Sosok Alan ASJKG, Sineas Muda Asal Baubau Angkat Budaya Sulawesi Tenggara ke Layar Lebar
Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Rabu, 30 Juli 2025
0 dilihat
Alan saat melakukan syuting film terbaru berjudul Bola Pinoama, di Kota Baubau. Foto: Alan ASJKG
" Sosok Alan ASJKG, sineas muda asal Baubau ini menarik perhatian publik melalui karya-karyanya yang mengangkat budaya Sulawesi Tenggara ke layar lebar "

KENDARI, TELISIK.ID – Sosok Alan ASJKG, sineas muda asal Baubau ini menarik perhatian publik melalui karya-karyanya yang mengangkat budaya Sulawesi Tenggara ke layar lebar.
Alan ASJKG, kreator visual yang telah membangun rekam jejak kuat dalam dunia film pendek lokal hingga nasional. Nama tersebut menjadi simbol karya dan konsistensi dari seorang sineas daerah yang memulai karier dari nol.
Alan ASJKG memiliki nama lengkap Seikh Jaelani. Ia berasal dari Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, daerah yang dikenal memiliki sejarah dan budaya kuat, khususnya warisan Kesultanan Buton.
Nama ASJKG pertama kali digunakannya pada 2019 saat membangun channel YouTube pribadi.
“Saat itu saya hanya bermodal semangat untuk bercerita melalui gambar dan suara, tanpa peralatan lengkap ataupun tim profesional,” ujarnya kepada telisik.id, Rabu (30/7/2025), melalu sambungan telepon.
Channel ASJKG berkembang secara organik dan saat ini telah memiliki lebih dari 148.000 subscriber. Alan menjelaskan bahwa ASJKG bukan hanya singkatan, tetapi telah menjadi simbol kebangkitan dan keberuntungan dalam perjalanan hidupnya.
Baca Juga: Jadwal KM Tilongkabila Periode Agustus 2025 Rute Baubau-Banggai
“Channel tersebut menjadi tempat saya mengunggah film pendek, dokumenter, dan konten yang mengangkat budaya, pendidikan, dan isu sosial dari Baubau,” jelasnya.
Tahun ini, ia mendirikan PT ASJKG Visual Studio sebagai transformasi dari identitas digital menjadi brand profesional di bidang perfilman.
“Saya membawa nama itu ke jenjang yang lebih profesional dengan mendirikan PT ASJKG Visual Studio,” katanya.
Rumah produksi tersebut bergerak dalam produksi film, dokumenter, dan proyek visual budaya.
Ketertarikan Alan pada film muncul sejak duduk di bangku SMP. Ia menyukai tontonan film dan mulai memperhatikan teknis cerita, pencahayaan, dan suara.
“Saya bilang ke orang tua, saya mau kuliah film. Tapi saat itu ekonomi keluarga belum memungkinkan,” ungkapnya.
Ia pun belajar secara otodidak dengan menonton video tutorial dan mencoba membuat karya menggunakan alat seadanya.
Titik balik dalam perjalanan kariernya adalah ketika film pendek pertamanya diapresiasi oleh masyarakat sekitar.
“Respons positif itu menyalakan keyakinan bahwa saya memang berada di jalur yang tepat,” ujarnya.
Sejak itu, ia menjadikan dunia film sebagai jalan hidup yang terus ia perjuangkan dengan tekun.
Alan memilih nama “Alan Movie Maker” karena ingin dikenal sebagai pembuat film lokal yang bisa diakses oleh siapa saja.
“Saya ingin menginspirasi anak-anak muda bahwa film bisa dimulai dari mana saja, termasuk dari Sulawesi Tenggara,” katanya.
Film pertamanya yang berjudul Balaba Buton: The Lost Martial Art mengangkat seni bela diri tradisional Balaba yang hampir punah.
“Film ini bertujuan membangkitkan kembali eksistensi Balaba. Setelah film ini tayang, beberapa perguruan yang vakum mulai aktif kembali,” jelasnya.
Film ini bahkan mendapat apresiasi dari Wali Kota Baubau saat itu, almarhum AS Tamrin. Ia secara khusus memanggil Alan dan tim untuk memberikan dukungan atas upaya pelestarian budaya tersebut.
Beberapa karya Alan yang lain meliputi Jalur Rempah La Bua (2021), Santiago Oputa Yi Koo (2022), Ayah 2500 (2023), Lakarambau: The Hero of Buton (2023), Songkok Ajaib (2024), Harta Karun Wau (2024), Nadia (2024), hingga Bola Pinoama (2025).
Semua karya tersebut konsisten membawa pesan budaya, pendidikan, moral, dan sosial dari Sulawesi Tenggara.
Alan mengakui tantangan dalam memproduksi film di daerah sangat besar, termasuk keterbatasan alat dan minimnya dukungan awal.
“Kadang kami harus menyewa alat dari luar daerah dengan biaya tinggi,” katanya. Namun ia dan tim tetap berkarya dengan pendekatan kolaboratif dan pembiayaan swadaya.
“Sebagian besar produksi film kami dibiayai secara swadaya dan kolaborasi dengan komunitas lokal,” ungkap Alan.
Ia mendirikan tim ASJKG Visual Studio bersama anak-anak muda kreatif asal Baubau yang memiliki peran penting dari pra-produksi hingga pasca-produksi. Dalam beberapa proyek, ia juga melibatkan siswa sekolah untuk terjun langsung di lapangan.
Alan juga aktif dalam banyak aspek teknis produksi. “Saya sering terlibat langsung dalam penulisan naskah, pengambilan gambar, editing, hingga mengawasi scoring musik,” katanya.
Pengalaman ini menjadi ruang pembelajaran untuk terus menjaga kualitas dan kesatuan visi cerita dalam setiap karyanya.
Film pendek lokal, menurut Alan, memiliki potensi besar untuk menjadi media promosi budaya dan pariwisata.
“Film mampu menghadirkan kekayaan adat, bahasa, dan tradisi ke penonton nasional maupun internasional,” ujarnya.
Hampir semua karya Alan berangkat dari budaya lokal Sulawesi Tenggara. “Saya percaya film adalah medium penting untuk merawat identitas daerah,” katanya.
Beberapa contoh film budaya yang ia sebutkan adalah Santiago Oputa Yi Koo, Jalur Rempah La Bua, dan Lakarambau. Film anak seperti Harta Karun Wau dan Bola Pinoama juga menampilkan bahasa lokal dan nilai budaya dalam bentuk yang ringan.
Film Lakarambau menjadi karya yang paling berkesan. “Ini adalah film panjang pertama saya yang mendewasakan saya sebagai sineas,” ujarnya.
Ia belajar banyak hal dari produksi film tersebut, mulai dari riset budaya, kepemimpinan tim, hingga menjaga ruh lokal dalam karya sinema.
Alan aktif mengikuti festival film tingkat daerah maupun nasional. Ia menjadikan setiap kesempatan tersebut sebagai ruang pembelajaran dan pengembangan.
“Setiap pertemuan dan ilmu baru selalu saya catat dalam buku hitam saya,” ungkapnya. Festival menjadi ruang tumbuh yang sangat ia hargai sebagai sineas.
Perkembangan minat anak muda Sulawesi Tenggara terhadap dunia film, menurut Alan, sangat menggembirakan.
“Saya menyaksikan langsung semangat mereka saat mengisi pelatihan di sekolah-sekolah,” jelasnya.
Mereka mulai menjadikan perfilman sebagai ruang ekspresi yang membumi dan relevan dengan isu budaya serta sosial. Dukungan yang paling dibutuhkan saat ini adalah fasilitas, pelatihan, dan pendanaan.
“Banyak karya yang memiliki potensi besar namun gagal menjangkau penonton karena distribusi dan promosi terbatas,” katanya.
Ia berharap ada dukungan struktural dari pemerintah daerah dan pihak swasta agar ekosistem film lokal lebih kuat.
Langkah konkret yang menurut Alan paling mendesak adalah regulasi pendukung, festival film daerah yang rutin, dan integrasi pendidikan sinema dalam kurikulum sekolah.
“Pemerintah juga sebaiknya menghadirkan ruang apresiasi seperti pemutaran film keliling dan penghargaan untuk sineas muda,” ujarnya.
Baca Juga: 6 Tahun Jual Gorengan, Pria di Kendari Ngaku Kesukaan Semua Kalangan
Dalam lima tahun ke depan, Alan menargetkan untuk memproduksi film panjang yang mengangkat budaya lokal dan bisa bersaing di tingkat nasional maupun internasional.
“Saya ingin memperkuat ASJKG Visual Studio sebagai pusat pengembangan film profesional di Baubau,” katanya.
Alan juga berharap studionya bisa menjadi ruang edukasi bagi generasi muda Sulawesi Tenggara.
Ia memiliki rencana untuk kolaborasi lintas daerah dan negara dalam produksi film budaya. Berharap cerita dari Sulawesi Tenggara bisa menembus batas geografis melalui karya sinema yang kuat.
Alan menutup pembicaraan dengan harapan besar terhadap masa depan perfilman daerah.
“Saya bermimpi perfilman Sultra tidak hanya tumbuh sebagai industri kreatif, tetapi juga menjadi jendela dunia untuk melihat kekayaan budaya kita,” harapnya.
Ia juga berharap pemerintah dan pelaku pariwisata menyadari potensi strategis ini sebagai bagian dari pembangunan budaya dan promosi wisata daerah. (C)
Penulis: Ahmad Jaelani
Editor: Mustaqim
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS