Show of Power: Politik Ala Jokowi

M. Najib Husain, telisik indonesia
Minggu, 12 September 2021
0 dilihat
Show of Power: Politik Ala Jokowi
Dr. M. Najib Husain, Dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

" Hal ini menarik dicermati mengingat Jokowi berasal dari Suku Jawa, yang memiliki budaya kolektivistik. "

Oleh: Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO  

PAKAR komunikasi politik, Effendy Gazali (sosok profesor yang berani melepas gelar guru besarnya) mengatakan, Jokowi adalah karakter tersendiri di belantara kepemimpinan Indonesia (Endah, 2012).

Presiden Joko Widodo memiliki gaya komunikasi konteks rendah, yaitu berbicara lugas, apa adanya, atau menyampaikan sebagian besar informasi dengan kode-kode eksplisit.

Karakter atau ciri-ciri komunikasi lain yang membentuk gaya komunikasinya dan berhubungan dengan perilaku komunikasi politik verbal dan non verbal Presiden Jokowi. Hal ini menarik dicermati mengingat Jokowi berasal dari Suku Jawa, yang  memiliki budaya kolektivistik.

Antropologis kebudayaan  Edward  Hall (Griffin, 2012) mengelompokkan gaya komunikasi dari kebudayaan kolektivistik sebagai konteks tinggi (high-context), dan gaya kebudayaan individualistis sebagai konteks rendah (low-context).

Pembagian ini didasarkan pada bagaimana orang menginterpretasikan pesan, sehingga apa yang dikatakan Effendy Gazali bisa jadi salah. Lalu apakah betul dalam penanganan COVID-19 Jokowi tetap menggunakan gaya komunikasi konteks rendah, yang mengedepankan komunikasi yang apa adanya sesuai dengan fakta di lapangan?

Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab karena masyarakat Indonesia membutuhkan kepastian ucapan seorang pemimpin dan bukan seperti yang disebut BEM UI bahwa Jokowi ”The King Of Lip Service” yang sudah jelas lebih dominan menggunakan gaya komunikasi konteks tinggi.

Mari kita ingat, salah satu pesan yang disampaikan Jokowi pada masyarakat Indonesia adalah larangan adanya kerumunan di tengah pandemi COVID-19, namun yang terjadi saat Jokowi berkunjung ke Nusa Tenggara Timur pada Selasa, 23 Februari 2021 untuk meresmikan Bendungan Napun Gete di Kabupaten Sikka setelah meninjau area lumbung pangan di Desa Makata Keri, Kecamatan Katiku Tana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.

Juga kunjungan kerja Jokowi ke Maumere pada hari yang sama mengundang kerumunan warga lokal tanpa saling jaga jarak berjejer di pinggir jalan menyambut Jokowi yang melintas dalam iring-iringan kendaraan.

Baca juga: Berkaca pada Suksesi DPW PPP Sultra

Ingat kembali kata-kata Jokowi agar memberikan keleluasan Masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan kritikan. Awalnya banyak yang terjebak, mereka berani menyampaikan pendapat dan kritikan karena berlindung di balik kata 'demokrasi'. Namun faktanya, UU ITE saat ini menjadi senjata ampuh untuk membungkam kebablasan dalam kebebasan berekspresi.

Akibatnya, sejumlah orang pun ditangkap di era pemerintahan Joko Widodo ini karena dinilai telah menghina pribadi presiden maupun pemerintahan. Penangkapan terhadap orang-orang yang menghina Jokowi sebagai gejala pemerintahan Jokowi menuju pemerintahan yang anti-kritik. Padahal yang dikatakan demokrasi jika ada kompetisi dan ada partisipasi serta kebebasan sipil untuk berpendapat.

Pemerintah lewat aparat kepolisian sudah menangkap beberapa warga negara dijerat dengan UU ITE. Salah satunya, Arsyad, tukang sate itu ditangkap karena memposting sejumlah gambar yang dianggap melecehkan Jokowi di Facebook.

Arsyad sempat ditahan pihak kepolisian. Dia dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Arsyad yang didamping sejumlah pengacara dari LBH mengaku tak mengetahui sama sekali tentang UU ITE yang dinilai banyak pihak sebagai undang-undang 'karet'. Kasus ini berhenti setelah Jokowi didesak banyak pihak. Jokowi kemudian memaafkan Arsyad dan memberinya modal untuk usaha.

Bambang Tri Muliyono menulis buku Jokowi Undercover, begitu judul buku yang ditulis Bambang Tri Mulyono. Buku itu yang kemudian membuatnya bermasalah dengan hukum. Dia dianggap menyebarkan informasi berisi ujaran kebencian terhadap Presiden Jokowi. Bambang kemudian ditangkap Bareskrim Polri dan ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, akhir 2016 lalu.

Dalam bukunya, Bambang menulis tentang pemalsuan data oleh Jokowi saat mengajukan diri sebagai calon presiden dalam Pilpres 2014. Selain itu, Bambang juga di bab lainnya menggambarkan Desa Giriroto sebagai basis Partai Komunis Indonesia (PKI) terkuat di Indonesia.

Polisi menilai Bambang menulis buku itu dengan khayalan dan tanpa diperkuat bukti serta data-data penunjang. Polisi juga berpendapat, tulisan-tulisan di dalam buku itu murni berdasar asumsi dan persepsi Bambang tanpa memiliki dokumen informasi dan data pendukung.

Bambang dijerat dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Bambang juga dijerat Pasal 28 ayat 2 UU ITE karena penyebaran ujaran kebencian.

Padahal pada masa SBY, buku yang mengkritisi kepemimpinan serta keluarga SBY dijawab dengan melahirkan buku juga oleh pihak lain. Buku “Membongkar Gurita Cikeas” yang ditulis George Junus Aditjondro dijawab dengan buku yang berjudul “Cikeas Menjawab” yang tulis oleh Garda Maeswara.

Baca juga: Mengamankan Kekuasaan, Memperluas Koalisi

Ada budaya tulis dan budaya literasi saling beradu gagasan dan beradu argumentasi lewat tulisan di buku, jika buku Membongkar Gurita Cikeas menulis tentang Jejaring Kolusi, Korupsi dan nepotisme yang melibatkan pembantu, kerabat, dan orang dekat presiden dalam pemerintahan dan kekuasaan SBY.

Maka dalam buku Cikeas Menjawab, menunjukkan bukti-bukti dan membatah semua tulisan George bahwa SBY dan keluarganya melakukan praktek KKN serta adanya dinasti politik. Dengan budaya seperti ini maka pembaca diberikan kesempatan untuk menilai mana buku yang benar dan mana buku yang hanya berdasarkan fitnah dan mana buku yang hanya ingin mencari simpati pada penguasa. Ini sesuatu yang seharusnya  perlu dikembangkan dan bukan lalu menangkap orang-orang yang berbeda pendapat.

Aksi menunjukkan kekuatan Jokowi selama COVID-19 semakin terbuka dan terang benderang, di masa pandemi Jokowi  mengumpulkan Parpol koalisi di istana yang dihadiri langsung oleh ketum dan sekjen partai (PDIP, Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan PAN) untuk menyampaikan capaian pemerintah dalam penanganan COVID-19.

Di sisi lain apa yang dilakukan Jokowi menunjukkan bagaiman kuatnya beliau di tingkat dukungan partai yang mencapai 82 % (belum pernah ada presiden yang dukungan di parlemen melebihi angka 75%) karena presiden Suharto sendiri yang pernah berkuasa selama 32 tahun hanya pernah didukung 74 % di legislatif.

Jokowi yang hanya petugas partai dan bukan ketua umum partai mampu mengendalikan tujuh partai besar di Indonesia, ini jadi pelajaran bahwa tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi ketua partai politik karena seseorang bisa mengendalikan peta perpolitikan tanpa harus memaksakan diri jadi ketua partai baik di tingkat pusat dan daerah.

Belum cukup itu Jokowi pun besoknya  memanggil kembali semua parpol koalisi non parlemen untuk hadir di istana yaitu PSI, Hanura, Perindo dan PBB dengan agenda yang sama. Sehingga tidak heran jika kekhawatiran tokoh-tokoh prodemokrasi akan terjadi amandemen UUD 1945 dan adanya penambahan masa jabatan presiden untuk tiga periode yang akan menguntungkan buat Jokowi akan menjadi kenyataan.

Walaupun Luhut sudah sampaikan penanganan COVID-19 jangan dipolitisasi, tapi dalam konteks politik, banyak kalangan yang memanfaatkan kondisi pandemi untuk kepentingan politik, bagi penguasa pandemi bisa dijadikan momen untuk menekan oposisi, begitu juga bagi oposisi, memanfaatkan momen untuk menekan pemerintahan.

Sudah berbagai cara dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sudah kenyang dengan berbagai istilah mulai dari PSBB kemudian PSBB transisi, PSBB diperketat, PSBB transisi dua, PPKM, PPKM darurat, dan PPKM level 3-4.

Akhirnya, kebijakan yang diambil pemerintah daerah sebagai respons atas pandemi yang berkaitan dengan layanan publik seperti pendidikan dan perkantoran serta dana usaha,  dijadikan momen pandemi sebagai panggung politik untuk mengais popularitas. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga