Kemenangan Biden Menghapus Penjajahan?

Rut Sri Wahyuningsih, telisik indonesia
Minggu, 22 November 2020
0 dilihat
Kemenangan Biden Menghapus Penjajahan?
Rut Sri Wahyuningsih, Institut Literasi dan Peradaban. Foto: Ist.

" Jelas tak mungkin Amerika sekedar akan mempererat kemitraan dengan Indonesia begitu saja, sebagai negara penganut kapitalisme, arahan kerjasama itu lebih kepada mengikat negara-negara berkembang dan juga negara pembebek agar terus bersandar kepada Amerika. "

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban

DILANSIR dari tirto.id, 13 November 2020, pada 7 November 2020, kecemasan dunia seputar hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2020 selama beberapa bulan terakhir akhirnya terjawab. Politikus Demokrat Joe Biden memenangkan Pilpres AS 2020 mengalahkan petahana Donald Trump.

Dengan kemenangan ini, Biden akan menjadi presiden tertua sepanjang sejarah AS. Sementara Kamala Harris, anggota Senat yang mewakili California sejak 2017 dengan orang tua imigran asal Jamaika dan India, akan menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai wakil presiden AS (tirto.id, 13/11/2020).

Meskipun pendukung Donald Trump masih bersikukuh bahwa kemenangan Biden belum layak, namun keceriaan kubu Biden sudah terlanjur menular kepada banyak orang termasuk para pemimpin negara-negara di dunia, salah satunya Presiden Joko Widodo.

"Selamat terhangat saya kepada @JoeBiden dan @KamalaHarris atas pemilihan bersejarah Anda. Hasil turnout (jumlah pemilih yang menggunakan haknya) yang sangat besar adalah cerminan dari harapan yang ditempatkan pada demokrasi," tulis Presiden Jokowi melalui akun resmi Twitter-nya @jokowi

Benarkah kemenangan Biden adalah cerminan dari harapan yang ditempatkan pada demokrasi? Layakkah berharap penjajahan AS akan berhenti di bawah presiden Joe Biden sekarang?  

Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, hendaknya kita lebih dulu meneliti lebih dalam fakta pemilu di Amerika ini dan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Trump, Biden, Bush, Clinton atau Obama, Republik atau Demokrat adalah dua sisi dari mata uang yang sama.  

Semuanya adalah musuh umat Islam  dan merekapun pembenci ajaran Islam. Setelah kemenangannya, Biden jelas masih terikat dengan  kebijakan utama Amerika dan berkewajiban untuk melanjutkannya, agar Amerika tetep berada di posisinya hari ini. Artinya hegemoni Amerika terhadap negara-negara di dunia ini otomatis juga harus tetap diwujudkan.

Baca juga: Siap Kembangkan Industri Perikanan, Baubau Dilirik Investor Korea

Sebab, begitulah cara Amerika menghidupi negara dan rakyatnya. Kampiun demokrasi ini harus tetap berada pada khitoh (strategi dasar) negaranya, jika tidak mau dilibas habis oleh negara super power lainnya, yang diprediksi adalah negara Islam.

Perbedaannya, Partai Republik yang digawangi Donald Trump membantai negeri-negeri Muslim tanpa sembunyikan pisaunya. Mereka lebih sering bertindak kasar dan jelas. Sementara Partai Demokrat sembunyikan pisaunya  dari korbannya. Nampak halus padahal masih sama saja menjadi musuh dari Islam. Maka, adakah alasan kita untuk bergembira?

Terhadap arah pertumbuhan ekonomi Indonesiapun sebagaimana  digadang presiden Joko Widodo, bahwa dirinya "menantikan untuk bekerja sama" dengan Biden dalam memperkuat kemitraan strategis Indonesia-AS serta mendorong kerja sama kita di bidang "ekonomi, demokrasi, dan multilateralisme untuk kepentingan kedua negara." Bisa dipastikan tak akan mengalami perubahan yang signifikan.

Jelas tak mungkin Amerika sekedar akan mempererat kemitraan dengan Indonesia begitu saja, sebagai negara penganut kapitalisme, arahan kerjasama itu lebih kepada mengikat negara-negara berkembang dan juga negara pembebek agar terus bersandar kepada Amerika.  

Cepat atau lambat sistem ekonomi yang  bertumpu pada sektor non-riil pasti akan tumbang. "Biden Effect" hanyalah lonjakan sesaat yang tak berarti apapun. bahkan tak menyentuh panel tingkat kesejahteraan satu angkapun. Ini bukti kapitalisme gagal menyelesaikan problem ekonomi. Gagal mewujudkan kesejahteraan manusia dan menghasilkan ketimpangan serta kemiskinan sistemik.  

Seluruh kerjasama yang dibangun oleh Amerika di Asia maupun Eropa tak lebih dari bentuk penjajahan baru. Bukan dengan senjata, namun dengan eksploitasi kekayaan alamnya, dominasi mata uang dolarnya dan perjanjian kerjasama yang sejatinya hanya kedok.

Maka, kita tak perlu terlalu eufuria dengan kemenangan presiden Amerika ke-46 ini, justru harus lebih waspada bahwa siklus kapitalisme akan terus berlanjut. Justru kita harus gencarkan solusi Islam adalah satu-satunya solusi yang tepat hari ini. Kapitalisme hanya menyisakan kesenjangan bahkan krisis terus menerus di segala bidang. Wallahu a' lam bish showab. (*)

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga