Tragedi Perang Sampit, Dari Sosok Panglima Burung Hingga Tradisi Penggal Kepala
Muhammad Israjab, telisik indonesia
Minggu, 26 April 2020
0 dilihat
Tradisi Penggal Kepala Suku Dayak. Foto: Skywalker's
" Perang etnis antara suku Dayak pribumi dan Madura yang saat itu menjadi pendatang mengalami puncaknya. Bahkan disorot sampai media asing. "
JAKARTA, TELISIK.ID - Masih terngiang sadisnya konflik perang antar etnis yang terjadi di Sampit pada 2001 silam. Peristiwa tersebut kembali mencuat setelah bermunculan tagar tersebut di Twitter pada Sabtu (25/4/2020) kemarin.
Perang etnis antara suku Dayak pribumi dan Madura yang saat itu menjadi pendatang mengalami puncaknya. Bahkan disorot sampai media asing.
Konflik Sampit sebenarnya dipicu di era 30-an saat pemerintah Belanda menelurkan perintah transmigrasi kepada warga Madura untuk pindah ke Sampit, Kalimantan Tengah. Warga Madura yang konon lebih pintar berdagang, mengambil alih perekonomian dan menggeser kedudukan etnis Dayak.
Melansir dari Wikipedia, konflik Sampit mulai terjadi seiring berjalannya waktu. Sampai akhirnya puncaknya meletus dengan sangat dahsyat di Februari 2001 silam.
Perang antara Sampit dan Madura tersebut mengakibatkan 500 kematian serta beberapa warga Madura kehilangan tempat tinggal.
Namun dari semua hal yang terkuak di luar, sebagian masyarakat mendengar isu saat perang etnis terjadi. Seperti mitos panglima burung, ritual mistis masyarakat Dayak yang sakti dan aksi sadis penggal kepala.
Baca juga: Bupati Semprot Pemerintah Pusat Soal Dana Desa dan BLT
Mitos Panglima Burung
Benarkah ada Panglima Burung? Atau sekadar cerita-cerita berbalut mistis saja untuk menakut-nakuti orang dan menambah kesan seram pada suku Dayak yang sebenarnya dikenal ramah?
Faktanya, hingga kini tidak pernah ada satupun dokumentasi atau bukti fisik keberadaan Panglima Burung. Pun begitu dengan orang lain yang mengaku sebagai Panglima Kumbang, salah satu anak buah Panglima Burung, yang penobatannya serta klaimnya juga tidak diketahui.
Konon, Panglima Burung ini mendiami wilayah pedalaman. Ia sakti dan terhubung dengan alam ghaib. Namanya yang tiba-tiba melejit karena kerusuhan Sampit itu disebut-sebut memiliki umur ratusan tahun.
Cerita lain menyebut, Panglima Burung adalah sosok yang bisa berubah-ubah wujud, baik laki-laki maupun wanita, tergantung situasi. Sosok yang kabarnya biasa disebut Pangkalima ini dikisahkan tinggal di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, tapi tak tahu di mana tepatnya.
Lebih menghebohkan lagi, disebutkan bahwa Panglima Burung ini sebenarnya adalah tokoh adat Dayak yang sudah meninggal. Hanya saja, orang-orang dapat berkomunikasi dengan ruhnya melalui kekuatan magis.
Kenapa disebut Panglima Burung? Ceritanya, sosok panglima ini adalah jelmaan burung Enggang, salah satu satwa asli Kalimantan, dilindungi dan merupakan hewan keramat dalam kebudayaan Dayak.
Sudah banyak orang-orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, mulai dari di Kalbar, Kalteng sampai Kaltara, tapi tak ada satupun bukti soal klaim itu.
Selain nama Panglima Burung, ada juga nama-nama lain yang disebut sebagai anak buahnya, yakni Panglima Api, Panglima Kumbang, Panglima Angsa, Panglima Sumpit dan lainnya.
Apakah klaim ini benar semuanya? Tak ada yang tahu, dan tak ada bukti.
Baca juga: Larangan Mudik Mulai Hari ini Semua Penerbangan Komersil Dihentikan
Ritual Penggal Kepala
Suku Dayak sendiri melakukan ritual perburuan kepala (Ngayau atau Kayau). Sehingga dalam perang antara suku ini terdengar kabar warga Madura dihabisi dengan cara dipenggal kepalanya.
Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.
Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di Kalimantan Tengah. Pasukan bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah ditempatkan di provinsi ini.
Pada 28 Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan, namun kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.
Reporter: Muhammad Israjab
Editor: Sumarlin