Pemimpin Perempuan untuk Keberpihakan pada Kaum Perempuan

M. Najib Husain, telisik indonesia
Minggu, 06 Juni 2021
0 dilihat
Pemimpin Perempuan untuk Keberpihakan pada Kaum Perempuan
Dr. M. Najib Husain, Dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

" SAYA pernah diundang oleh Kohati HMI Cabang Kendari untuk membedah buku yang berjudul Agama Ramah Perempuan Karya KH. Husein Muhammad dalam buku ini ada satu bagian yang khusus membahas sosial dan politik perempuan, di dalamnya membahas tentang sejarah kenabian yang mencatat peran-peran sejumlah besar perempuan yang ikut bersama kaum laki-laki. "

Oleh: Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO    

SAYA pernah diundang oleh Kohati HMI Cabang Kendari untuk membedah buku yang berjudul  Agama Ramah Perempuan Karya KH. Husein Muhammad dalam buku ini ada satu bagian yang khusus membahas sosial dan politik perempuan, di dalamnya membahas tentang sejarah kenabian yang mencatat peran-peran sejumlah besar perempuan yang ikut bersama kaum laki-laki.

Khadijah, Aisyah, Ummi Salamah, dan para istri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) Sukainah (cicit) adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas. Mereka sering terlibat dalam diskusi-diskusi tentang tema-tema sosial dan politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik  maupun publik yang patriarkhis.

Partisipasi perempuan juga muncul dalam sejumlah “baiat”(perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Umnmu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan.

Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manajer pasar di Madinah.

Bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas-aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar juridis dalam UUD 1945.

Keputusan politik telah diambil untuk menyediakan 30 % kursi parlemen bagi perempuan. Keputusan politik ini mendapat respon positif dan partai-partai termasuk peserta Pemilu pada tahun 1999 pernah menolak presiden perempuan.

Dengan adanya keputusan politik tersebut, harusnya ruang-ruang publik dalam birokrasi, kebijakan publik, partai dan parlemen yang didominasi oleh kaum laki-laki, mesti dibagi dengan kaum perempuan. Tuntutan terhadap representasi politik perempuan pun menjadi tak terhindarkan.

Baca juga: Terjawab Sudah, 1 Juni Hari Lahir Pancasila

Tuntutan tersebut meningkat seiring dengan semakin masifnya agenda penegakan demokrasi. Seperti diungkapkan oleh Jones (2006), gelombang ketiga demokratisasi yang membawa negara-negara di dunia ketiga—termasuk Indonesia— dari otoritarianisme ke transisi demokrasi dan—beberapa negara lainnya—pada konsolidasi demokrasi, secara langsung maupun tidak langsung telah turut berkontribusi pada kemajuan gerakan serta hak-hak dan kebebasan berpolitik perempuan.

Seiring dengan maraknya perhatian terhadap perempuan, maka saat ini perempuan tidak lagi dilihat melulu sebagai objek keindahan badaniah untuk dipandang dan dinikmati, tapi mereka dilihat sebagai manusia multi dimensional, tidak hanya memiliki gerak badan yang gemulai, wajah yang mempesona, mata yang indah, rambut teruarai, tapi kini perempuan dilihat sebagai mahluk yang utuh atas badan, jiwa, dan mahluk yang punya kemampuan berpikir, berkarya, berbuat, mengambil keputusan, memimpin dan sebagainya.

Karena selama ada kecenderungan media massa sering memberikan gambaran bagi perempuan bukan pada posisi yang ideal. Tengoklah bagaimana perempuan diproyeksikan dalam media, iklan, halaman depan tabloid dan majalah hiburan masih banyak yang memakai wajah dan bentuk badan perempuan sebagai daya tariknya.

Perhatikan pula fiksi-fiksi, sandiwara radio, sinetron, teledrama atau telenovela televisi, dan film-film yang juga masih memberikan gambaran tentan perempuan yang umumnya dilihat sebagai mahluk yang lemah, yang hanyalah di rumah, dan yang tugas dan peran utamanya adalah menyenangkan pria.

Saat ini perempuan menjadi salah satu topik yang banyak menjadi sorotan dari berbagai kalangan,dan ini bisa dilihat dari maraknya pemberitaan mengenai perempuan melalui berbagai media massa baik itu media cetak maupun media elektronik di Sulawesi Tenggara.

Hal ini menarik karena ada satu kabupaten yang hampir semua top manajernya adalah perempuan yaitu Kabupaten Kolaka Timur. Bupati Kolaka Timur, Ketua DPRD Kolaka Timur, Ketua KPU Kabupaten Kolaka Timur dan Ketua Bawaslu Kabupaten Kolaka Timur juga perempuan dan kedepan bisa jadi wakil Bupati Kolaka Timur juga adalah perempuan.

Lalu patutkah perempuan berbangga, berpuas diri dan bersyukur, ternyata belum. Apakah ini sudah menunjukkan bahwa representasi politik perempuan sudah terwujud di Kolaka Timur,  jawabanya Belum.

Karena sudah sejak lama wanita dianggap tidak mampu atau tidak bersedia menggunakan perilaku maskulin yang dianggap penting bagi kepemimpinan yang efektif. Beberapa studi labolatorium menemukan bahwa bahkan saat para wanita memimpin menggunakan perilaku maskuliin, mereka dievaluasi tidak terlalu menguntungkan daripada pria yang menggunakannya (Yukl, 2005).  

Baca juga: Hilangnya Perlindungan Hakiki Perempuan dan Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Representasi politik menempatkan individu-individu di dalam sebuah lembaga yang dipilih oleh masyarakat untuk mewakili kepentingan mereka (Sherlock, 2006), baik melalui kendaraan partai maupun non-partai.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh  NDI (the National Dermocratic Institute) menunjukan bahwa keterlibatan perempuan dalam ranah politik membawa pengaruh secara signifikan pada perubahan-perubahan yang lebih baik dengan berbagai bukti yaitu:

1) Perempuan memiliki komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kebijakan-kebijakan dalam level nasional maupun regional terkait aspek sosial, ekonomi dan politik, yang dihadapi perempuan, anak-anak dan kelompok yang tidak beruntung;

2) Perempuan pada umumnya mampu meningkatkan secara efektif pemerintahan yang jujur, dimana dalam negara yang pemerintahannya disokong oleh banyak perempuan sebagai pemimpin maka tingkat korupsinya rendah;

3) Perempuan pada umumnya memiliki komitmen yang tinggi terhadap upaya perdamaian, dimana fakta menunjukan bahwa upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi dapat memecahkan akar persoalan dengan lebih cepat dan berhasil apabila melibatkan perempuan  dan hasil perdamaian juga lebih langgeng;

4) Perempuan pada umumnya memiliki hubungan yang positif dalam pembangunan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.  

Karena begitu pentingnya peranan yang akan dimainkan oleh pemimpin perempuan dalam memperjuangkan kebijakan yang pro keadilan gender, maka keberadaan pemimin perempuan di Kolaka Timur  semestinya bukan hanya sekedar  sebagai simbol dan hanya sebuah keburuntungan politik, tapi betul-betul menjadi pemimpin yang berkualitas yang memiliki kemampuan untuk memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan para kaum perempuan.

Asumsinya, bahwa representasi politik perempuan adalah untuk memberikan benefit bagi kaum perempuan di Kolaka Timur melalui kebijakan publik yang dihasilkan dalam proses-proses pemerintahan (governance) Kabupaten Kolaka Timur. (*)

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga