Airlangga Hartarto dan Golkar yang Rasional
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 23 Mei 2021
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Airlangga juga semakin tak terlalu khawatir, disebabkan Partai Golkar sudah mengungkapkan kepada publik bahwa tidak akan menggelar konvensi untuk menentukan kandidat Pilpres 2024. "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
BEBERAPA bulan ini, Airlangga Hartarto boleh sumringah dan membusungkan dada. Langkah politik Airlangga untuk mencoba peruntungan menjadi calon presiden pada 2024 mendapatkan angin segar dari Partai Golkar.
Apalagi berdasarkan data Indikator Politik Indonesia yakni berupa kepuasan masyarakat sebesar 65,7 persen terhadap kinerja pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19, respons positif masyarakat ini tentu dianggap menjadi insentif elektoral Airlangga yang bertindak sebagai Ketua Komite Penangan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), (Sindonews.com, 04 Mei 2021).
Airlangga juga semakin tak terlalu khawatir, disebabkan Partai Golkar sudah mengungkapkan kepada publik bahwa tidak akan menggelar konvensi untuk menentukan kandidat Pilpres 2024. Berbagai langkah politik Airlangga juga terlihat sedang mencoba untuk mewujudkan kesempatan emas itu, ditambah pula adanya usulan dari ketua DPD Golkar Jawa Timur yang mencoba untuk menawarkan agar Airlangga Hartarto dapat berpasangan dengan Khofifah Indar Parawansa yang merupakan Gubernur Jawa Timur, (Antaranews.com, 28 April 2021).
Jelas terlihat saat ini bahwa partai-partai politik sedang melakukan pemanasan “mesin” partai untuk merebut simpatik masyarakat, meningkatkan elektabilitas, dan tentu saja agar memiliki posisi tawar dalam melakukan koalisi pada Pilpres 2024 nanti.
Tulisan ini ingin menguraikan situasi politik saat ini dengan menghubungkan langkah politik Airlangga Hartarto, dan juga Golkar dalam Pilpres 2024 nanti.
Baca juga: Upaya Anies Baswedan Menuju Pilpres 2024
Golkar Berpikir Cermat
Golkar tentu saja luar biasa pengalamannya sebagai partai maupun dalam langkah politik. Golkar tidak seperti partai-partai politik lain yang bisa dikatakan masih butuh seperti gegap gempita tampil di media, dan melakukan upaya “pansos” di media sosial. Golkar jika dianalogikan seperti, air tenang menghanyutkan.
Politik Indonesia di era Pilpres sangat diwarnai oleh langkah politik Golkar, seperti di era satu dekade Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun satu dekade Presiden Joko Widodo. Meski kadang berseberangan, tetapi tetap saja Golkar selalu berada dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan.
Rasanya, tak mengikutkan Golkar dalam kekuasaan, seperti pemerintah dihantui ketakutan akan kejutan-kejutan di parlemen.
Sebut saja, ketika terjadi dualisme kepemimpinan di pimpinan DPR, pada 2014 lalu. Ketika itu, Partai Golkar masih berada di luar lingkaran kekuasaan, tetapi kemudian terjadi perubahan Golkar berada di dalam lingkar kekuasaan, akhirnya eksekutif dan parlemen kembali mesra tanpa polemik yang menyusahkan eksekutif.
Memang harus diakui, Golkar sangat menguasai panggung Senayan. Ide-ide segar dan “nakal” yang dilontarkan di parlemen, sangat mewarnai perkembangan politik di Indonesia utamanya menjelang Pemilu presiden.
Namun, Golkar bukan partai politik yang bertindak serampangan, langkah politiknya sangat dipikirkan dengan cermat. Partai Golkar tak akan bertindak memaksakan jika peluangnya kecil, seperti yang dilakukan Partai Golkar tak memaksa mengusung calon presiden atau wakil presiden dari internalnya pada Pilpres 2019 lalu, dengan malah mengusung Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencalonkan diri lagi dalam Pilpres 2019 lalu.
Saat ini tentu saja, Airlangga punya peluang besar, apalagi petahana Jokowi sudah tidak lagi dapat mengajukan diri sebagai calon presiden. Jokowi terganjal aturan konstitusional Pasal 7 yang menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Sehingga peluang Airlangga Hartarto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan sebagainya yang mencoba peruntungan untuk dicalonkan dan menjadi presiden/wakil presiden terbuka luas.
Baca juga: Gerak Politik PKS dengan Safari Ramadan
Peluang Airlangga
Airlangga semestinya menyadari bahwa ia tak bisa terus menerus berbangga diri. Ia harus terus bekerja dengan melakukan kerja nyata untuk rakyat, karena ia tak bisa mengandalkan gerak politik semata untuk mendongkrak popularitasnya.
Kita bisa membandingkan bahwa Airlangga secara popularitas dirinya bukan figur yang mendapatkan elektabilitas tinggi oleh masyarakat.
Meski, gerak politiknya dengan menunjukkan keseriusan untuk maju sebagai presiden di Pilpres 2024 nanti, tentu saja telah menguntungkan dirinya, lihat saja hasil survei indikator politik Indonesia, bulan Mei 2021, dijelaskan Burhanuddin Muhtadi berdasarkan hasil survei, “Menariknya ada nama Airlangga Hartarto yang sebelumnya berkutat di angka sekitar 0 persen, kini menjadi 1,0 persen," (Republika.co.id, 04 Mei 2021).
Tetapi, ketika dilihat kinerjanya sebagai menteri maka Airlangga Hartarto, yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian akan masuk dalam jajaran empat besar menteri yang elektabilitas tertinggi maupun yang memperoleh sentimen positif tertinggi dari masyarakat atas berbagai kinerja menteri-menteri lainnya.
Perbandingan ini membuktikan bahwa gerak politik Airlangga sudah semestinya lebih ditingkatkan dalam kinerjanya sebagai menteri dibandingkan harus menunjukkan ambisi sebagai calon presiden, tetapi malah menyebabkan popularitasnya merosot dan sentimen negatif yang hadir dari masyarakat.
Memang semestinya, Airlangga banyak memberikan masukan dan strategi yang cerdas, benar, dan cepat dalam menanggulangi pandemi COVID-19 kepada Presiden Jokowi, agar keberhasilan pemerintahan tak hanya akan berdampak terhadap Presiden Jokowi tetapi juga berdampak terhadap elektabilitas ketokohan Airlangga dan elektabilitas kinerjanya sebagai menteri.
Perlu diingat, masalah pandemi COVID-19 ini bukan sekadar masalah kesehatan melainkan juga masalah ekonomi, dan tidak mudah menjalankan pola segitiga keberimbangan ala Presiden Jokowi, ketiganya harus berjalan seimbang yakni prioritas kesehatan, prioritas ekonomi, dan juga pembangunan infrastruktur.
Hal yang juga patut diperhatikan bahwa Presiden Jokowi bukanlah presiden yang tidak gemar melakukan reshuffle kabinet, apalagi bongkar pasang terkait perekonomian. Pada periode pertama saja, ia melakukan empat kali reshuffle kabinet yakni pada 12 Agustus 2015, 27 Juli 2016, 17 Januari 2018, dan 15 Agustus 2018, dan periode kedua ini sudah dua kali melakukan reshuffle pada 22 Desember 2020 dan 28 April 2021.
Ketika periode pertama ia memerintah saja, menteri koordinator perekonomian langsung digeser dari Sofyan Djalil menjadi Darmin Nasution, dan menteri perencanaan pembangunan nasional/kepala bappenas Andrinof Chaniago diganti Sofyan Djalil. Catatan ini dapat menjadi pembelajaran buat Airlangga Hartarto.
Di sisi lain, yang juga perlu kehati-hatian dalam bertindak, sebab Airlangga juga perlu memahami Presiden Jokowi punya ambisi besar yang terlalu ambisius, misal target ekonomi tumbuh 7 persen pada kuartal II 2021, ini menunjukkan PR pada bulan April, Mei, dan Juni.
Hal lain yang sedikit tak masuk akal adalah keinginan Presiden Jokowi yang di akhir masa jabatannya bahwa Indonesia tak ada lagi rakyat yang miskin, kemiskinan ekstrem hilang di tahun 2024. Padahal dampak dari pandemi COVID-19, perlahan tapi pasti telah meningkatkan kesulitan ekonomi di masyarakat, jika tak ingin dianggap meningkatkan penambahan jumlah rakyat miskin.
Ini menunjukkan ambisi Airlangga meski diredam, jika tak ingin upaya mendongkrak suara malah berakhir memperoleh kabar dirinya di reshuffle, disebabkan tak bisa menyelesaikan apa yang menjadi arahan, visi-misi, dan ambisi Presiden Jokowi.
Baca juga: Pragmatisme Partai Politik
Menerka Pola Koalisi
Jika merujuk kepada pengaturan presidential threshold dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dijelaskan bahwa syarat partai atau gabungan partai politik yang boleh mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional.
Pengaturan itu menunjukkan bahwa Golkar tak bisa melakukan sendiri dalam mengusung pasangan calon presiden tanpa adanya mitra koalisi. Sebab jika dilihat perbandingan Pemilu Legislatif 2019 dan 2014 sebelumnya, bahwa Golkar justru turun dari urutan kedua menjadi ketiga. Perolehan suaranya pada Pileg 2019 ini sebesar 17.229.789 atau 12,31 persen suara, sedangkan pada Pileg 2014, Partai Golkar mendapatkan 18.432.312 atau 14,75 persen suara, (Kompas.com, 21, Mei 2019).
Ini membuktikan bahwa ruang gerak Airlangga amat tidak leluasa, ia sebagai ketua umum Golkar bukan saja harus memperhitungkan suara partainya tetapi juga akan dituntut untuk mendongkrak suara Partai Golkar di Pileg 2024 nanti.
Di sisi lain, tentu saja Golkar akan bertindak rasional. Ia akan benar-benar memperhitungkan dengan seksama seperti perkembangan politik di kabinet, elektabilitas Airlangga, dan juga pola koalisi yang akan tercipta.
Pilpres 2024 memang sangat dimungkinkan terjadinya empat poros koalisi yakni poros PDIP, poros Gerindra, dan ada dua kemungkinan yang bisa terjadi apakah Golkar akan membentuk poros ketiga sebagai partai tiga besar, atau malah Partai Golkar memilih bergabung dengan poros keempat yang bisa diinisiasi oleh partai peraih suara menengah dalam parliamentary threshold.
Golkar jika ingin mengajukan Airlangga sebagai calon presiden, untuk diajukan di poros PDIP, maupun poros Gerindra harus berpikir bijak, dengan menawarkan dan menurunkan ambisi melalui mengajukan Airlangga Hartarto sebagai calon wakil presiden.
Sebab, Airlangga secara ketokohan masih kalah dengan Ganjar Pranowo dari PDIP. Apalagi kriteria calon presiden dari PDIP, sangatlah tidak mudah, seperti pemimpin yang harus ada di lapangan bukan di sosial media, dan pemimpin yang dapat dilihat berdasarkan track recordnya terkait karakter, kompetensi, dan kapasitasnya, (Telisik.id, 22 Mei 2021).
Ini menunjukkan sepak terjang Airlangga Hartarto tergantung hasil kualitas diri dan kinerjanya sebagai menteri koordinator bidang perekonomian dan ketua KPCPEN, keputusan ini pun berada dalam kendali Presiden Joko Widodo.
Sedangkan, Airlangga juga sangat sulit menggeser ambisi Prabowo dan Gerindra, mereka akan mencoba peruntungan kembali untuk memajukan Prabowo Subianto sebagai presiden, dibandingkan menukar posisi Prabowo sebagai wakil presiden seperti dengan Megawati Soekarnoputri pada 2009 lalu.
Ini seperti menunjukkan bahwa Partai Golkar dapat menggunakan opsi ketiga yakni memilih membentuk poros baru. Hal ini yang diperhitungkan oleh Airlangga Hartarto berdasarkan saran ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur yakni berpasangan dengan Khofifah Indar Parawansa, dengan analisis bahwa Pilpres 2024 masih bernuansa menguatnya politik Islam, di sisi lain PKB merupakan partai yang sangat solid dalam mendukung koalisi pemerintahan, dan kehadiran PKB juga dapat menjadi magnet untuk menggaet partai-partai lain walaupun secara matematis PKB dan Golkar sudah cukup memenuhi ambang batas presidential threshold karena berada di angka 22 persen.
Tetapi mengajak PKB berkoalisi dengan mengusung Airlangga-Khofifah tentu saja tidaklah mudah, karena masih ada ambisius Muhaimin Iskandar yang patut diperhitungkan, Muhaimin memiliki ambisi untuk maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2024 ke depan.
Memang pilihan keempat adalah Golkar dan Airlangga lebih memilih tidak membangun poros Golkar yang diinisiasinya. Tetapi memilih untuk bergabung dalam poros keempat, yang bisa diinisiasi oleh Partai Nasdem, atau Partai Demokrat, ataupun PKS.
Namun, poros ini kemungkinan besar lebih mengedepankan mengajukan calon yang potensial secara elektabilitas dan tentu saja mereka mengharapkan dari unsur eksekutif daerah yang terbukti elektabilitas tinggi, dianggap berhasil, dan mendapatkan sentimen positif dari masyarakat.
Dengan harapan bahwa akan sama seperti Presiden Jokowi saat ini, berasal dari pejabat daerah yang telah memiliki rekam jejak yang baik dan berhasil, yang akhirnya juga bisa dirasakan empatinya, juga kehadiran dan kinerjanya sebagai presiden bagi masyarakat.
Jadi, saat ini Airlangga Hartarto akan terus berusaha meningkatkan ketokohan diri, kinerjanya sebagai menteri, namun Airlangga dan Golkar, tentu akan berpikir dan bertindak rasional.
Sebab, Golkar lebih memikirkan kebermanfaatan bagi masyarakat, lebih menjaga peluang tetap sebagai partai tiga besar, menjaga peluang dan gerak politik tetap diperhitungkan sebagai bagian koalisi pemerintahan dari siapa pun yang terpilih dalam Pilpres 2024, dibandingkan ambisius diri semata yang malah menyebabkan Golkar makin terjerembab suaranya atau malah terjadi perpecahan kembali antar faksi di internal Partai Golkar. (*)