Krisis Kepedulian Sosial

Abd. Rasyid Masri

Penulis

Sabtu, 20 November 2021  /  4:03 pm

Prof. Abd. Rasyid Masri, Akademisi dan Pebisnis. Foto: Ist.

Oleh: Prof. Abd. Rasyid Masri

Akademisi dan Pebisnis

INDONESIA tidak kekuragan orang pintar. Di media sosial viral samacam sticker tulisan menyebutkan, kurang lebih 6.000 profesor, sekitar 45.000 bergelar doktor dan 250.000 dosen. Belum lagi jumlah para kiyai dan ustad yang sulit dihitung jumlahnya, serta cerdik pandai lainnya.

Tapi sayang, banyaknya orang pandai dan cendikia di Indonesia tidak berbanding lurus dengan tingkat kepedulian sosial. Banyak yang cerdas di republik ini, tapi kurang yang peduli terhadap kondisi sosial bangsa ini. Kurang yang peduli pada sisi kemanusian, sehingga tak salah kalau tulisan ini membidik krisis kepedulian sosial.

Banyak cendikiawan yang dijangkiti penyakit cuekisme dan asosial. Meminjam istilah Muhammad Wayong, Ph.D bahwa karakter masyarakat Indonesia banyak yang menganut prinsip SDM, yakni ‘selamatkan diri masing-masing'.

Baca Juga: Kekuasaan dan Watak Manusia

SDM suatu istilah nyinyir yang kurang populer tapi mengelitik, karena mengambarkan masyarakat bangsa kita ini masyarakatnya telah banyak terinfeksi virus faham individualistik.

Dalam kondisi sekarang, dimana efek COVID-19 masih begitu terasa dalam kehidupan sosial. Salah satu efeknya begitu terasa yakni menurunnya hubungan sosial, renggangnya relasi antar individu dan kelompok. Terciptanya tatanan nilai sosial dan pranata keagamaan yang baru.

Rasa saling membantu meringankan penderitaan sesama mulai berkurang. Rasa empati pada saudara, keluarga, kerabat, sahabat dan kawan seperjuangan tidak lagi sekuat dulu. Telah terinfeksi virus individualistik. Yang terpenting bagaimana sukses sendiri, sejahtera sendiri dan berhasil sendiri. Rasa kekeluargaan dan kemanusian mengalami krisis kepedulian sosial dan sedang dalam ujian.

Baca Juga: Tes PCR Syarat Penerbangan, Benarkah demi Keamanan Rakyat?

Dalam perspektif Islam, begitu jelas bahwa amal yang paling disukai Allah adalah amalan sosial. Secara esensial kepedulian sosial itu adalah amal soleh yang mesti selalu diamalkan atau dimiliki oleh seseorang muslim. Kalau seseorang berbuat baik pada sesama pada esensinya dia telah berbuat baik pada dirinya sendiri. Minimal mendapat keutamaan yakni jika seseorang semakin peduli pada sesama, maka rezki seseorang semakin bertambah.

Semakin sering kita peduli pada sesama saudara kita, maka semakin juga mendapat perhatian dari penduduk langit. Sikap masa bodoh amatlah dibenci Allah. Sebaliknya sikap empati pada sesama adalah sikap muslim yang amat disukai oleh Allah SWT.

Dalam kondisi sekarang ini, jangankan seseorang peduli dengan agamanya, peduli dan berpikir untuk kemajuan bangsa, berpikir untuk memajukan masyarakat sekitarnya, peduli akan keluarga sendiripun, banyak yang gagal fokus.

Maka untuk mengasah rasa peduli, seseorang setidaknya peduli pada lingkungan rumah tangga sendiri dulu. Kemudia peduli pada lingkungan sekitar rumahnya, dan secara bertahap sedikit sedikit membantu orang susah di sekitarnya. Dengan demikian seseorang akan tumbuh dan memiliki rasa kepedulian sosial. (*)