Strategi Politik 'Prank' Ala Jokowi
Kolumnis
Minggu, 28 Mei 2023 / 10:28 am
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
BANYAK yang berpikir Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya petugas partai semata. Mereka juga meragukan kemampuan berpolitik Jokowi. Padahal sebaliknya, ia sangat pandai berpolitik, ia pandai “mendayung” perahunya bergerak ke kiri dan ke kanan agar tetap berjalan sesuai kehendaknya. Bahkan, saking cerdasnya banyak politisi senior yang di prank oleh dirinya.
Prank berdasarkan pengertiannya dalam kata kerja dan benda adalah gurauan, untuk mengerjai, untuk memperdayai, dan untuk mengolok-ngolok. Beberapa peristiwa politik telah menunjukkan Jokowi bisa membuat orang ke-gr-an, akhirnya baper (bawa perasaan), bahkan emosional.
Prank yang dilakukan Jokowi pada dasarnya dapat dianggap strategi politik Jokowi, ia menciptakan permainan politik dalam pengambilan keputusannya, ia menunggu momentum untuk menunjukkan sikap yang sebenarnya. Terkesan Presiden Jokowi seperti plin-plan, padahal tujuan yang sebenarnya hanya menunggu momentum, akhirnya banyak yang kecele (kecewa), tetapi Presiden Jokowi pasti tersenyum meski hanya dihati.
Prank Jokowi pada Masyarakat
Fakta memperlihatkan Presiden Jokowi hanya mengayuh situasi politik saja agar kepentingan dirinya dapat terpenuhi. Dalam memenuhi kepentingan dirinya ia sabar menunggu momentum.
Presiden Jokowi diawal kepemimpinannya dikira dan diyakini oleh masyarakat berkomitmen tiggi akan melakukan upaya memberantas korupsi, namun ternyata Jokowi malah menunjukkan sebagai aktor kemunduran demokrasi seperti salah contohnya adalah ketika ia menyetujui revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Perjalanan revisi UU KPK, memang penuh dramatis dengan muncul beberapa kali dalam Pemerintahan Jokowi. Pertama kali rencana revisi UU KPK hadir tahun 2015, draf ini langsung masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas dan dibahas di level Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun usulan revisi ditolak, setelah Presiden Jokowi dan Pimpinan DPR menggelar rapat konsultasi. Saat itu, Pemerintah menilai belum ada urgensi merevisi UU KPK. Kemudian di tahun 2016, revisi UU KPK kembali muncul. Revisi lagi-lagi tertunda setelah Jokowi dan Pimpinan DPR menggelar rapat konsultasi.
Saat itu kembali Pemerintah menilai belum ada urgensi merevisi UU KPK. Hanya saja, di tahun 2019, menjelang periode kedua Presiden Jokowi. Wacana itu kembali muncul jelang akhir masa jabatan anggota DPR Periode 2014-2019.
Baca Juga: Habis Manis, Nasdem Dibuang
Senyap namun cepat, pembahasan revisi UU KPK terwujud, hanya terjadi dua pekan dengan rincian dua kali rapat konsultasi, kemudian langsung disahkan di rapat paripurna pada September 2019. Ternyata, revisi UU KPK, bak misi yang sudah lama tertunda hanya menunggu momentum saja dan akhirnya tercapai.
Jokowi telah meng-prank masyarakat Indonesia, ia mengabaikan komitmennya memberantas korupsi yang semestinya dilakukan dengan adanya kebijakan dan perundang-undangan yang menguatkan kerja KPK.
Jokowi juga awalnya ketika terpilih sebagai presiden berkomitmen untuk membentuk pemerintahan yang profesional bukan pemerintahan yang bagi-bagi kursi kekuasaan. Namun, pemerintahan ini malah mengabaikan keinginan membentuk koalisi tanpa syarat. Malah, periode keduanya Jokowi semakin berkarakter lemah dalam komitmennya, ia menjadikan hak prerogatif presiden memilih Presiden menjadi sekadar berbagi kursi semata.
Jokowi juga mengajak rivalnya dalam pertarungan rematch di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) sebagai bagian dari pendukung pemerintahan dengan diberikan kompensasi dua kursi jabatan menteri kepada Gerindra.
Dengan kehadiran di kabinet dari dua tokoh lawan politiknya seperti Calon Presiden Prabowo Subianto menjabat sebagai Menteri Pertahanan bersama Sandiaga Uno yang merupakan Calon Wakil Presiden diberikan tanggung jawab sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Presiden Jokowi mengamankan dukungan di legislatif dengan “senjata pamungkas” berupa mekanisme “bagi-bagi rezeki” (pork barrel).
Kasus Prank Jokowi dalam Dinamika Politik
Jokowi juga banyak mengerjai beberapa pimpinan partai politik yang merupakan pendukung pemerintah, rivalnya, maupun internal partainya sendiri. Kita dapat melihat betapa kecewanya Prabowo Subianto yang merupakan calon presiden (capres) dari Gerindra yang telah berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Jokowi dalam acara HUT Perindo berkomunikasi membesarkan perasaan Prabowo Subianto dengan menjelaskan perjalanan politik Jokowi yang selalu menang di berbagai kompetisi politik dalam pemilihan, yang akhirnya ditutup dengan pernyataan membuat Prabowo senang.
Jokowi menyatakan, “Kemudian dua kali di pemilu presiden juga menang. Mohon maaf, Pak Prabowo. Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo.” tutup Jokowi. Jokowi dalam pertemuan dengan pendukung partai-partai pemerintah juga turut memberikan izin terhadap wacana terbentuknya sebuah koalisi besar yang meleburkan dua koalisi yakni Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Presiden Jokowi saat itu berusaha melakukan tekanan kepada internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tekanan itu berhasil Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mempercepat pengumuman capres PDIP dengan mengajukan Ganjar Pranowo ketimbang putrinya Megawati sendiri yakni Puan Maharani.
Situasi ini diyakini sudah diterka oleh Presiden Jokowi. Akhirnya, wacana koalisi besar “layu sebelum berkembang.” Hanya saja apa yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan memberi kesan mendukung terbentuknya Koalisi Besar telah menimbulkan kekisruhan.
Partai Golkar yang telah merasa jumawa karena berpikir wacana koalisi besar akan mengapungkan nama Prabowo Subianto-Airlangga Hartarto malah kecewa setelah resistensi dengan PDIP. Partai Golkar sebagai partai peringkat ketiga, sekarang ini dalam posisi terombang-ambing tidak di Koalisi Indonesia Besar (KIB) juga tidak jelas akan menuju pada KKIR atau Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), meski kecenderungan terbesar menuju KKIR.
Memang Jokowi dari awalnya diyakini tidak benar-benar ingin mewujudkan koalisi besar. Wacana koalisi besar pada dasarnya hanya upaya dirinya menekan Megawati selaku Ketua Umum PDIP untuk mengusung Ganjar Pranowo yang didukung oleh Presiden Jokowi.
Sedangkan Prabowo dan Airlangga menjadi korban prank Jokowi, itu adalah bagian dari fakta prank agar terlihat nyata tentu membutuhkan tokoh yang dikorbankan.
Pasca wacana koalisi besar berakhir. Jokowi ternyata juga menunjukkan fakta berikutnya, ia tidak benar-benar serius mengendorse Prabowo sebagai capresnya. Sebab, Jokowi malah menyatakan salah satu pendamping potensial dari capres Ganjar Pranowo adalah Pak Prabowo.
Tokoh-tokoh potensial yang disebutkan oleh Jokowi dikategorikan dianggap cocok mendampingi bakal calon wakil presiden adalah salah satunya adalah Prabowo Subianto.
Baca Juga: Ketidakmungkinan Empat Poros Koalisi di Pilpres 2024
Prabowo usai melakukan sowan kepada Jokowi di kediaman pribadi Presiden Jokowi di Surakarta. Prabowo Subianto menyatakan menolak menjadi cawapres Ganjar Pranowo yang sudah resmi diusung PDIP sebagai capres. Bagi Prabowo, saat ini posisi Gerindra cukup kuat sehingga ia tetap khidmat maju sebagai capres seperti yang diinginkan oleh Partai Gerindra.
Penolakan Prabowo diyakini sudah diterka oleh Jokowi. Ia hanya ingin mengapungkan persepsi di masyarakat saja, bahwa Prabowo itu sebenarnya level terbaik setelah Menteri Pertahanan adalah sebagai cawapres saja bukan maju kembali sebagai capres. Sebab, Prabowo sudah dikalahkan dua kali oleh Jokowi, mohon maaf Pak Prabowo, seperti itulah persepsi sederhananya dari permainan Jokowi yang disangka publik adalah mengendorse Prabowo.
Presiden Jokowi juga pandai menepis tudingan ikut campur atau cawe-cawe dalam pemilihan capres maupun cawapres di Pilpres 2024. Jokowi membangun persepsi ini sekadar ajang diskusi politik. Bagi dirinya urusan capres itu urusan partai atau gabungan partai.
Meski begitu, permainan politik Jokowi sanggup menghadirkan tekanan demi tekanan dalam perpolitikan, bahkan juga turut menghadirkan berbagai wacana politik yang mengemuka di publik. Wacana politik mengapung dipermukaan diperkirakan karena restu dari Jokowi, padahal belum tentu itu sebuah restu, bisa saja itu hanya pernyataan selintas dirinya layaknya obrolan atau diskusi saja.
Inilah fakta bahwa Jokowi dalam melakukan strategi politik, cenderung “lentur.” Ia pandai menciptakan permainan drama, menunggu momentum, hingga akhirnya banyak yang terperanjat kaget menyadari ternyata endingnya layaknya telah di prank.
Dalam drama tentu saja ada sosok yang perlu dikorbankan, ia juga tidak segan-segan mengorbankannya meski juga tetap merangkulnya. Sehingga sosok-sosok yang dikecewakannya tidak pernah menyadari ia telah beberapa kali dikecewakan. Inilah kecerdikan Jokowi dalam strateginya, jika tak ingin menyatakan kelicikan. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS