Dipercaya Sebagai Ketua Baru, Suhartoyo Beralasan Selamatkan MK

Mustaqim, telisik indonesia
Kamis, 09 November 2023
0 dilihat
Dipercaya Sebagai Ketua Baru, Suhartoyo Beralasan Selamatkan MK
Suhartoyo (batik biru motif kuning) dan Saldi Isra usai terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK dalam Rapat Permusyawaratan Hakim di Gedung MK, Jakarta, Kamis (9/11/2023). Foto: Mustaqim/Telisik

" Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (9/11/2023), menyepakati Suhartoyo sebagai Ketua MK yang baru menggantikan Anwar Usman yang diberhentikan oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK) pada Selasa (7/11/2023) lalu "

JAKARTA, TELISIK.ID - Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (9/11/2023), menyepakati Suhartoyo sebagai Ketua MK yang baru menggantikan Anwar Usman yang diberhentikan oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK) pada Selasa (7/11/2023) lalu.

Anwar diberhentikan karena terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Dia dinilai terlibat benturan kepentingan dalam memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden.

Putusan itu kemudian membuat Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan keponakan Anwar, bisa berkontestasi di Pilpres 2024 meskipun belum memenuhi syarat usia minimal 40 tahun bagi calon wakil presiden.

Dalam RPH pemilihan Ketua MK, hakim Saldi Isra menjelaskan alasan Suhartoyo terpilih menggantikan Anwar Usman. Saldi mengungkapkan bahwa hanya dirinya dan Suhartoyo yang dicalonkan untuk menjadi Ketua MK.

Enam hakim konstitusi lain tidak bersedia, sementara Anwar tak diperbolehkan mencalonkan dan dicalonkan lagi sebagai Ketua MK berdasarkan putusan Sidang Etik MKMK.

Baca Juga: Dicopot dari Ketua MK, Anwar Usman Berkelit Difitnah hingga Ungkit Konflik Kepentingan Sejak Era Jimly Asshiddiqie

Saldi menyebut hakim Arief Hidayat tak bersedia menjadi ketua. Dua hakim lainnya, Manahan M.P dan Wahiduddin Adams, dalam waktu dekat segera pensiun. Sebagian hakim lagi tidak menjelaskan alasan tidak mau jadi ketua.

Tujuh hakim kemudian secara musyawarah mufakat menyetujui Suhartoyo sebagai Ketua MK. Salah satu alasannya karena latar belakang pengalaman. Sedangkan Saldi tetap jadi Wakil Ketua MK.

Dibanding Saldi yang 6,5 tahun berkiprah di MK, Suhartoyo lebih lama dan tercatat sudah 8 tahun. “Itu pertimbangan yang kita baca kenapa tadi tujuh orang lain itu memunculkan nama kami berdua,” ungkap Saldi di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (9/11/2023).

Saldi berharap bersama Suhartoyo selaku pimpinan bisa menjadi pasangan yang kokoh atau dwitunggal dalam memimpin MK. Saldi mengaku, topik itulah yang dia diskusikan bersama Suhartoyo saat diberikan kesempatan untuk berbicara empat mata pada RPH untuk memilih Ketua MK yang baru.

“Karena ini harus diarungi dengan kekuatan yang jauh lebih padu, maka tadi kita bicara ini akan menjadi kepemimpinan kolektif, kami berdua menjadi komandonya,” jelas Saldi.

Saldi tak menampik, Hakim Konstitusi lainnya juga akan ditempatkan pada posisi setara karena prinsipnya harus dipimpin secara kolektif.

“Hakim-hakim lain juga akan ditempatkan seperti pimpinan kolektif dalam menghadapi ini. Karena situasi ini tidak mungkin diselesaikan oleh satu-dua orang, harus diselesaikan oleh kami semua. Itu prinsip tadi yang kami diskusikan,” beber Saldi.

Saat mengumumkan hasil RPH, Saldi menuturkan, dirinya dan Suhartoyo berdiskusi untuk mengambil kesepakatan siapa yang menjadi ketua dan wakil ketua MK. Sedangkan tujuh Hakim Konstitusi lainnya meninggalkan sementara ruangan rapat.

“Sembari melakukan refleksi, kami berdua tadi, dan dengan dorongan ada semangat untuk memperbaiki Mahkamah Konstitusi setelah beberapa kejadian terakhir, akhirnya kami berdua sampai kepada putusan,” tuturnya.

Setelah berdiskusi berdua, tujuh Hakim Konstitusi lainnya kembali ke ruangan dan menyepakati hasil diskusi bahwa Suhartoyo menjadi Ketua MK dan Saldi Isra tetap sebagai Wakil Ketua.

“Itulah wujud musyawarah mufakat kami yang dilakukan di ruang RPH di lantai 16 tadi,” ujar Saldi.

Suhartoyo pun bersedia menjalankan amanah sebagai pengganti Anwar Usman. Dia mengaku kesediaannya itu karena ada panggilan dan permintaan dari para Hakim Konstitusi.

“Secara faktual memang nama ini hanya berdua, sehingga kalau beliau-beliau sudah memberikan kepercayaan, kemudian kami berdua juga menolak, sementara ada di hadapan mata kita MK ini ada sesuatu yang harus kita bangkitkan kembali kepercayaan publik,” kata Suhartoyo.

Berdasarkan pertimbangan itu pula, Suhartoyo akhirnya menerima untuk menduduki jabatan Ketua MK. Dia kembali menegaskan bahwa dirinya tidak meminta jabatan Ketua MK.

“Kalau kemudian kami tidak mau menariknya, siapa lagi? Apakah MK juga dibiarkan mandek, sementara adik-adik (wartawan) semua, teman-teman semua kemarin tahu ada putusan MKMK yang amarnya memerintahkan untuk penggantian pimpinan,” ujar Suhartoyo.

Suhartoyo rencananya akan dilantik sebagai Ketua MK pengganti Anwar Usman  pada Senin (13/11/2023) depan. Pelantikan akan dilakukan di Gedung MK.

Suhartoyo lahir di Sleman, Yogyakarta, 15 November 1959. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 1983. Kemudian menuntaskan pendidikan pascasarjana di Universitas Tarumanegara pada 2003. Dia lalu menyelesaikan pendidikan doktoral pada 2014 di Universitas Jayabaya.

Sebelum bertugas di MK, Suhartoyo malang melintang sebagai hakim pengadilan. Dia pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bandar Lampung tahun 1986. Kemudian dipercaya menjadi Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), dan Hakim PN Bekasi (2006) sebelum menjabat sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar.

Suhartoyo juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2010), Ketua PN Pontianak (2010). Lalu Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011) dan Ketua PN Jakarta Selatan (2011).

Suhartoyo resmi menjabat Hakim Konstitusi di MK terhitung mulai 7 Januari 2015 menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi.

Suhartoyo merupakan satu dari empat hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) pada sidang gugatan capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Suhartoyo juga satu dari empat hakim yang memiliki pendapat berbeda terhadap putusan MK tentang UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi UU tetap konstitusional.

Dia bersama Wahiddudin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih menyampaikan dissenting opinion terkait gugatan UU Ciptaker. Namun, pendapat tersebut tidak dibacakan maupun ditampilkan dalam sidang.

Dissenting opinion lain yang disampaikan Suhartoyo adalah dalam gugatan Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen, pada 2022 lalu.

Suhartoyo menjelaskan bahwa ambang batas 20 persen harus dihapuskan. Namun, suaranya kalah dengan suara mayoritas hakim yang masih memilih memberlakukan ambang batas 20 persen.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, merespons pernyataan mantan Ketua MK, Anwar Usman, yang merasa difitnah dari hasil Sidang Etik MKMK dalam menangani perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia capres-cawapres.

Baca Juga: Sosok Jimly Asshiddiqie, Ketua MKMK yang Berhentikan Ketua MK

Mahfud meminta Anwar mengungkap sosok yang memfitnah dirinya agar tidak menimbulkan saling curiga. “Siapa yang memfitnah? Merasa difitnah oleh siapa?” tanya Mahfud, Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Mahfud yang juga sebagai bakal calon wakil presiden bagi Ganjar Pranowo, menyarankan sebaiknya Anwar bicara kepada MKMK terkait fitnah yang menimpanya. “Bilang saja kepada yang memutus (MKMK),” saran Mahfud.

Kendati begitu, Mahfud menilai bahwa tak ada satupun orang yang berhak memaksa Anwar Usman untuk mengundurkan diri sebagai Hakim Konstitusi pascaputusan MKMK.

Mengacu pada aturan perundang-undangan, kata Mahfud, Anwar tidak harus mengundurkan diri sebagai hakim MK meski telah dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat terkait konflik kepentingan dalam putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Secara hukum dia tidak harus mundur, tapi secara moral dan etik itu urusan dia mau mundur atau tidak. Tidak boleh didorong, dipaksa atau dilarang oleh orang lain. Tetapi putusan MKMK sudah selesai, sudah final,” jelas Mahfud. (A)

Reporter: Mustaqim

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baca Juga