Diskusi Demokrasi di Tengah Pandemi
Penulis
Minggu, 03 Mei 2020 / 3:26 pm
Oleh: Andang Masnur
Komisioner KPU Kabupaten Konawe
Wabah virus COVID-19 yang melanda tanah air mengubah hampir seluruh kebiasaan masyarakat. Meskipun grafik yang ditunjukkan oleh pemerintah jumlah penderita terus saja bertambah, tetapi ada yang melegakan bagi kita semua.
Sebab jumlah orang meninggal dunia dengan pasien yang dinyatakan sembuh dari virus tersebut lebih kecil. Per tanggal 1 mei 2020 Jumlah penderita sebanyak 10.551, meninggal 800 sedangkan pasien sembuh menjadi 1.591. Ini menunjukkan pertanda baik dibandingkan dengan di minggu-minggu sebelumnya.
Kebiasaan ngopi, berdiskusi atau sekedar nongkrong dan ngobrol oleh masyarakat kita di titik-titik kumpul telah ditinggalkan. Diskusi-diskusi virtual dengan memanfaatkan beberapa aplikasi melalui layanan internet menjadi salah satu alternatif.
Begitu juga dengan diskusi yang bertema demokrasi atau pemilihan di Indonesia. Para penyelenggara dan juga pegiat demokrasi bekerjasama mengisi ruang diskusi untuk membahas keberlangsungan demokrasi. Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 yang mengalami penundaan menjadi bahan diskusi yang menghiasi tajuk diskusi bagi para penyelenggara dan pegiat.
Memang keputusan Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan oleh DPR dalam hal ini Komisi 2 bersama Kemendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP menyepakati poin yang menyita perhatian publik pemerhati demokrasi.
Menyepakati pelaksanaan Pilkada menjadi 9 Desember 2020 ditengah merebaknya wabah covid yang belum dapat diprediksi kapan berakhir menjadi faktor pertama dan utama.
Angka penderita yang terus bertambah menjadikan kita terus bertanya-tanya sampai kapan wabah ini akan benar-benar berakhir. Jika merunut secara lengkap kebelakang dasar lahirnya putusan bersama menetapkan tanggal, bulan dan tahun dalam RDP tersebut adalah berawal dari usulan KPU.
Baca juga: Pilihan Antara Sebab atau Akibat
Sebagai lembaga penyelenggara teknis KPU mengusulkan 3 opsi penundaan Pilkada yang telah sempat dimulai tahapannya sejak akhir tahun 2019 yang lalu. Tanggal 9 Desember 2020, 21 Maret 2021 dan 23 September 2021 adalah opsi yang di usulkan.
Adanya komitmen pemerintah melalui BNPB selaku bagian dari gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 yang menargetkan bulan Mei pandemi bisa berakhir menjadi alasan pemilihan opsi pertama dalam penundaan Pilkada.
Diskusi yang hadir seminggu terakhir sangat mencerahkan bagi kita sebagai pemerhati demokrasi. Bahwa selain mengedepankan isu keselamatan kemanusiaan adalah juga memikirkan kualitas pemilihan yang akan digelar. Kita tidak ingin penyelenggaraan Pemilu 2019 yang begitu rumit dan menyita energi berhasil kita catatkan sebagai keberhasilan dalam penyelenggaraan Pemilu menjadi berkurang.
Salah satu catatan keberhasilan Pemilu yang lalu adalah tingginya angka partisipasi masyarakat. Tentu dapat kita memprediksi jika pandemi ini belum benar-benar berakhir hingga Pilkada dilaksanakan tentu saja akan mengurangi partisipasi masyarakat untuk menyalurkan hak pilih.
Kampanye atau pun juga penyampaian visi dan misi yang direncanakan dilaksanakan secara virtual tentu tidak akan dapat menjangkau seluruh konstituen yang akan menentukan hak pilih.
Pengadaan logistik pemilihan juga tentu akan tersendat. Pengadaan logistik berupa surat suara, alat coblos, tinta dan formulir akan terkendala dengan tidak beroperasinya pabrik atau perusahaan akibat physcal distancing yang diberlakukan. Begitu juga dengan pendistribusiannya dimana akan memerlukan mobilitas antar daerah bahkan antar pulau yang berisiko menjadi penyebab penularan COVID-19 ini.
Kondisi keuangan negara dan daerah yang diporsir untuk membantu penanganan dan pencegahan dampak virus ini sangat menguras. Sehingga berdampak pada ketersediaan anggaran pelaksanaan Pilkada nantinya.
Baca juga: Muhasabah: Refleksi Komunikasi Politik di Masa Pandemi
Singkatnya, saya berpendapat bahwa jika wabah virus ini masih terus menjangkiti masyarakat dengan jumlah yang besar sampai pada bulan Agustus maka sebaiknya pemerintah kembali meninjau ulang hasil keputusan RDP dengan mempertimbangkan 2 opsi lainnya yang telah diusulkan oleh KPU.
Sebagian diskusi para pegiat dan pengamat berpendapat bahwa Pilkada 2020 jika digelar pada Desember nantinya terlalu dipaksakan dengan sejumlah resiko yang akan dihadapi. Presiden juga dalam kesempatan kepada media meyakini bahwa dampak dari COVID-19 bisa sampai pada akhir tahun ini.
Belum selesai diskusi soal pelaksanaan Pilkada 2020, perhatian saya teralihkan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang baru. Implikasi dari putusan MK Nomor 55 tahun 2019 tertuang dalam beberapa pasal di dalamnya.
Tentang bentuk Pemilu yang pada putusan MK memberikan beberapa opsi penyelenggaraan Pemilu kedepannya bisa kita lihat di Pasal 1 pada poin 2 dan 3. Intisari dari kedua poin tersebut terdapat pada bagian kedua pasal 4 tentang prinsip penyelenggaraan yang membedakan bentuk Pemilu kedepannya menjadi 2 yakni, Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.
Pemilu Nasional meliputi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR RI dan DPD RI sedangkan Pemilu Lokal meliputi Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur/Wakil Gubernur dan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota), DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada rancangan tersebut juga memuat peralihan dan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Lokal akan dilaksanakan di tahun yang berbeda. Pemilu Nasional akan dilaksanakan pada tahun 2024 sedangkan Pemilu Lokal akan mulai dilaksanakan pada tahun 2022.
Sebuah cerita baru dalam perjalanan pesta demokrasi kita yang mana selama ini yang terjadi adalah pembedaan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Eksekutif.
Pada bagian akhir disebutkan juga tentang ketentuan peralihan yang mana meliputi poin tentang pemilu lokal yang akan diselenggarakan pertama kali di tahun 2022 dan selanjutnya akan digelar 5 tahun sekali setelah 2026. Sedangkan pemilu nasional akan dilaksanakan tahun 2024 dan akan digelar 5 tahun sekali.
Jika kemudian RUU ini disahkan dan tanpa perubahan maka akan memberikan warna tersendiri terhadap penyelenggaraan Pemilu di daerah. Sebab untuk pertama kalinya Pilkada akan digabungkan dengan Pilcaleg di tingkat daerah. Hal tersebut juga akan berimplikasi pada masa keanggotaan para legislator tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kita ketahui bersama bahwa baru saja anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota terpilih pada Pemilu 2019. Jika Pemilu Lokal dilaksanakan tahun 2022 maka para anggota dewan hanya memangku jabatan selama kurang dari 3 tahun saja.
Pertanyaannya berikut yang hadir adalah bagaimana perlakuan terhadap daerah yang akan menggelar Pilkada serentak tahun 2020 jika memang tetap dilaksanakan. Kepala daerah yang terpilih akan menjabat hingga pada pelaksanaan atau menjelang pelaksanaan Pemilu Lokal 2026. Apakah DPRD-nya akan ikut Pemilu Lokal 2022 atau akan ada kebijakan lain yang menyesuaikan kondisi tersebut.
Jika Pilkada 2020 tidak dilaksanakan dengan mengacu pada Pasal 718 yaitu menyatukan pelaksanaan Pilkada yang Akhir Masa Jabatan atau AMJ-nya 2020 dan 2021 di tahun 2022 mungkin kebingungan tersebut akan terjawab dengan sendirinya.
Tentu diskusi kita bukan tentang singkatnya masa jabatan saja. Tetapi kemudian adalah tujuan besar dari putusan MK dan RUU Pemilu ini adalah penyusunan formula pelaksanaan Pemilu yang baik. Salah satunya adalah mendorong agar sistem presidensial di Indonesia tetap terjaga. Sekali lagi ini semua baru sebatas diskusi dalam menebak regulasi yang akan diterapkan nantinya.
Pada akhirnya kita semua menunggu dua hal yang akan sangat berpengaruh bagi perjalanan demokrasi di negara ini. Pertama adalah Perppu tentang penundaan Pilkada 2020 yang kedua adalah pembahasan dan pengesahan RUU Pemilu yang baru. (*)