PPP Terlempar dari Senayan

Efriza, telisik indonesia
Senin, 25 Maret 2024
0 dilihat
PPP Terlempar dari Senayan
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Terlemparnya PPP adalah hal yang miris sebagai partai lama, partai yang dikenal sebagai partainya umat Islam, ternyata PPP tak pernah bisa keluar dari fakta sebagai partai yang terus mengalami penurunan perolehan suara sehingga akhirnya terlempar dari Senayan "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

PARTAI Persatuan Pembangunan (PPP) akhirnya sesuai prediksi mayoritas hasil survei terlempar dari Panggung Politik Parlemen di Senayan. PPP di tangan Ketua Umum Mardiono ternyata malah terbukti terjerembab terpuruk dalam, bukan saja terjadinya ketidaksolidan internal tetapi juga terlempar dari Senayan berdasarkan fakta Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) yang tidak lolos ambang batas parlemen sebesar 4 persen.

Mardiono yang awalnya diharapkan dapat membangkitkan PPP setelah bersama Ketua Umum Suharso Manoarfa tak ada pergerakan yang terukur. Ternyata Mardiono gagal dalam berbagai strategi politik yang dipilihnya, seperti salah kaprah memberikan posisi jabatan penting dan strategis partai kepada Sandiaga Uno.

Kesalahan lainnya berharap ‘tuah’ dari Sandiaga Uno agar bisa diperhitungkan dalam politik dengan mengajukan Sandiaga sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Ganjar Pranowo serta tetap memilih berkoalisi bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ketika Sandiaga tidak dipilih oleh PDIP tetapi ternyata tak memberikan efek elektoral mendukung Ganjar Pranowo dan berkoalisi bersama PDI Perjuangan.

Penyebab PPP Terlempar

Terlemparnya PPP adalah hal yang miris sebagai partai lama, partai yang dikenal sebagai partainya umat Islam, ternyata PPP tak pernah bisa keluar dari fakta sebagai partai yang terus mengalami penurunan perolehan suara sehingga akhirnya terlempar dari Senayan.

PPP gagal ke Senayan memungkinkan adanya perubahan peran misalnya para kyai memungkinkan tidak lagi memiliki pengaruh besar kepada PPP. Sehingga kekuatan hubungan kyai dan santri tidak tampak lagi menjadi faktor pendongkrak suara.

Ini terjadi kemungkinannya karena PPP tidak lagi memiliki ciri khas, meski umumnya PPP didukung oleh kalangan-kalangan kelompok Islam tetapi PPP dulunya masih punya kelompok khusus pendongkrak suara yakni dari kalangan Nahdlatul Ulama.

Tampaknya warga Nahdliyin sudah memilih kepada PKB dengan trend PKB yang cenderung naik sedangkan PPP malah turun drastis. Contoh sederhana saja, ketika PPP pada Pileg tahun 2019 memperoleh 4,52 persen tetapi Pemilu 2024 PPP hanya memperoleh 3,87 persen, bandingkan dengan PKB yang memperoleh 9,69 persen pada saat Pileg 2019 kemudian naik sebesar 0,92 tepatnya sebesar 10,61 persen.

Jika ditelusuri faktor terlemparnya PPP juga banyak terungkap karena banyak pengurus partai yang kurang giat turun langsung ke bawah untuk mendengarkan aspirasi kader. Dan, keputusan yang semuanya didasari dari atas ke bawah, bukan sebaliknya dari pengurus di bawah lalu naik ke tingkat pusat. Sehingga tampak jelas, keputusan di PPP tidak didasari dari penyerapan aspirasi tetapi berupa perintah dari Pusat kepada kader-kadernya di daerah.

Baca Juga: Berebut Kursi Ketua DPR Periode 2024-2029

Model dari pengambilan keputusan PPP tersebut, yang diyakini para elite di Pusat tidak memiliki kedekatan emosional dengan konstituen maupun masyarakat, lalu bagaimana mereka memperjuangkan kepentingan konstituen dan masyarakatnya.

Wajar akhirnya, konstituen dan masyarakat pun enggan memberikan suara kepada PPP dengan konsekuensi realitas partai ini terlempar dari Senayan karena gagal memenuhi syarat minimal parliamentary threshold (ambang batas parlemen).

Salah Pilih Strategi Politik

Kegagalan PPP juga dapat kita sebut karena salah kaprah dalam memilih strategi politik. PPP terburu-buru memilih untuk keluar dari Koalisi Indonesia Besar (KIB), kemudian menyeberang sendirian memilih kepada PDI Perjuangan.

Nyatanya, hanya PPP yang tersingkir, sedangkan Golkar dan PAN perolehan suaranya naik, bahkan PAN juga lolos dari ancaman tidak lolos parlemen. Seperti Golkar yang sebelumnya memperoleh 12,31 persen, naik menjadi 15,28 persen dan PAN dari 6,84 persen naik menjadi 7,23 persen.

Analisa dari kesalahan PPP memilih strategi politik dalam memilih koalisi dapat dilihat dari fakta, ternyata PDI Perjuangan juga mengalami penurunan suara sebesar 2,6 persen dari 19,33 persen menjadi 16,72 persen meski masih menempati peringkat pertama.

PDI Perjuangan juga gagal dalam mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres), kekalahan dari Pilpres amat miris sebab PDI Perjuangan bukan hanya terlempar dari Istana setelah dua periode dipercaya sebagai partai penguasa, tetapi juga menempati posisi ketiga (buncit) dari hasil Pilpres dan dengan kekalahan memalukan berupa tidak memenangkan sekalipun dan/atau 0 provinsi.

Fakta ini menunjukkan PPP tidak ada faktor ekor jas dari mengusung Ganjar-Mahfud malah terlempar dari peran di politik kancah nasional.

Pilihan PPP mengusung Ganjar dan berkoalisi dengan PDI Perjuangan juga suatu kesalahan dalam memutuskan memilih koalisi, sebab konstituen PPP lebih cenderung memilih kepada Anies ketimbang Ganjar.

Ini jelas menunjukkan PPP tidak melakukan penyerapan aspirasi konstituennya dalam memilih koalisi, sehingga PPP akhirnya malah ditinggal oleh pemilih loyalnya.

Strategi PPP yang salah memilih strategi politik ini juga disertai salah memilih sosok untuk dijadikan tokoh sentral yakni Sandiaga Uno.

Mardiono salah memilih tokoh populer, Sandiaga bukan sosok yang mengakar dari PPP, Sandiaga juga bukan tokoh Islami dengan latar Islam Tradisional, ditambah pula faktanya Sandiaga bukanlah berlatar kuat pengusaha dan awalnya dari partai nasionalis yakni Gerindra.

Baca Juga: Polemik Parliamentary Threshold

Bahkan, ada satu kasus di Depok, pengurus PPP di daerah tidak menghadiri kampanye beberapa titik yang dihadiri oleh Sandiaga untuk mengkampanyekan pasangan Ganjar-Mahfud.

Sandiaga yang sudah memperoleh sentimen negatif dari Gerindra, malah diistimewakan oleh PPP, dengan harapan Sandiaga bisa dipilih sebagai cawapres saat itu. Padahal telah jelas Sandiaga punya rekam jejak pernah kalah di Pilpres 2019 ketika berpasangan dengan Prabowo Subianto, sehingga tak mungkin PDI Perjuangan mau dipasangkan capresnya Ganjar Pranowo dengan Sandiaga yang punya rekam jejak pernah kalah dan memperoleh sentimen negatif karena keluar dari Gerindra dengan citra politisi pragmatis.

Kegagalan Sandiaga ditambah pula dengan fakta dirinya gagal sebagai ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Bappilu). PPP akhirnya membubarkan Bappilu pimpinan Sandiaga, karena masa tugasnya habis pasca pengumuman hasil rekapitulasi Pemilu oleh KPU.

Kegagalan Sandiaga memimpin Bappilu menjadi bukti dari terlemparnya PPP dari Senayan.

Sandiaga ditenggarai dari berdasarkan fakta-fakta di atas bahwa ia tidak punya kemampuan untuk menjadikan dirinya punya posisi tawar yang tinggi untuk menjadi cawapres Ganjar. Ini menunjukkan pilihan PPP untuk mengusung Sandiaga, untuk berkoalisi dengan PDI Perjuangan, berkaitan dengan fakta berupa kegagalan dari Ketua Umum Mardiono.

Ini membuktikan bahwa dipilihnya Mardiono menggantikan Suharso Manoarfa adalah bukti kesalahan PPP menyelesaikan permasalahan di internalnya. Kegagalan PPP mencari pemimpin yang bisa menahkodai PPP adalah awal mula dari kegagalan partai ini hingga terlempar dari parlemen di Senayan.

Sebaiknya memang kegagalan PPP harus disikapi dengan melakukan restrukturisasi besar-besaran dari kepengurusan PPP pada tingkat pusat sampai ke tingkat paling dasar dalam hirarki kepartaian agar PPP bisa kembali ke Senayan di 2029 nanti. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga