Kenaikan Cukai Rokok Ditolak, BHS: Ekonomi Rakyat Terancam Hancur
Reporter Surabaya
Sabtu, 11 November 2023 / 4:48 pm
SURABAYA, TELISIK.ID - Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.
Keputusan tersebut diambil setelah adanya rapat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu.
Meski keputusan pemerintah tersebut sudah final, namun keputusan tersebut banjir penolakan. Alasannya, kebijakan dengan kenaikan cukai rokok bisa berdampak terhadap multiplier effect ekonomi di masyarakat, serta bisa meningkatkan munculnya generasi stunting di Indonesia.
Menurut pengamat kebijakan publik, Bambang Haryo Soekartono (BHS), Kementerian Keuangan yang dimotori oleh Sri Mulyani seharusnya paham, jumlah pajak yang sudah dibebankan kepada perokok sudah sangat besar.
Baca Juga: Mangkir Penuhi Panggilan Penyidik, Polda Metro Jaya Didesak Jemput Paksa Firli Bahuri
Totalnya 73 persen dari harga rokok untuk pajak, yang terdiri 60 persen cukai rokok, 10 persen PPN dan 3 persen pajak daerah. Sedangkan penerimaan cukai rokok saja satu tahunnya sudah sangat besar, sekitar Rp 200 triliun di 2022 naik dari 2019 sebesar Rp 164 triliun.
“Ini belum termasuk PPN dan pajak daerah loh, masih kurangkah membebani masyarakat. Apa yang didapat si perokok dari pemerintah, BPJS atau KIS kah? Kan juga tidak. Kita semua seharusnya paham bila perokok terjadi ketidakmampuan untuk membeli rokok, maka dampak multiplier effect ekonominya luar biasa besar di masyarakat," beber dia, Sabtu (11/11/2023).
Karena menurutnya, sekitar 30 persen dari total UMKM yang berjumlah 64,2 juta sangat tergantung kepada konsumennya yang merokok.
Dia mencontohkan warteg, warkop, diskotik, cafe dan lain-lain akan tergerus usahanya karena para konsumen perokok akan menurun tajam.
“Padahal ekonomi kita sangat tergantung kepada UMKM," tegas anggota DPR RI periode 2014-2019 itu.
Dikatakan, harusnya Kementerian Keuangan paham dampak kenaikan cukai rokok yang mengakibatkan harga rokok naik sangat tinggi dari 2019 ke 2023, sebesar kurang lebih 70 persen atau sekitar 97 juta rakyat Indonesia perokok yang terdampak, dan ini akan bisa mengganggu perekonomian dan kehidupan di masyarakat.
Indonesia kata Bambang, pernah menjadi negara kunjungan wisata asing terbesar di dunia pada zaman kolonial Belanda. Penyebab salah satunya adalah wisatawan menikmati produksi rokok Indonesia yang tidak ada di negara lain, sehingga para wisatawan bisa merasa rileks atau segar kembali saat berada di Indonesia.
Lebih lanjut, mantan Ketua Komtap Utilitas Umum Bidang Infrastruktur KADIN Pusat itu mengungkapkan, buruh pabrik rokok di Indonesia yang berjumlah sekitar 5,9 juta dan petani tembakau yang berjumlah sekitar 600 ribu akan terpengaruh kehilangan pekerjaan. Ekonomi mereka juga akan hancur total.
"Sudahlah stop, kenaikan cukai rokok dan malah seharusnya diturunkan," ujarnya.
Bambang masih yakin, Jokowi akan membatalkan kenaikan cukai rokok seperti yang pernah terjadi di tahun 2018 di Rapat Paripurna DPR RI di hadapan Menteri Keuangan.
"Saat itu saya sebagai Anggota DPR RI menolak keras kenaikan cukai rokok dan minta untuk dibatalkan,” ungkap politisi Gerindra tersebut.
Sekedar diketahui, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kenaikan tarif CHT (cukai hasil tembakau) pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek putih (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
Dalam penetapan CHT, Menkeu mengatakan, pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.
Baca Juga: Jual Video dan Foto Bugil Anak di Bawah Umur, Pria Ini Masuk Bui
Di samping itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Pertimbangan selanjutnya, tambah Menkeu, yaitu mengenai konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.
Kedua, mengingat konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin, yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan.
"Ini adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Menkeu. (B)
Penulis: Try Wahyudi Ari Setyawan
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS