Cegah Stunting itu Penting

Hasriati, telisik indonesia
Sabtu, 17 Oktober 2020
0 dilihat
Cegah Stunting itu Penting
Hasriati, S.Pi Pegawai BPS Kabupaten Konawe. Foto: Ist.

" Prevalensi stunting di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Walaupun prevalensi stunting menurut data BPS menunjukkan penurunan. Namun prevalensi itu masih tergolong tinggi. "

Oleh: Hasriati, S.Pi

Pegawai BPS Kabupaten Konawe

STUNTING (tubuh kerdil) salah satu persoalan kesehatan serius yang dihadapi Indonesia. Stunting mengancam kualitas generasi masa depan. Oleh karenanya pemerintah mesti menentukan langkah serius pula dalam menanggulanginya.

Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Kementerian Kesehatan di tahun 2019 sebelum pandemi, mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta balita di Indonesia mengalami stunting.

Prevalensi stunting di Indonesia  cukup mengkhawatirkan. Walaupun prevalensi stunting menurut data BPS menunjukkan penurunan. Namun prevalensi itu masih tergolong tinggi.

Pada tahun 2019 prevalensi balita stunting Indonesia sebesar 27,7 persen di atas batasan yang ditetapkan oleh WHO (20 persen). Yang berarti 28 dari 100 balita menderita stunting (Profil Statistik Kesehatan 2019, BPS).

Dari Istana Merdeka Jakarta, 5 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo telah meminta kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk  pelaksanaan program penurunan kasus stunting difokuskan pada 10 provinsi dengan jumlah kasus tertinggi. Sepuluh provinsi yang dimaksud meliputi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Gorontalo, Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah (antaranews.com, 5 Agustus 2020).

Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan berfikir.

Menurut dr. Inggriani Tobarasi, S.pA, M.Kes bahwa faktor lingkungan yang berperan dalam kasus stunting antara lain status gizi ibu, tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori, pola pemberian makan pada anak, kebersihan lingkungan dan angka kejadian infeksi di awal kehidupan seorang anak.

Dampak stunting umumnya terjadi disebabkan kurangnya asupan nutrisi pada 1.000 hari pertama anak, yaitu dimulai sejak janin sampai anak berusia 2 tahun (awalbros.com>anak>kenali-stunting).

Efek stunting jangka pendek berupa hambatan perkembangan, penurunan fungsi kekebalan tubuh, perkembangan otak yang tidak maksimal berpengaruh pada kemampuan mental dan belajar tidak maksimal, serta prestasi belajar yang buruk.

Sementara efek jangka panjangnya meliputi obesitas, penurunan toleransi glukosa, penyakit jantung koroner, hipertensi dan osteoporosis.

Baca juga: Setelah Disrupsi, Pandemi COVID-19, What's Next?

Oleh karena itu stunting sangat penting untuk dicegah. Karena dampak stunting yang sulit di perbaiki dan dapat merusak masa depan anak, yang merupakan generasi bangsa.

Kondisi stunting bisa dikelompokkan ke dalam dua sebab, pertama, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan, kedua kondisi ekonomi berupa kemiskinan.

Pemahaman masyarakat, khususnya ibu terkait asupan nutrisi yang baik untuknya dan janin, pentingnya ASI eksklusif, gizi anak untuk pertumbuhan dan perkembangan balita merupakan faktor penting untuk mencegah stunting.

Demikian pula dengan pengetahuan keluarga dan masyarakat tentang sanitasi dan penggunaan air bersih dalam kebutuhan masak dan minum, dalam rangka mencegah derita penyakit berulang-ulang, seperti diare   dan cacingan.

Lantas, seperti apa pemahaman dan kondisi masyarakat terkait faktor pencegah stunting?

Dalam publikasi BPS, Profil Statistik Kesehatan 2019 bahwa kesadaran untuk memberi ASI eksklusif pada tahun 2019 hanya 67 dari 100 anak usia 0 - 5 bulan yang diberikan ASI eksklusif, meskipun terdapat Peraturan Pemerintah RI No 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif yang mengharuskan pemberian ASI eksklusif.

Hanya terdapat 55 dari 100 anak usia 12-23 bulan yang menerima imunisasi dasar lengkap. Persentase rumah yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak sebesar 89,27 persen dan yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak 77,39 persen.

Mencermati kondisi tersebut, maka merupakan PR bersama utamanya lembaga terkait, untuk melakukan edukasi terus menerus dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat agar terjadi perubahan perilaku menuju sehat.

Dan perlu dukungan kemudahan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau semua pihak, tanpa mengandalkan asuransi berbayar.

Di samping pengetahuan masyarakat, kemiskinan juga dianggap menjadi faktor penting penyebab terjadinya stunting.

Baca juga: Faktor Ekonomi Picu Tingginya Angka Perceraian

Rumah tangga yang miskin mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi asupan gizi keluarga, yang beresiko munculnya stunting balita.  

Kemiskinan pun telah menyeret anggota keluarga ikut menanggung beban ekonomi tak terkecuali ibu, baik sebagai buruh, karyawan maupun usaha rumah tangga.

Kondisi ini menjadikan ibu kurang fokus, menjalankan fungsi pengasuhan anak. Peraturan cuti melahirkan bagi pegawai selama 3 bulan pun tidak seiring dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan pemberian ASI eksklusif yang dianjurkan hingga bayi berusia 6 bulan.

Dengan lahirnya generasi stunting, tentu keluarga tidak mampu menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas. Rumah tangga miskin tersebut akan sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Terlebih kemiskinan yang terjadi saat ini bukan hanya  kemiskinan kultural, tetapi lebih didominasi oleh kemiskinan struktural.

Kondisi pandemi berkepanjangan pun memperparah ancaman stunting.  PBB memperkirakan COVID-19 memicu ancaman stunting terhadap 7 juta anak Indonesia dan 180.000 terancam meninggal (bbc.com/Indonesia, 02/08/2020).

Untuk keluar dari pusaran kemiskinan, uluran tangan dari kalangan mampu dan kehadiran negara dengan kebijakan solutif adalah sebuah keniscayaan.  Kecepatan penyelesaian rantai stunting, akan dipengaruhi oleh kemampuan bangsa Indonesia mengentaskan kemiskinan.

Kehadiran negara menjadi penentu terpenuhinya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, demi mencegah kasus stunting dan memajukan Indonesia. Terlebih di tengah badai pandemi, semakin beratnya tantangan pemenuhan kebutuhan hidup, banyak dialami oleh rakyat. Terbukti dengan meningkatnya angka kemiskinan secara nasional di tahun 2020.

Karena itu, untuk mencegah terjadinya stunting yang menghantui masa depan keluarga bahkan bangsa, memang memerlukan ketekunan dan usaha menyeluruh dari semua pihak.  Tidak hanya berasal dari kaum ibu.    

Penguasa perlu memposisikan diri sebagai pelayan rakyat sepenuh hati, tak berhitung untung rugi. Tak ada salahnya jika kita bercermin dari sikap kepemimpinan rasa tanggung jawab yang besar kepada rakyatnya dan Sang Pencipta.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab melakukan blusukan di tengah sunyinya malam yang diselimuti hujan dan dingin, demi memastikan  rakyatnya tidak ada yang kelaparan malam itu. Dan beliau segera menuntaskan kebutuhan rakyatnya tanpa menunggu datangnya fajar. (*)

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga