Presiden Tiga Periode, Mereka Pengkhianat Bangsa
Usmar, telisik indonesia
Sabtu, 26 Juni 2021
0 dilihat
Dr. Usmar, SE, MM, Inisiator Pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FK-SMJ). Foto: Ist.
" Dinamìka wacana tentang jabatan presiden tiga periode sebenarnya sudah digulirkan dalam wacana publik sejak satu setengah tahun yang lalu. "
Oleh: Dr. Usmar, SE, MM
Inisiator Pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FK-SMJ)
DINAMÌKA wacana tentang jabatan presiden tiga periode sebenarnya sudah digulirkan dalam wacana publik sejak satu setengah tahun yang lalu.
Bahkan saat saat perayaan HUT ke-8 NasDem di JI. Internasional Jatim, Surabaya, Sabtu, 23 November 2019, dalam sambutannya Ketua Umum Partai Nasdem, mengatakan bahwa opini ini sebuah diskursus, “Kita harus bisa melihat ini sebagai sesuatu hal yang wajar sekali."
Selanjutnya pada hari lalu Sabtu 19 Juni 2021, sekelompok relawan dengan kemasan acara syukuran sekretariat Jokpro, yang dapat dibaca sebagai titik awal resmi mendeklarasikan komunitas Jokowi-Prabowo 2024 atau Jokpro 2024.
Adapun program utama dari Jokpro ini adalah melakukan upaya mendukung kembali Presiden Jokowi untuk kali ketiganya pada saat kontestasi politik Pilpres 2024 yang akan datang untuk berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Ketika isu tentang jabatan presiden tiga periode masih sekedar wacana sebuah diskursus yang digulirkan, dalam konteks kebebasan beropini tentu tidak masalah.
Namun, ketika wacana ini coba diwujudkan dengan berbagai upaya untuk merealisasinya dengan membentuk barisan relawan dan lain sebagainya, sudah masuk pada wilayah kebebasan berekspresi, tentu ini sudah menjadi gerakan politik.
Karena itu, sebagai bagian dari tanggung jawab sebagai anak bangsa Indonesia, yang ikut berperan aktif dalam gerakan reformasi 1998 yang terjadi pada 23 tahun lalu itu, merasa perlu secara moral dan nalar untuk ikut urun rembug meresponnya dalam konteks dan konsepsi kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan konstitusi kita yang berlaku sekarang ini.
Baca juga: Simbiosis Mutualisme Arab Saudi dan Indonesia
Esensi Agenda Reformasi 1998
Peristiwa reformasi 1998, sejatinya adalah sebuah upaya gerakan mahasiswa, pemuda dan masyarakat yang ingin melakukan perubahan untuk perbaikan kehidupan demokrasi di bidang sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya di Indonesia dengan cara mengoreksi kebijakan menyimpang dan otoriterian era rezim Orde Baru.
Memang ada beberapa agenda reformasi yang diperjuangkan saat itu, tetapi yang paling utama adalah melakukan pembatasan masa jabatan presiden.
Karena saat itu masyarakat menilai bahwa dalam ukuran ideal, jabatan seorang presiden hanya di perbolehkan maksimal dua periode.
Sebagai respon dari tuntutan perjuangan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, yang dibayar dengan air mata, darah dan nyawa mahasiswa, pemuda dan masyarakat, telah berhasil mewujudkan tuntutan itu secara konstitusional.
Berdasar TAP MPR Nomor XIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang diterbitkan pada 13 November 1998, telah mengatur tentang periodesasi jabatan presiden.
Dan di UUD 1945 juga telah diatur dalam Pasal 7 bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
Jadi jelas sudah tak terbantahkan, bahwa konstitusi kita secara tersirat dan tersurat, telah mengatur tentang periode jabatan presiden yang dibolehkan menurut konstitusi, adalah maksimal 2 periode.
Jadi siapapun presidennya, tetap harus tunduk dengan ketentuan UUD 1945 ini, dimana saat dilantik oleh MPR, sudah berjanji sesuai pasal 9 UUD 1945, yang berbunyi:
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa akan memegang teguh UUD 1945.”
Berkembangnya wacana jabatan presiden tiga periode yang di dukung para petualang politik, sekali lagi sebagai bagian kebebasan berpikir itu harus dihormati.
Namun, ketika sudah masuk pada tataran mewujudkan kebebasan berekspresi, maka itu perlu disikapi untuk tidak menjadi liar berdiri di luar konstitusi negara kita.
Kita bisa melihat, diantaranya adalah dalam acaranya syukuran sekretariat nasional Jokpro, pada Jumat, 18 Juni 2021 lalu, yang agenda utamanya adalah mendukung Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 mendatang, membuktikan bahwa gerakan politik tersebut memang sedang berlangsung.
Ada 3 orang yang menginisiasi berdirinya relawan tersebut, yaitu Baron Danardono Wibowo sebagai ketua umum, Timothy Ivan sebagai Sekretaris Jenderal Jokpro 2024, dan direktur eksekutif Indo Barometer (IB) M Qodari sebagai penasihat.
Jika saja para politisi dan para relawan tersebut, dapat berpikir benar dan linear dengan perubahan dan perbaikan untuk bangsa dan negara tercinta ini, tentu tidak akan sepakat menerobos rambu-rambu konstitusi tersebut.
Atau mungkin saja, sebenarnya mereka tahu bahwa tuntutan yang mereka sedang Viralkan tersebut, sejatinya adalah upaya “Menegasikan esensi reformasi 98 tersebut”, namun semangat untuk eksis yang tidak pada tempatnya mereka tetap saja menyuarakan syahwat berkuasa itu.
Baca juga: Menyoal Maraknya Kekerasan pada Anak, Butuh Solusi Mendasar
Komersialisasi Jabatan Presiden
Upaya mendorong dan mewujudkan syahwat politik berkuasa dengan membangun narasi jabatan presiden 3 periode, tanpa mau menghormati esensi perjuangan gerakan reformasi 98, sejatinya adalah gerakan kaum oportunis yang sempurna dan memalukan.
Mengapa kita katakan gerakan kaum oportunis yang sempurna dan memalukan?
Karena saat gerekan reformasi 98 mendorong batasan jabatan presiden, adalah suatu keinginan mulia, yang berangkat dari semangat ingin membangun suasana yang lebih demokratis di Indonesia dalam konteks sirkulasi pergantian pimpinan khususnya kepemimpinan nasional yang smooth dan alami.
Jadi dengan ketentuan adanya pembatasan jabatan presiden yang berhasil diperjuangan itu, bahwa sebaik apapun Anda memerintah tetap harus ada periodesasi yang membatasinya.
Dengan semangat yang luar biasa untuk menerobos rambu-rambu konstitusi, ini dapat kita maknai bahwa persoalan ikut kontestasi politik Pilpres, adalah semata soal peluang kapitalisasi sumber daya yang dimiliki bangsa dan negara ini.
Dan jika benar itu yang jadi para meternya, maka ini menjadi kewajiban kolektif anak bangsa untuk menolaknya. Karena sinyalemen pemikir politik lord acton, bahwa power tends to corrupt, adalah suatu kenyataan.
Memang secara teori, bahwa politik adalah seni kemungkinan. Sehingga berbagai kemungkinan dapat saja terjadi, jika memang syahwat politik semata yang mendasari pemikiran para elit politik kita.
Kita masih ingat ketika isu ini bergulir dan sampai ke presiden, dan dengan tegas Presiden Jokowi menjawab, dengan menyatakan, "Saya adalah produk pemilihan langsung berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi. Posisi saya jelas: tak setuju dengan usul masa jabatan presiden tiga periode".
Dan menurut Presiden Jokowi, usulan dan wacana itu ada 3 makna, yaitu: Satu ingin menampar muka saya. Yang kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Yang ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja".
Maka menilik kalimat yang digunakan Jokowi dalam merespon isu ini, lugas dan tegas, tentu cukup memukul rasa dan adab mereka yang mencoba menggulirkan wacana tiga periode tersebut.
Jadi jika kita menggunakan nalar rasional, menyimak jawaban presiden itu, dengan pilihan kalimat yang relatif keras, sesungguhnya sudah cukup buat elit politik untuk lebih kreatif mencari isu baru, jika memang sengaja ingin “mendinamisir” perpolitikan di tanah air.
Saya tetap berpendapat bahwa kekuatan masyarakat itu, bukan pada kekuatan kontrol sosialnya, tapi lebih pada kemampuannya menjadikannya dirinya realitas.
Jadi dalam realitas masyarakat yang sedang berjuang mengatasi problema pandemi COVID-19 yang telah melemahkan berbagai sendi kehidupan sosial politik dan ekonomi masyarakat, janganlah para elit kegenitan membangun narasi yang sarat dengan syahwat politik semata.
Jika hal tersebut tetap dilakukan para elit politik, para petualang politik, bahkan para bajingan politik, tidak ada kata yang lebih keras untuk menolak itu, selain kita mengatakan bahwa mereka itu adalah: pengkhianat bangsa. (*)