Rahasia Tersembunyi BJ Habibie dari Istana ke Meja Kerja, Bikin Dolar Tumbang dari Rp 16.000 ke Rp 6.550
Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Senin, 06 Oktober 2025
0 dilihat
Di tengah krisis 1998, Habibie diam-diam jalankan tiga langkah berani penyelamat rupiah Indonesia. Foto: Repro Antara.
" Di tengah udara pengap Jakarta tahun 1998, ruang kerja Presiden B.J. Habibie berubah menjadi pusat kendali darurat ekonomi "

JAKARTA, TELISIK.ID - Di tengah udara pengap Jakarta tahun 1998, ruang kerja Presiden B.J. Habibie berubah menjadi pusat kendali darurat ekonomi.
Suara mesin pendingin terdengar samar, sementara layar komputer di hadapannya menampilkan grafik dolar Amerika Serikat yang terus menanjak tajam menembus Rp 16.800.
Ekspresi Habibie tampak tenang, tapi matanya menyiratkan beban berat: sebuah bangsa berada di ambang kehancuran.
Di luar istana, antrean panjang di depan bank sudah menjadi pemandangan harian. Orang-orang membawa tas berisi dokumen rekening, khawatir simpanannya lenyap akibat krisis moneter.
Melansir CNBC Indonesia, Senin (6/10/2025), ketika Soeharto lengser setelah 32 tahun berkuasa, banyak yang mengira penggantinya tidak akan mampu menahan gelombang krisis yang menggulung Asia. Habibie dianggap bukan ekonom, hanya seorang teknokrat pembuat pesawat.
Bahkan, Lee Kuan Yew dalam From Third World to First menulis bahwa naiknya Habibie ke kursi presiden sempat menimbulkan kecemasan di Singapura karena dianggap bisa memperparah krisis keuangan Indonesia.
Namun sejarah mencatat sebaliknya. Dalam waktu singkat, Habibie mampu membalikkan keadaan. Dolar yang sempat menembus Rp16.000-an, terjun bebas hingga Rp6.550.
Dalam bukunya Detik-Detik yang Menentukan (2006), Habibie menulis, “Saya percaya bahwa pemulihan ekonomi tidak bisa dilakukan dengan pidato, tapi dengan keputusan yang berpihak pada kepercayaan rakyat dan pasar.”
Tiga kebijakan besar menjadi rahasia di balik keberhasilan itu.
1. Restrukturisasi Perbankan dan Independensi Bank Indonesia
Habibie sadar bahwa sistem perbankan saat itu sudah seperti bangunan retak. Kebijakan deregulasi 1988 yang memudahkan pendirian bank justru melahirkan banyak lembaga keuangan tanpa fondasi kuat.
Baca Juga: Sosok Komjen Rudy Heryanto, Disebut Kandidat Kuat Non-Akpol Pengganti Kapolri Listyo Sigit
Ketika krisis melanda, puluhan bank kolaps, dan penarikan dana besar-besaran terjadi di mana-mana.
Dalam rapat kabinet, Habibie memutuskan langkah radikal: empat bank milik pemerintah — Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Exim, dan Bank Pembangunan Indonesia — digabung menjadi satu bank besar bernama Bank Mandiri.
Langkah ini menjadi simbol restrukturisasi besar-besaran yang menumbuhkan kembali kepercayaan publik.
Lebih jauh, Habibie juga memisahkan Bank Indonesia dari pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999. Dalam otobiografinya, ia menegaskan, “BI harus berdiri sendiri, bebas dari intervensi politik. Hanya dengan independensi, kepercayaan pasar bisa pulih.”
Sejak saat itu, wajah-wajah tegang di ruang rapat mulai menampakkan harapan. Nilai tukar rupiah perlahan berhenti merosot, dan stabilitas sistem keuangan mulai pulih.
2. Kebijakan Moneter Ketat dan Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia
Langkah berikutnya adalah memperkuat arus likuiditas dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Habibie bersama Gubernur BI saat itu, Sjahril Sabirin, menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan bunga tinggi.
Kebijakan ini bertujuan menarik kembali uang masyarakat yang sempat “lari” dari bank. Bunga yang tinggi membuat masyarakat tertarik menyimpan uang di perbankan, menurunkan jumlah uang beredar, dan menekan laju inflasi.
Dalam buku Inspirasi Habibie karya A. Makmur Makka (2020), disebutkan bahwa Habibie sangat detail dalam memantau dampak kebijakan tersebut. “Setiap malam ia mengecek pergerakan rupiah dan suku bunga dari meja kerjanya. Ia mencatat, menganalisis, lalu memberi instruksi singkat yang sering kali menentukan arah kebijakan esok pagi,” tulis Makka.
Hasilnya nyata. Suku bunga yang semula menembus 60 persen perlahan turun ke kisaran belasan persen. Bank kembali dipercaya, masyarakat kembali menabung, dan grafik rupiah mulai berbalik arah.
3. Pengendalian Harga Bahan Pokok dan Stabilitas Sosial
Habibie juga memahami bahwa krisis ekonomi tak akan bisa diatasi tanpa stabilitas sosial. Ia menolak menaikkan harga listrik dan BBM bersubsidi agar harga bahan pokok tidak melonjak.
Kebijakan ini bukan tanpa risiko. Anggaran negara terbebani, dan sebagian ekonom menganggap langkah itu hanya penundaan masalah.
Namun Habibie punya pandangan berbeda. Dalam sebuah pidatonya yang dikutip oleh A. Makmur Makka, ia berkata, “Yang lapar tidak bisa diajak berpikir tentang reformasi. Maka beri mereka stabilitas harga, baru kita bicara pembangunan.”
Habibie bahkan sempat mengeluarkan imbauan yang dikenal luas: menganjurkan rakyat berpuasa Senin-Kamis untuk berhemat. “Ketika terjadi masa krisis saat B.J. Habibie diangkat menjadi presiden, ia menganjurkan rakyat melakukan puasa Senin-Kamis,” tulis Makka.
Baca Juga: Sosok Diana Valencia Gunawan, Viral Kartu Pers Dicabut Istana Gegara Tanya Prabowo Kasus MBG
Meski sempat disalahartikan, pesan itu sebenarnya mencerminkan sikap kepemimpinannya yang sederhana dan berbasis nilai moral.
Seiring berjalannya waktu, kepercayaan pasar pulih. Investor mulai kembali menanamkan modal. Nilai tukar rupiah yang semula runtuh akhirnya stabil di kisaran Rp 6.550 per dolar AS. Dunia pun menatap Indonesia dengan cara berbeda, bukan lagi negara gagal, melainkan contoh pemulihan cepat di tengah krisis Asia.
Habibie, dengan senyum tipisnya, menatap layar monitor yang kini menunjukkan grafik hijau menurun tajam. Dalam catatan hariannya, ia menulis, “Bukan saya yang menyelamatkan rupiah. Rakyatlah yang menolak menyerah.”
Dan dari ruang kerja sederhana di Istana, seorang insinyur membuktikan bahwa sains, ketegasan, dan keyakinan bisa menjadi senjata ampuh melawan badai ekonomi. (C)
Penulis: Ahmad Jaelani
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS