Akademisi Sebut Pernyataan SBY soal Penjegalan Demokrat di Pilpres Berlebihan, Harus Sadar Diri
Musdar, telisik indonesia
Minggu, 18 September 2022
0 dilihat
Pernyataan SBY bahwa Demokrat akan dijegal di pilpres, menurut akademisi politik Efriza, pernyataan itu berlebihan. Foto: Repro Kompas.com
" SBY mengatakan bahwa Partai Demokrat akan dijegal agar tidak bisa mencalonkan calon presiden dan wakil presidennya sendiri "
JAKARTA, TELISIK.ID - Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut ada upaya Pilpres 2024 hanya akan diikuti oleh dua pasangan capres-cawapres yang dikehendaki mereka agar oposisi tidak bisa mengajukan capres dan cawapresnya.
Namun presiden 2 periode itu tidak menyebut siapa yang dimaksud mereka itu.
SBY juga mengatakan bahwa Partai Demokrat akan dijegal agar tidak bisa mencalonkan calon presiden dan wakil presidennya sendiri.
Akademisi politik beberapa kampus di Indonesia, Efriza menilai Indikasi pilpres hanya diikuti dua pasangan capres-cawapres memang memungkinkan terjadi.
Tetapi pernyataan SBY yang menganggap ada upaya itu juga disertai menjegal Demokrat dalam pencalonan di pilpres, menurut Efriza berlebihan dan kuat kekeliruannya.
Baca Juga: Nasib Koalisi NasDem, Demokrat dan PKS di Tangan Surya Paloh
"Partai Demokrat memang harus sadar diri. Partai ini urutan ketujuh. Partai tidak bisa sombong dapat mengusung calonnya sebagai capres atau cawapres. Apalagi elektabilitas dari AHY tidak tinggi dan hanya menguat sebagai calon wakil presiden," ucap Efriza, Minggu (18/9/2022).
Sisi lain, lanjut Efriza, Demokrat selama ini tidak berupaya masuk ke dalam tiga poros koalisi saat ini. Ketika kesempatan berkoalisi dengan NasDem-PKS menguat, Demokrat tak gerak cepat menyambutnya. Wajar akhirnya, bisa terjadi pergeseran peta politik koalisi.
Efriza menjelaskan, NasDem bisa saja dengan Anies dan malah memilih membangun poros baru bersama PDIP dalam koalisi. Dengan alasan misalnya, persatuan Indonesia. Sedangkan, KIB yang melihat, menunggu, dan juga mulai goyah pondasi koalisinya pasca konflik PPP, maka juga memungkinkan KIB menimbang opsi bergabung dalam poros baru bersama PDIP.
"Artinya, peta koalisi tinggal menyisakan pertama poros baru yang digalang PDIP dengan kekuatan terbesar barisan koalisi pendukung pemerintah. Poros koalisi lama tinggal menyisakan Gerindra-PKB. Sedangkan, PKS dan Demokrat tidak bisa memilih tak berkoalisi, tentu kecenderungannya bergabung ke poros Gerindra-PKB. Dua partai itu tidak akan diterima oleh PDIP melihat rekam jejak sejarahnya," jelasnya.
Lebih lanjut Efriza menjelaskan asumsi dua poros ini bisa terjadi jika NasDem dan Anies maupun KIB memilih mengayuh kebersamaan dalam poros koalisi baru dengan PDIP.
Tetapi bagi Efriza, ini juga tidak mudah, sebab NasDem dan PDIP tidak mesra seperti dulu. Anies diusung oleh PDIP juga akan menimbulkan friksi, perdebatan di antara pendukungnya. KIB juga tentu tidak mau memalukan diri mereka, telah ada koalisi tapi malah bergabung membentuk poros koalisi baru.
Meski begitu, bagi Efriza, menariknya adalah jika Nasdem-PKS-Demokrat berkoalisi, apakah akan tetap AHY sebagai capres atau cawapres belum tentu juga, sebab saat ini peta poros koalisi masih cair dan bergerak dinamis. Dan, belum tentu NasDem legowo memberikan kursi cawapres dengan cuma-cuma kepada Partai Demokrat jika tanpa adanya "kompensasi."
Menurut Efriza pernyataan SBY adalah asumsi dari berbagai kemungkinan. Situasi ini dipengaruhi oleh hitungan politik masing-masing partai dalam berkoalisi.
Baca Juga: KPU Muna Barat Temukan Banyak Anggota Parpol Tak Penuhi Syarat
Ini memang risiko jika pasangan calon diatur melalui ketentuan yang tinggi dari presidential threshold. Apalagi kenyataannya bangunan koalisi di Indonesia hanya didasari hitungan untung-rugi dan kemenangan saja tidak berbasis kesamaan ideologis atau persamaan perjuangan ke depannya.
"Namun, pernyataan tendensius bahwa ada agenda, sangat disayangkan. Sebaiknya, Demokrat alangkah baiknya mulai mewujudkan koalisi NasDem-PKS-PD. Jika tidak memilih KIB atau koalisi Partai Gerindra-PKB, sebab Partai Demokrat sekarang ini harus sadar diri dan bergerak cepat karena hanya berkategori Partai Gurem," pungkas Direktur Eksekutif PSKP ini.
SBY menyampaikan hal tersebut saat rapat pimpinan nasional (rapimnas) Partai Demokrat 2022, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2022).
SBY awalnya membeberkan adanya tanda-tanda Pemilu 2024 akan berlangsung secara tidak jujur dan tidak adil.
"Para kader mengapa saya harus turun gunung menghadapi Pemilihan Umum 2024, saya mendengar mengetahui bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil," kata SBY dikutip dari derik.com yang melihat di akun Tiktok pdemokrat.sumut, Sabtu (17/9/2022). (C)
Penulis: Musdar
Editor: Haerani Hambali