Untung Rugi Buat PDIP
Kolumnis
Minggu, 30 Mei 2021 / 2:46 pm
Oleh: Dr. M. Najib Husain
Dosen FISIP UHO
ADA tiga ranah eksistensi partai politik, yakni: yang berada di kepengurusan partai (party in the office), yang berada di parlemen atau pemerintahan dan yang berada di konstituen/kelompok warga. Ketiganya harus menyatu dan saling bersinergi dalam temali gagasan atau ideologi yang diusung.
Sayangnya, makin hari laju keberadaan partai politik di tanah air makin kehilangan amunisi ideologisnya. Keterlibatan atas sejumlah kasus korupsi sejumlah kader partai di parlemen dan pemerintahan makin mengarahkan mesin partai pada praktek perburuan kekuasaan (rent seeker) demi tujuan pragmatisme memperkaya diri.
Para elite partai sibuk membangun dinasti politik, dibandingkan dengan mengurus dan memperbaiki negara. Kejadian terbaru bisa dilihat dengan dinamika di PDIP. PDIP yang tumbuh berkembang dengan baik karena trah politiknya Sukarno yang selalu dijaga dan dipertahankan.
Saat ini di PDIP ada nama Puan, yang cukup dijagokan juga untuk diproyeksikan maju di 2024, namun sayangnya popularitas, aksebilitas dan elektabilitas Puan masih jauh di bawah Ganjar Pranowo yang selama ini selalu masuk tiga besar pada lembaga survey nasional manapun juga yang sudah pasti melebihi figur penting lain di PDIP.
Apakah mungkin ini yang menyebabkan PDIP tidak mengundang Ganjar Pranowo saat pembukaan Pameran Foto Esai Marhaen dan Foto Bangunan Cagar Budaya, di Panti Marhaen Kota Semarang, belum dapat kita pastikan.
Padahal, sebagai kepala daerah Jawa Tengah, Ganjar diketahui selalu diundang apabila terdapat pergelaran acara di Jawa Tengah. Kasus ini menarik karena PDIP mencoba bermain dengan fakta hari ini di mana kekuatan figur mas Ganjar Pranowo sangat kuat dan akan menjadi bahan jualan yang akan laku untuk dijual dibandingkan mbak Puan.
Hasil Pemilu 2024 bagi partai politik sangat banyak dipengaruhi oleh siapa figur yang akan didukung dalam pemilihan presiden, untuk pertama kali Pemilu di Indonesia ada partai yang bisa menang secara beruntun yaitu PDIP yang menjadi pemenang di 2014 dan juga di Pemilu 2019.
Baca juga: Airlangga Hartarto dan Golkar yang Rasional
Tapi jangan berbangga dulu karena kemenangan PDIP di Pemilu 2019 tidak terlepas dari adanya keutungan besar dari efek ekor jas atau coat-tail effect atas pencalonan Joko Widodo sebagai calon presiden. Karena, PDIP merupakan salah satu partai pengusung sekaligus partai tempat Jokowi bernaung.
Kemampuan Jokowi untuk menjaga relasi dengan elite partai dan dengan massa pemilih memberi kontribusi bagi rendahnya split voters di kalangan pemilih untuk tetap memilih PDIP.
Belajar dari pengalaman 2019, sudah pasti semua partai politik tidak akan mau kecolongan lagi dan sudah mulai menawarkan para figurnya untuk maju sebagai presiden, Partai Gerinda tetap dengan Prabowo Subianto dan Partai Golkar dengan Airlangga Hartarto.
Sementara itu NasDem berencana menggelar konvensi untuk menjaring bakal capres tahun 2022, khususnya nama-nama yang memiliki elektabilitas tinggi.
Konvensi serupa pernah diadakan oleh Golkar pada Pemilu 2004 dan Demokrat pada Pemilu 2014. Tahun ini yaitu 2021, konstelasi politik akan mulai dinamis.
Partai-partai politik mulai melakukan komunikasi untuk menjajaki peluang koalisi. Karena persyaratan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang dipatok 20 persen membuat semua parpol harus berkoalisi.
Baca juga: Upaya Anies Baswedan Menuju Pilpres 2024
Namun anehnya, PDIP malahan menunjukkan pergerakan yang tidak produktif dan terkesan memaksakan kehendak padahal target PDIP adalah membuat hattrick agar menang di pemilu 2024.
Jika PDIP tetap memaksakan untuk mendorong kader untuk maju menjadi presiden 2024 yang elektabilitas rendah dengan alasan untuk mempertahankan trah politik Sukarno maka akan menjadi sebuah kerugian.
Kondisi semacam ini tentu akan sangat membahayakan bagi PDIP, karena akan makin rapuh karena dirayapi oleh kesadaran pragmatis elite dan aktivis partai sendiri di dalamnya.
Jika di masa lalu robohnya partai politik karena ditebas oleh penguasa, maka tidak menutup kemungkinan di masa kini, kerobohannya karena ditebas oleh pragmatisme dan apatisme dari internal partai yang diuntungkan dengan trah politik Sukarno.
Kerugian yang akan dialami sifatnya akan sistemik karena model pemilihan serentak yang hanya berbeda bulan (pemilihan legislatif dan presiden pada Februari 2024, Pilkada digelar November 2024) akan berpengaruh signifikan dengan Pilkada 2024 yang bersamaan tahunnya.
Pengalaman membuktikan PDIP sebagai pemenang Pemilu 2019 secara nasional ternyata berefek positif dengan Pilkada 2020 di Sulawesi Tenggara, walaupun tahun pelaksanaanya berbeda.
Di mana dari 7 kabupaten yang melaksanakan Pilkada serentak, 5 kabupaten dimenangkan oleh pasangan yang didukung oleh PDIP yaitu Muna, Wakatobi, Kolaka Timur, Konawe Utara, dan Konawe Kepulauan. PDIP sebagai partai pemenang di Pilkada 2020 di Sultra. (*)