Ma'ruf Amin Wakil Presiden Pendamping

Efriza

Kolumnis

Minggu, 04 Juli 2021  /  2:14 pm

Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

WAKIL Presiden Ma’ruf Amin sedang hangat menjadi diskusi publik. Ma’ruf Amin bukanlah seperti Jusuf Kalla, ia memahami posisinya sebagai wakil presiden adalah sebagai pendamping bukan pesaing.  

Realitas pada Pemilu Presiden (Pilpres) kedua yang diikuti oleh petahana, menunjukkan adanya suatu layaknya rumus stabilitas politik dan popularitas, bahwa untuk posisi wakil presiden adalah bukan dari unsur partai politik tetapi perseorangan.

Pilpres 2019 lalu tak ubahnya Pilpres 2009 silam. Pasangan calon presiden dan wakil presiden, dalam hal wakil presiden yang diusung oleh petahana berasal dari perseorangan. Petahana Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2009, ia lebih memilih Boediono sebagai wakil presidennya. Boediono saat itu adalah Gubernur Bank Indonesia dan yang utama adalah ia bukan politisi partai politik.

Hal yang sama dilakukan oleh petahana Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 lalu, ia lebih memilih berpasangan dengan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin yang saat itu sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan bukan politisi dari partai politik meskipun kiprahnya condong kepada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Protes publik terhadap Ma’ruf Amin didasari oleh kiprahnya sebagai wakil presiden begitu tenang bahkan tak terdengar kinerjanya. Ma’ruf Amin dianggap perannya tak begitu kentara, malah mengesankan Presiden Jokowi seperti bekerja sendiri, alias dianggap tak ada yang menemani. Tulisan ini ingin menjelaskan seperti apa realitas perpolitikan dalam hubungan presiden dan wakil presiden pada periode ini.

Wakil Presiden Penyatu Umat

Pilihan terhadap Ma’ruf Amin tak bisa dilepaskan dari situasi politik pasca pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 silam. Saat itu, iklim politik begitu panas, karena politisi membawa isu sentimen agama dalam meraih simpatik dan dukungan suara publik pada Pilkada 2017 silam.

Ternyata memasuki Pemilu Serentak 2019 lalu, isu sentimen agama malah deras menjadi konsumsi publik. Perdebatan calon wakil presiden pendamping Presiden Jokowi juga turut membahas mengenai isu sentimen agama yang cenderung meningkat drastis. 

Hingga akhirnya nama-nama yang beredar, yang diprediksi akan menjadi wakil presiden pendamping Jokowi, satu persatu berguguran, dari sanalah nama Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’aruf Amin dimunculkan dan disepakati menjadi calon wakil presiden.

Harapan Presiden Jokowi sebagai petahana adalah dapat menyatukan masyarakat yang terpolarisasi akibat sentimen isu agama. Permasalahan sentimen agama dalam pra dan pasca Pilpres 2019, diharapkan dapat diredam dengan kehadiran KH. Ma’ruf Amin yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua MUI. Inilah dasar yang diyakini pemilihan Ma’ruf Amin di tengah situasi sentimen isu agama, dibandingkan sekadar menyelesaikan polarisasi pemilih terhadap pasangan calon dalam Pilpres 2019.

Di sisi lain, Ma’ruf Amin juga kenyang dengan pengalaman di level pemerintahan. Ia memang politisi, ulama dan dosen. Sosok Maáruf Amin memang dihadirkan untuk berperan menyatukan utamanya umat Islam, dan juga merekatkan hubungan antar berbagai umat beragama di Indonesia.

Ma’ruf Amin dipilih dan diberikan peran oleh Presiden Jokowi dalam persoalan kebangsaan dalam napas Islam. Sebagai sosok Ulama tentu saja peran ini yang benar-benar diupayakan oleh Ma’ruf Amin, seperti hadirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. 

Meski begitu Ma’ruf Amin juga bukan sosok yang cenderung diam saja. Seperti dalam kasus, keputusan Presiden Jokowi terhadap pembatalan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang didalamnya terdapat pengaturan investasi perdagangan minuman keras (miras), bahwa pembatalan ini diyakini karena sikap penolakan Ma’ruf Amin terhadap hadirnya Perpres tersebut.

Ma’ruf Amin yang notabene adalah kiai, tentu saja melakukan penolakan terhadap Perpres investasi miras tersebut. Ia pun dianggap yang berperan dalam koordinasi dengan pihak MUI dan Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga, Presiden Jokowi mengambil keputusan pembatalan Perpres, setelah mendapatkan masukan dari banyak ulama, dan tokoh-tokoh organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga Islam yang menolak pengaturan tentang investasi pabrik pembuatan miras tersebut.

Baca juga: Giat Vaksinasi dan Gelombang Kedua COVID-19

Baca juga: Pasar Gelap Demokrasi

Wapres Pendamping bukan Pesaing

Wakil Presiden Ma’ruf Amin memang diasumsikan tidak ingin mengambil posisi untuk menjadi pesaing Presiden dalam popularitas di pemerintahan. Berbeda dengan Jusuf Kalla yang pernah mendampingi Presiden SBY dan Presiden Jokowi, ia memang menunjukkan selayaknya pesaing dalam perebutan popularitas di pemerintahan antara presiden dan wakil presiden. 

Jusuf Kalla karena peran dan komunikasi kepada publik yang begitu intens, mengesankan Jusuf Kalla adalah “the real president”dan ada juga anggapan bahwa Jusuf Kalla saat itu tak ubahnya sebagai “super wapres,” inilah kesan yang hadir di publik ketika ia menjabat sebagai Wakil Presiden berdampingan dengan Presiden SBY.  

Jusuf Kalla yang merupakan politisi Partai Golkar bahkan Ketua Umum Partai Golkar. Pada masa SBY menunjukkan hubungan yang tidak harmonis, bahkan antara Partai Demokrat dan Partai Golkar menghadirkan bentuk kohabitasi, yakni realitas bahwa presiden dan wakil presiden berasal dari partai politik dan golongan yang berbeda. Selanjutnya, hubungan antara Jusuf Kalla dan SBY kala itu, berakhir dalam persaingan pada Pilpres 2009 silam.  

Hal ini yang sepertinya dipelajari dan dipahami oleh Presiden Jokowi. Sehingga, Jokowi lebih memilih mencari pasangan yang tidak akan menjadi pesaingnya di kemudian hari. Diawali ia memilih Jusuf Kalla untuk berpasangan pada Pilpres 2014 lalu, dengan didasari oleh habisnya kesempatan Jusuf Kalla untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pilpres berikutnya yakni pada tahun 2019.

Begitu juga, dengan pilihan terhadap Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden, dibandingkan saat itu untuk memilih berdasarkan keinginan kuat dari berbagai masukan utamanya juga di masyarakat bahwa agar Jokowi berpasangan dengan Mahfud MD.

Presiden Jokowi menunjukkan diri sebagai karakter presiden yang menginginkan wakil presiden adalah sebagai pendamping bukan sebagai pesaing. Apalagi didasari pengalaman, pemerintahannya sering dianggap bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak akur, pemerintahan terbelah, ini terjadi saat berpasangan dengan Jusuf Kalla lalu.

Ma’ruf Amin sekarang ini, juga diberikan peran sebagai wakil presiden dalam melakukan tindak lanjut keputusan presiden, seperti koordinasi, monitor hingga evaluasi, bahkan Wakil Presiden juga turut memberikan masukan terhadap Presiden Jokowi.

Peran yang dimainkan oleh Ma’ruf Amin memang tidak seperti Jusuf Kalla mainkan. Ma’ruf Amin yang memang sosok perseorangan, tentu saja tak terbebani untuk membawa kepentingan atas nama partai politik.  Keberhasilan dan penilaian atas kinerjanya sebagai wakil presiden, tentu lebih berdampak terhadap popularitas diri, dan kepada pemerintahan semata tidak kepada kepentingan partai politik lainnya.

Peran dan kinerja Ma’ruf Amin saat ini tentu saja jika dicerna lebih lanjut masih dapat dirasakan oleh masyarakat, sebab sosok Ma’ruf Amin adalah penyatu dari berbagai kepentingan umat, utamanya umat Islam. Peran wakil presiden yang tidak begitu kentara, itu lebih disebabkan oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berbagi peran semata.

Meski begitu, Ma’ruf Amin cenderung diperhatikan dan didengar masukannya oleh Presiden Jokowi, disebabkan Presiden Jokowi merasakan kehadiran Ma’ruf Amin yang bukan sebagai pesaing dan bukan politisi partai dianggap akan lebih objektif dalam memberikan masukan dan saran untuk pengelolaan pemerintahan. (*)