Resmi Disahkan jadi Undang-Undang, Ini Alasan RUU TNI Picu Penolakan dan Perjalanan Dwifungsi ABRI

Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Sabtu, 22 Maret 2025
0 dilihat
Resmi Disahkan jadi Undang-Undang, Ini Alasan RUU TNI Picu Penolakan dan Perjalanan Dwifungsi ABRI
Pengunjuk rasa memegang poster saat aksi di depan pintu gerbang Pancasila, Gedung DPR, Jakarta. Foto: Repro Antara.

" Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) "

JAKARTA, TELISIK.ID - Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Pengesahan revisi UU TNI ini dilakukan pada Kamis (20/3/2025) di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Keputusan ini menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat, terutama karena beberapa poin dalam revisi tersebut memunculkan kontroversi dan gelombang penolakan dari berbagai pihak.

RUU TNI 2025 merupakan revisi atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang bertujuan memperbarui aturan terkait tugas dan kewenangan TNI. Dalam revisi ini, terdapat perubahan signifikan, termasuk penambahan tugas TNI dalam bidang siber dan perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

Selain itu, revisi ini juga memungkinkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan di beberapa kementerian dan lembaga negara tanpa harus pensiun terlebih dahulu dari dinas militer.

Pengesahan revisi UU TNI ini dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani. Sebelum pengesahan dilakukan, Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto menyampaikan laporan hasil pembahasan yang telah dilakukan oleh Komisi I DPR RI bersama pemerintah.

Dalam laporannya, Utut berharap revisi UU TNI dapat memberikan manfaat bagi bangsa dan negara.

"Semoga dapat memberikan manfaat besar bagi bangsa dan negara," kata Utut, seperti dikutip dari Tribunnews, Sabtu (22/3/2025(.

Setelah laporan disampaikan, Puan menanyakan kepada anggota dewan mengenai persetujuan pengesahan revisi UU TNI.

"Kami menanyakan kepada seluruh anggota apakah RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?" tanya Puan.

"Setuju," jawab peserta rapat.

Baca Juga: RUU TNI Disepakati Masuk Paripurna, Usia Pensiun Bertambah 65 Tahun dan 15 Jabatan Sipil Bisa Diisi TNI Aktif

Dalam RUU TNI 2025, terdapat beberapa poin penting yang menjadi perhatian. Salah satunya adalah perluasan jabatan di kementerian dan lembaga negara yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI.

Setidaknya ada 14 posisi yang dapat ditempati oleh prajurit aktif tanpa harus pensiun terlebih dahulu, antara lain:

Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara

Pertahanan Negara/Dewan Pertahanan Nasional

Kesekretariatan Negara yang menangani urusan Kesekretariatan Presiden dan Kesekretariatan Militer Presiden

Intelijen Negara

Siber dan/atau Sandi Negara

Lembaga Ketahanan Nasional

Search and Rescue (SAR) Nasional

Badan Narkotika Nasional

Pengelola Perbatasan

Penanggulangan Bencana

Penanggulangan Terorisme

Keamanan Laut

Kejaksaan Republik Indonesia

Mahkamah Agung

Selain itu, dalam revisi ini juga diatur mengenai batas usia pensiun prajurit TNI berdasarkan pangkat, sebagai berikut:

Bintara dan Tamtama: 55 tahun

Perwira sampai dengan pangkat Kolonel: 58 tahun

Perwira tinggi bintang 1: 60 tahun

Perwira tinggi bintang 2: 61 tahun

Perwira tinggi bintang 3: 62 tahun

Perubahan dalam revisi UU TNI ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak karena dinilai berpotensi menghidupkan kembali konsep dwifungsi TNI.

Konsep ini mengacu pada peran ganda TNI dalam bidang militer dan pemerintahan, yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru.

Mengutip buku pejuang dan Prajurit, Dwifungsi TNI merupakan kebijakan politik yang memberi peran kepada militer tidak hanya dalam bidang pertahanan, tetapi juga dalam pengambilan kebijakan pemerintahan.

Kebijakan ini diterapkan secara resmi pada masa pemerintahan Soeharto dan dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982.

Pada masa Orde Baru, dwifungsi ABRI memungkinkan perwira militer menduduki jabatan dalam pemerintahan, termasuk di lembaga legislatif dan eksekutif.

Hal ini menyebabkan dominasi militer dalam pemerintahan dan mengurangi keterlibatan warga sipil dalam pengelolaan negara.

Konsep dwifungsi ABRI mencapai puncaknya pada tahun 1990-an, ketika banyak perwira aktif TNI menduduki posisi strategis di pemerintahan, termasuk sebagai bupati, wali kota, duta besar, serta pimpinan perusahaan milik negara.

Kondisi ini menimbulkan berbagai dampak, termasuk berkurangnya transparansi dalam pemerintahan dan meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Penerapan kembali kebijakan yang memungkinkan prajurit aktif TNI menduduki jabatan sipil tanpa pensiun lebih dulu memicu kekhawatiran kembalinya praktik dwifungsi.

Banyak pihak menilai bahwa hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang telah membatasi keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil.

Baca Juga: DPR dan Pemerintah Diam-diam Kebut Revisi UU TNI di Hotel Mewah, Ada Apa?

Sebelum pengesahan, pemerintah sempat mengusulkan agar TNI memiliki kewenangan dalam penanganan penyalahgunaan narkotika. Namun, usulan ini ditolak dalam rapat Panitia Kerja (Panja) yang berlangsung pada Senin (17/3/2025).

Revisi UU TNI juga mengatur tentang penambahan tugas pokok bagi TNI dalam menangani ancaman siber serta perlindungan WNI di luar negeri. Hal ini dianggap sebagai upaya memperluas peran TNI dalam menghadapi ancaman non-tradisional di era digital.

Berbagai elemen masyarakat menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI ini. Mereka menilai bahwa aturan baru tersebut berpotensi mengurangi supremasi sipil dan memperbesar peran militer dalam pemerintahan.

Meskipun telah disahkan, perdebatan mengenai dampak dari revisi UU TNI ini masih terus berlangsung. (C)

Penulis: Ahmad Jaelani

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga