-buruh murah atau pegawai rendahan di perusahan-perusahan mereka dapat terpenuhi.
Pada pointnya, hanya pengajaran yang didapatkan kalangan bangsa Indonesia, dan bukan pendidikan yang pada hakikatnya suatu daya upaya membentuk bertumbuhnya budi pekerti dan kemerdekaan berpikir bangsa Indonesia yang sadar akan ketertinggalan dan ketertindasan menuju kemajuan dan kebebasan.
Pendirian Tamansiswa adalah upaya Ki Hadjar untuk mencerdaskan bangsa Indonesia agar lepas dari belenggu ketertindasan (baca: kebodohan) dan menuju kemerdekaan lewat medium pendidikan. Pendirian Tamansiswa juga adalah bedil sekaligus angin segar yang melecuti dunia pergerakan Indonesia.
Ki Hadjar mengenalkan konsep orde en vreden (tertib dan damai), dengan bertumpu pada prinsip pertumbuhan menurut kodrat. Artinya, lahirnya tidak terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri, dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendriri. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan “Metode Among” yang berdasarkan cara berlakunya disebut sistem “Tut Wuri Handayani” yang juga semboyan pendidikan nasional kita saat ini.
Bagi Ki Hadjar, pendidikan adalah cara yang dipakai untuk meneruskan nilai-nilai kebudayaan dari satu generasi ke generasi lainnya, sedangkan kebudayaan itu sendiri merupakan semangat yang menjiwai pendidikan.
Kemudian, di tengah era disrupsi teknologi saat ini, apakah nilai dan semangat pendirian awal Tamansiswa kala itu masih terawat? Tentu pertanyaan ini sebagai upaya kita dalam merefleksikan sekaligus menelisik kiprah Tamansiswa dalam menghadapi dinamika persoalan kebangsaan dan kenegaraan kekinian, agar kiranya eksistensi lembaga ini tak sekedar terjebak dalam glorifikasi yang nir esensi.
Sebab jika mengacu pada doktrin SBII (Sifat, Bentuk, Isi, dan Irama) Tamansiswa, kinerja kultural Tamansiswa dapat berubah, bahkan dapat diubah. Sifat Tamansiswa yang berintikan kemandirian dan pengabdian kepada bangsa memang tidak boleh berubah, karena hal tersebut bersifat universal. Namun, tataran bentuk, isi, dan irama boleh serta dianjurkan disesuaikan dengan kondisi, situasi dan konteks kontemporer atau menurut tuntutan zaman.
Selanjutnya, jika kita melihat wajah pendidikan tinggi kita saat ini, lebih cenderung mereduksi nilai-nilai luhur kebangsaan dan lebih mengedepankan corporate values ketimbang academic values. Akibatnya banyak perubahan filosofis dalam pengelolaan lembaga pendidikan di Indonesia secara umum dan Tamansiswa secara khusus.
Syahdan, agar tidak terkesan jika asumsi penulis itu mengada-ngada, maka pertanyaan yang perlu dilontarkan agar asumsi itu terjawab ialah, apakah pendidikan nasional kita sudah demokratis atau terbuka bagi semua kalangan? Apakah terjadi proses pendidikan di institusi-institusi pendidikan kita? Pendidikan yang seperti apa? Arahnya kemana?
Pertanyaan-pertanyaan ini juga sebagai bentuk kritik yang konstruktif terhadap keberadaan Tamansiswa yang sebentar lagi akan merayakan hari menetasnya ke-100 tahun pada 3 juli 2022 nanti. Untuk itu, penulis ingin membawa pembaca sekalian untuk larut dalam ulasan yang sedikit memberikan lentera cahaya atas gelapnya pertanyaan-pertanyaan itu!
Pendidikan Nasional Bervisi Kerakyatan
Pendidikan nasional menurut paham tamansiswa ialah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.
Artinya, pendidikan merupakan suatu daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak yang kesemuanya itu tidak boleh dipisah-pisahkan, agar supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa tujuan awal pendirian Tamansiswa ialah memberikan kesempatan dan hak pendidikan yang demokratis atau sama bagi para pribumi jelata Indonesia, layaknya privilese yang dimiliki para priyayi atau orang-orang kolonial saat itu. Hal ini menegaskan bahwa kehadiran Tamansiswa disini mengusung “Nasionalisme-Progresif” yang menginginkan terciptanya keadilan dan kemerdekaan rakyat Indonesia secara universal.
Ini juga diafrimasi oleh pernyataan Ki Hadjar bahwa pendidikan dan pengajaran dalam Tamansiswa sesungguhnya diaras dan disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat. Ini adalah transfigurasi Tamansiswa sebagai upaya mewujudkan sistem pengajaran yang berfaedah bagi peri kehidupan bersama rakyat indonesia.
Kemudian, metode belajar yang menopang definisi pendidikan menurut Tamansiswa pada saat itu ialah konsep belajar tiga dinding, suatu konsep yang mendesain bentuk ruang sekolah yang rata memiliki empat dinding. Ki Hadjar menganjurkan agar ruang kelas dibangun dengan tiga sisi dinding, sedangkan satu sisi lainnya terbuka.
Konsep ini secara filosofi menggambarkan bahwa sejatinya tidak boleh ada batasan antara peserta didik di dalam kelas dengan realitas sosial masyarakat di luar ruang kelas. Dengan kata lain, institusi pendidikan haruslah memposisikan diri merakyat dan demokratis, sehingga teori yang diajarkan di kelas mempunyai implikasi dan impak terhadap problem sosial di masyarakat.
Sejak Rezim Orde Baru runtuh, pendidikan kita terjebak dalam skema Neoliberalisme yang diusung dalam The Neoliberal Washington Consensus yang menyebabkan munculnya konsep dan praktik dari liberalisasi pendidikan tinggi, pendidikan tidak lagi dilihat sebagai persoalan praksis membebaskan lagi, tapi dilihat sebagai barang dagangan yang bisa diperdagangkan di pasar.
Akibat infiltrasi nilai ini, sistem pendidikan kita hilang falsafahnya dan tergerus dalam skema profit oriented. Dampak negatif lain yang ditimbulkan ialah sistem pendidikan kita terlalu menekankan aspek intelektual dan kurang memperhatikan pembentukan karakter, kepekaan serta tanggung jawab sosial.
Ini buruk! Sebab dengan sistem pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan generasi bangsa yang tidak memiliki kesadaran moral dan tumpul nurani. Bisa kita lihat lihat potret sosial kita yang mana sering terjadi kekerasan, konflik, sektarian, fanatisme buta, penindasan, watak koruptif, dan berbagai perbuatan mudarat lainnya, tidak lain dan tidak bukan sedikit banyak dipengaruhi oleh hasil didikan sistem pendidikan kita saat ini.
Hal-hal di atas tentu menunjukan bahwa arah pendidikan nasional makin jauh dari ajaran Tamansiswa. Disamping The Neoliberal Washington Consensus yang menyebabkan munculnya konsep dan praktik dari liberalisasi pendidikan, satu sisi produk hukum di negara kita juga mendukung skema itu seperti yang tercermin dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang tidak memiliki ruh kebangsaan, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan berbagai Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (RPP PPP) yang sangat kapitalistik.
Dan tentu semua ini bertentangan dengan dasar Tamansiswa (Panca Dharma), yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Di sisi lain, hampir semua lembaga Pendidikan kita kini tidak menempatkan peran sesuai rule yang dimanatkan konstitusi kita dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1-5 yang secara garis besar besar memandatkan agar pendidikan menjadi tanggung jawab bersama dan negara harus hadir memenuhi itu.
Pendidikan kini hanya alat komersialisasi belaka dan bukan alat pencerdasan, ada uang anda cerdas, itupun jika tercapai, kalau tidak? Yah hanya buang garam di laut.
Perguruan Tamansiswa kini tak pernah bahkan alpa dalam memainkan peran untuk mewujudkan pendidikan yang adil dan demokratis.
“Boro-boro mewujudkan, mengkritisi kebijakan pendidikan saat ini yang jauh dari kebutuhan dan keinginan masyarakat kecil saja senyap.” Ini merupakan satu sikap apatis yang melecehkan sejarah awal berdirinya Tamansiswa.
Baca Juga: 24 Tahun Reformasi dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia
Perguruan ini tidak lagi berperan dalam membentuk wajah sosial yang demokratis, melainkan wajah sosial yang kapitalistik lah yang membentuk arah perguruan ini. Artinya, secara sifat Tamansiswa hanya tersisa ampas ajaran normatifnya Ki Hadjar, akan tetapi secara praksis jauh dari aras ideal intisari ajarannya.
Relevansi Tamansiswa dan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka
Khazanah berpikir kritis Ki Hadjar dalam mendirikan Tamansiswa adalah upaya transformatifnya dalam mengelola perguruan ini. Sejarah mencatat bahwa sebagian besar hidup beliau diabadikan untuk membangun kesadaran dan kecerdasan generasi Indonesia menuju ke arah kehidupan yang bermakna, bernilai, dan bersahaja.
Tentu lewat Ki Hadjar dan Tamansiswa lah peletakan fondasi arah pendidikan nasional dicetuskan dan berjalan hingga mengalami perubahan sampai saat ini.
Harus diketahui bahwa visi pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah menampikan kekhasan tradisional Indonesia (Kultural-Nasioanalis).
Kendati demikian, ia tidak lekang dari tantangan-tantangan dalam tataran praksis implementasi nilainya. Fenomena pendidikan di Indonesia dewasa ini yang condong memiskinkan dan mengerdilkan makna pendidikan menjadi sekedar pengajaran juga sekedar link and match dengan dunia industri adalah tantangan besar dalam merawat kemurnian ajaran ini.
Sebab jika tidak dihadapi secara ideologis maka iklim akademik kita hanya menyajikan pengetahuan teknis sesuai kebutuhan industri. Hal ini tentu bertentangan dengan pengetahuan emansipatoris yang diusung Ki Hadjar bahwa tujuan pendidikan ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari masyarakat.
Dalam pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu zelfstandig atau berdiri sendiri, onafhankelijk atau tidak bergantung pada orang lain, serta vrijheid atau zelfbeschikking atau dapat mengatur diri sendiri.
Dengan kata lain, bapak pendidikan bangsa tersebut berupaya menjelaskan bahwa pendidikan tidak boleh memisahkan antara teori di kelas dengan praksis di lapangan; teori haruslah berbasiskan realitas sosial. Dengan demikian harapan akan melahirkan manusia merdeka dapat tercapai.
Jika kita membedah isi kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, maka beberapa pakar mengatakan bahwa itu selaras dengan ajaran Tamansiswa. Hal ini juga pernah disampaikan Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Drs. H. Pardimi, Ph.D. dalam acara “jagongan merdeka” yang diselenggarkan oleh Majelis Luhur Persatuan Tamansiswavpada maret tahun 2020 lalu.
Acara ini juga dihadiri Plt. Dirjen Dikti Kemendikbud RI Prof. Dr. Nizam sebagai salah pembicara, yang mengatakan bahwa konsep merdeka belajar ini merupakan konsep lama dari Tamansiswa yang diaktualisasikan oleh Mendikbud. Tapi benarkah demikian?
Harus kita insafi bahwa belajar menurut Ki Hadjar adalah pengembangan manusia seutuhnya dengan semua daya secara seimbang. Menurut beliau manusia memiliki daya cipta, rasa, dan karsa (Tri Sakti Jiwa). Jadi dalam belajar ketiga daya ini harus diaplikasikan. Sebab pengembangan yang hanya menitikberatkan pada satu aspek saja hanya akan menyebabkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia.
Baca Juga: Target Pajak di Daerah Meningkat, Napas Bagi Sistem Keuangan Kapitalisme
Beliau juga mengatakan bahwa pendidikan yang hanya mengedepankan kecerdesan intelektual semata hanya menjadikan peserta didik jauh dari masyarakatnya. Tentu jika mengacu pada definisi belajar ini maka sudah barang tentu berkontradiksi dengan kemdikbudristek yang mendefenisikan ulang pendidikan dalam konteks “merdeka belajar-kampus merdeka” hanya dalam tataran keterampilan yang terintegrasi dengan dunia industri.
Terlepas dari perkembangan zaman yang sangat dinamis dan disruptif akibat masifnya kemajuan teknologi tidak harus kita melupakan aspek fundamental dalam pendidikan yang memanusiakan manusia. Jangan sampai redefenisi yang kita buat dalam skema kebijakan hanya sebagai preservasi budaya pragmatisme yang menjadikan corporate values sebagai nilai utama.
Terakhir, harus kita tanamkan dalam benak kita bahwa pendidikan tidak identik dengan mencari kerja. Anggapan pendidikan dengan mencari kerja adalah pengetahuan yang picik. Sebab mencari kerja bukanlah inti orang belajar di institusi pendidikan. Mencari kerja adalah bagian dan bukan esensi dari pendidikan itu sendiri.
Belajar dan berpendidikan adalah upaya untuk memahami tujuan kita hidup dalam semesta ini untuk berbuat apa? Lantas apa gunanya sekolah dan berpendidikan tinggi jika hanya untuk mengibuli dan tidak peduli pada persoalan sosial yang mencekik kaum tak berpunya? Jawablah dengan jujur dalam dirimu sendiri wahai makhluk yang berakal! (*)