7 Modus Penipuan Kerja Paruh Waktu, Berikut Ciri-cirinya
Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Senin, 13 Oktober 2025
0 dilihat
Sulitnya ekonomi, penipuan kerja paruh waktu marak menjebak korban lewat media sosial. Foto: Repro Kompas.
" Banyak orang mencari peluang untuk menambah penghasilan melalui pekerjaan paruh waktu "

JAKARTA, TELISIK.ID - Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, banyak orang mencari peluang untuk menambah penghasilan melalui pekerjaan paruh waktu.
Tawaran semacam ini sering kali muncul di media sosial, lengkap dengan janji gaji besar dan pekerjaan ringan seperti klik, like, atau membagikan tautan.
Namun di balik kemudahan itu, tersimpan jebakan yang bisa membuat siapa pun kehilangan uang dalam waktu singkat.
Fenomena penipuan berkedok kerja paruh waktu kini marak di berbagai platform digital, menjerat korban dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga ibu rumah tangga.
Mabes Polri bahkan telah turun tangan mengusut jaringan internasional yang beroperasi dari luar negeri. Beberapa pelaku diketahui berasal dari China daratan dan menggunakan negara ketiga seperti Kamboja atau Dubai sebagai basis operasional.
Melansir suara.com jaringan telisik.id, Senin (13/10/2025), salah satu pelaku bernama Colby telah tertangkap, namun jaringan besar lainnya masih aktif menjalankan aksinya. Pola kerja mereka sangat terstruktur dan memanfaatkan teknologi untuk menipu korban dengan cara yang semakin halus.
Agar tidak ikut menjadi korban, berikut adalah tujuh ciri dan tahapan modus penipuan kerja paruh waktu yang wajib diwaspadai.
1. Modus Dimulai dari Pesan Pribadi di Media Sosial
Awalnya pelaku akan menghubungi calon korban melalui pesan langsung di Instagram, Facebook, atau WhatsApp. Mereka berpura-pura sebagai perekrut dari marketplace ternama seperti Shopee, Lazada, atau Zalora.
Pesan yang dikirim terlihat sopan dan profesional, lengkap dengan logo perusahaan palsu untuk menambah kesan meyakinkan.
Pelaku kemudian menawarkan pekerjaan ringan seperti memberikan like, follow, atau memberikan rating pada produk tertentu dengan imbalan uang tunai.
Karena terlihat sederhana dan tidak memerlukan modal, banyak orang tertarik untuk mencoba tanpa berpikir panjang.
2. Dua Misi Pertama Dibayar untuk Membangun Kepercayaan
Setelah korban menjalankan dua misi pertama, pelaku akan benar-benar mengirimkan uang, biasanya antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000.
Baca Juga: Ramai Kenaikan Gaji ASN hingga TNI-Polri 2026, Begini Penjelasan Kemenkeu
Tindakan ini dirancang agar korban percaya bahwa pekerjaan tersebut benar-benar nyata dan legal. Begitu kepercayaan tumbuh, korban mulai mengikuti instruksi selanjutnya tanpa curiga.
3. Korban Didorong Naik ke Level Lebih Tinggi dengan Syarat Deposit
Setelah dua misi awal sukses, pelaku mulai menawarkan pekerjaan dengan imbalan lebih besar. Namun untuk bergabung ke level berikutnya, korban diminta melakukan deposit atau top up.
Dalihnya, deposit itu digunakan sebagai jaminan proyek. Padahal, di sinilah jebakan utama dimulai.
Korban yang sudah yakin karena sebelumnya dibayar, mengira uang deposit akan kembali bersama bonus. Namun kenyataannya, uang itu justru menjadi awal kerugian besar.
4. Dimasukkan ke Grup Rahasia dan Dikenai Tekanan Psikologis
Setelah melakukan deposit, korban akan dimasukkan ke grup WhatsApp atau Telegram. Di sana, sebagian besar anggota bukan korban sungguhan, melainkan kaki tangan pelaku. Mereka pura-pura ikut bekerja untuk menimbulkan rasa kebersamaan dan kepercayaan.
Jika ada satu orang belum menyetor uang tambahan, mereka akan ditekan oleh anggota lain agar segera membayar, dengan alasan agar bonus grup bisa cair. Tekanan sosial ini membuat korban merasa bersalah dan akhirnya mentransfer lagi.
5. Uang Tidak Kunjung Cair, Selalu Ada Alasan Baru
Ketika korban mulai curiga dan menanyakan hasil kerja, pelaku akan memberi berbagai alasan seperti sistem error, pajak yang belum dibayar, atau misi yang belum selesai. Setiap alasan disertai permintaan tambahan top up agar dana bisa dicairkan.
Pola ini terus berulang, hingga korban kehilangan seluruh uangnya tanpa hasil.
6. Jaringan Internasional dengan Pola Sama di Banyak Negara
Penipuan ini tidak dilakukan oleh individu, tetapi merupakan jaringan internasional yang sangat terorganisir. Berdasarkan penyelidikan, jaringan ini memiliki operator di berbagai negara seperti Thailand, Uni Emirat Arab, dan Kamboja.
Meskipun beberapa pelaku berhasil ditangkap, jaringan lain terus beroperasi dengan pola yang sama.
Mereka membangun sistem untuk memancing korban dengan sedikit keuntungan di awal, lalu memeras habis tabungan mereka. Dalam beberapa kasus, korban mengaku kehilangan hingga ratusan juta rupiah.
Baca Juga: Punya Gerai Alfamart Sendiri, Ini Besaran Biaya dan Balik Modal 2025
7. Korban Terbanyak Adalah Mereka yang Sedang Butuh Uang
Target utama pelaku adalah orang-orang yang sedang dalam tekanan ekonomi. Mahasiswa, ibu rumah tangga, dan pekerja paruh waktu menjadi sasaran empuk karena cenderung mencari tambahan penghasilan.
Dengan janji “kerja ringan, hasil besar”, pelaku memanfaatkan rasa percaya dan keinginan korban untuk mendapatkan uang cepat.
Awalnya korban hanya iseng mencoba, namun setelah mendapatkan bayaran kecil, mereka mulai terikat. Uang yang keluar semakin besar, bahkan ada yang menjual barang pribadi demi melanjutkan misi palsu tersebut. (C)
Penulis: Ahmad Jaelani
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS