Encep Nurjaman Tahanan Termahal di Penjara Guantanamo, Begini Nasibnya

Muhammad Israjab, telisik indonesia
Jumat, 22 Januari 2021
0 dilihat
Encep Nurjaman Tahanan Termahal di Penjara Guantanamo, Begini Nasibnya
Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin alias Hambali akan menjalani persidangan militer Amerika Serikat seperti diumumkan Departemen Pertahanan Amerika Serikat 21 Januari 2021. Foto: Repro New York Times

" Di Malaysia ia memulai hidup baru dan berganti nama jadi Riduan Isamudin. "

WASHINGTON, TELISIK.ID - Amerika Serikat menyatakan akan mengadili tiga orang pelaku bom Bali 2002. Satu orang di antaranya adalah Encep Nurjaman atau Hambali, pada hari Kamis (21/1/2021).

Hambali memiliki nama lain Nurjaman bin Isamudin. Ia lahir di Cianjur, 4 April 1964 sebagai anak kedua di antara 12 bersaudara.

Menurut Pakar Keamanan Ken Conboy menggambarkan, Hambali adalah sosok berbadan gempal dan pendiam.

Setelah dia lulus SMA, Hambali sempat luntang-lantung selama enam bulan. Ia pun memilih merantau ke Malaysia secara ilegal pada 1982.

"Di Malaysia ia memulai hidup baru dan berganti nama jadi Riduan Isamudin," tulis Ken, seperti dikutip dari Tirto.id.

Kehidupannya membaik selama tinggal di Selangor, Malaysia. Ia menjual ayam saat pagi dan menjual peci serta buku agama saat malam.

Hambali juga sempat bekerja di sebuah warung roti canai. Selama tinggal di sana, ia berkenalan dengan Abdullah Sungkar, pendiri Jamaah Islamiyah (JI).

Jamaah Islamiyah terafiliasi dengan Al-Qaeda. Berkat ajakan Sungkar, Hambali menjadi satu dari 20 orang kelompok yang berangkat ke Afghanistan pada 1986.

Hambali ikut berperang hingga 1988. Namun, dengan waktu dua tahun itu Hambali telah mendapat pelajaran dan pengalaman dasar militer, seperti strategi komunikasi, penyediaan logistik, intelijen dan hal-hal teknis di medan tempur.

Setelah kembali ke Malaysia, Hambali juga membangun jaringan dengan alumni Afghanistan di Filipina Selatan.

Baca juga: Tak Singgung Joe Biden di Pidato Perpisahan, Donald Trump: Pertempuran yang Sulit

Pada 1998 Hambali menjadi pimpinan JI setelah Sungkar meninggal karena penyakit hati. Hambali di bawah JI terpengaruh seruan Osama bin Laden bernama Fatwa 98.

Fatwa ini menghalalkan pembunuhan Amerika Serikat dan sekutunya.

JI melakukan pengeboman pada malam Natal 2000 di sejumlah gereja di Indonesia. Pengeboman klub malam di Bali 2002 serta bom Hotel J.W. Marriott di Jakarta pada 2003 juga didalangi oleh Hambali dan anggota JI.

Bom Bali menewaskan 202 orang, mayoritas turis asing. Sementara, bom di hotel JW Marriott Jakarta menewaskan 12 orang.

Sebelum itu, Hambali memantau aksi terorisme itu dari Bangkok, Thailand. Ia sadar bahwa hari akhirnya sebagai pelarian sudah dekat.

Untuk menghindari kejaran polisi, ia sempat mencoba kabur ke Laos, Kamboja, dan Vietnam. Namun, opsi untuk tetap di Thailand dirasanya lebih aman.

Meski begitu, ia sudah merasa akan ditangkap polisi Thailand. Penyebabnya bukan aksi bom di Jakarta, melainkan kabar penangkapan Aziz Hajincheming, Ismael Smann, dan sel-sel JI lain di Kamboja pada Mei 2003.

Di sisi lain, petinggi Al Qaeda yang sering memberinya uang saku, Khalid Sheikh Mohammed dan Ammar al-Baluchi, ditangkap CIA di Pakistan.

Hasil interogasi mengungkap adanya transaksi uang yang cukup besar ke Bangkok. Dari sinilah CIA dan intelijen Thailand mulai bergerak.

Dari nomor rekening dan ponsel, terlacaklah posisi Zubair, tangan kanan Hambali yang kemudian tertangkap pada Juli 2003. Zubair dibekuk saat hendak menyeberang ke luar Thailand.

Baca juga: Jabat Presiden, Joe Biden Akhiri Larangan Negara Muslim Masuk Amerika

Beberapa minggu kemudian, sosok yang menemani pelarian Hambali, Lillie, tertangkap di Bangkok saat hendak mengurus perpanjangan paspor palsu milik bosnya.

Ketika bersembunyi di Thailand, Hambali memang memakai paspor Pakistan.

Sama seperti Zubair, Lillie menolak untuk bekerjasama. Berdasarkan laporan The Nation pada 21 Agustus 2003, ternyata tanpa harus mengorek informasi dari Lillie, secara beruntung polisi Thailand menemukan sebuah kunci kamar Apartemen Boon Yarak di Ayutthaya, kota wisata 75 kilometer dari Bangkok.

Trithos Ronnatthiwichai, komandan pasukan khusus Divisi 2, malam itu juga langsung menelepon kantor polisi di Ayutthaya. Sialnya, kantor polisi saat itu sudah lewat jam kerja.

Beberapa petugas polisi sudah pulang meninggalkan pos masing-masing. Beruntung wakil kepala polisi Ayutthaya, Nares Nanthachote, masih ada di kantor. Dengan sigap Nares membawa 10 petugas yang ada mendatangi apartemen itu.  

Nares langsung meminta salinan terbaru wajah Hambali pada atasannya. Agak sedikit sukar memang mengenali buronan nomor satu di Asia Tenggara ini sebab dia seringkali mengoperasi wajah untuk mengelabui polisi.

Penggerebekan dirancang sedemikian hati-hati sebab Hambali berpotensi mencelakai tim penyerbu atau penghuni lain. Strategi pun dirancang agar memancing Hambali keluar dari apartemennya.

Caranya dengan meminta manajer apartemen memanggilnya ke lobi dengan dalih ada panggilan telepon penting. Hambali pun terpancing.

Seorang lelaki bertubuh gempal berjalan menuju lobi tanpa ada rasa curiga. Ia muncul dengan setelan kasual, tanpa jenggot, dengan mengenakan celana jins, kaos oblong, topi baseball, dan kacamata hitam. Tampilannya tampak seperti pria Asia normal.

Dengan cekatan, polisi berpakaian preman langsung membekuk pria tersebut. Sebelum diciduk, Hambali sempat mengambil pistol 9 mm yang terselip di pinggangnya. Namun, seorang letnan polisi menyergapnya hingga jatuh.

Itulah akhir dari pelarian Hambali selama bertahun-tahun. Proses penangkapan Lillie yang kemudian mengarah pada Hambali berlangsung kurang dari enam jam. Penangkapan ini terjadi pada 11 Agustus 2003, tepat hari ini 15 tahun lalu.

Baca juga: 23 Orang Warga Norwegia Meninggal Diduga Akibat Efek Samping Vaksin COVID-19

Pejabat kontra-terorisme AS dan beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia senang dan merayakan kesuksesan ini.

Usai ditangkap, Hambali dibawa ke fasilitas interogasi CIA di Yordania dengan pesawat carteran.

Nasibnya terdeteksi saat ia dibawa ke penjara Guantanamo, Kuba setahun berikutnya.

Sampai sekarang, pria yang akrab disapa Encep di kampungnya ini masih ditahan di sana. Hanya tahanan kelas wahid petinggi Al Qaeda yang ditahan di Guantanamo.

Penjara ini memang dikenal memiliki pengamanan ekstra ketat. Itulah mengapa wajar saja bahwa Hambali layak mendapat gelar sebagai tahanan Indonesia termahal.

Total biaya pengamanannya hingga 2015 mencapai 10 juta dollar atau Rp 144 miliar.

Kini, selain Hambali, Pentagon juga akan mengadili Mohammad Nazir Bin Lep dan Mohammad Farik Bin Amin.

Dakwaan itu melanggar hukum perang. Rincian dakwaannya adalah persekongkolan, menyerang warga sipil, menyerang objek sipil, perusakan properti, pembunuhan, percobaan pembunuhan, dengan sengaja menyebabkan luka tubuh yang serius, dan terorisme.

Pengadilan Hambali selama ini mengalami hambatan. Tuntutan atas mereka telah diserahkan jaksa ke komisi militer di Guantanamo pada 2003.

Namun, Pentagon saat itu belum menyetujui persidangan tahanan di Guantanamo. (C)

Reporter: Muhammad Israjab

Editor: Haerani Hambali

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga