Ferdy Sambo dan Keharusan Reformasi Kepolisian

Muh. Endang , telisik indonesia
Sabtu, 27 Agustus 2022
0 dilihat
Ferdy Sambo dan Keharusan Reformasi Kepolisian
Muh. Endang SA, S.Sos, SH, M.AP, Pemerhati Hukum dan Politik. Foto: Ist.

" Pembunuhan oleh Ferdy Sambo dkk ini seakan menjadi kulminasi atau puncak gunung es dari banyaknya persoalan di tubuh Polri yang menjadi sorotan dan keresahan publik selama ini "

Oleh: Muh. Endang SA, S.Sos, SH, M.AP

Pemerhati Hukum dan Politik

KURANG lebih dua bulan ini lini masa kita dipenuhi berita tentang Irjen Ferdy Sambo, jenderal polisi yang membunuh polisi, dibantu polisi di rumah jabatan polisi.

Pembunuhan oleh Ferdy Sambo dkk ini seakan menjadi kulminasi atau puncak gunung es dari banyaknya persoalan di tubuh Polri yang menjadi sorotan dan keresahan publik selama ini.

Kasus ini seakan menjadi pemantik yang menyatukan masyarakat kita yang selama ini banyak terbelah akibat politisasi saat Pemilu, menuntut dilaksanakannya reformasi di tubuh kepolisian.

Seolah seperti saat reformasi di tahun 1998, ketika itu kita semua  menuntut dilaksanakannya reformasi TNI. Alhamdulillah saat ini kita lihat dan rasakan hasilnya, TNI selalu mendapat kepercayaan publik yang besar.

Walaupun masih ada juga yang mencoba-coba mau mengembalikan posisi TNI seperti dulu. Ide Menko Marvest Luhut misalnya, yang ingin para perwira TNI bisa kembali menduduki jabatan-jabatan sipil.

Reformasi kepolisian harus dimulai dari dilaksanakannya revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Entah mengapa seolah keramat, UU yang kini telah berusia 20 tahun ini belum pernah direvisi sekalipun, padahal tidak seperti UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang “dijaga” banyak orang.

Sependek pengetahuan penulis belum pernah ada pihak di luar internal kepolisian yang menentang adanya revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tersebut. UU tentang TNI dan Kejaksaan juga sudah direvisi.

Baca Juga: "Tim Jenderal" Itu

Sehingga selain untuk menyesuaikan dengan dinamika sosial, budaya dan hukum di masyarakat. Revisi ini juga perlu dilakukan terutama berkenaan dengan pelaksanaan reformasi struktural kepolisian kita. Dimulai dari posisi kelembagaan Polri, apakah tetap berada di bawah langsung Presiden ataukah dikembalikan ke kementrian sebagaimana dahulu?

Dalam rangka memastikan supaya Polri fokus pada tugas utamanya yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penulis sepakat dengan hasil kajian Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), yang ingin menempatkan Polri di bawah satu kementerian.

Langkah ini juga akan mendesakralisasi institusi Polri dan karenanya bisa lebih membuka akses publik yang lebih luas, pada gilirannya bisa membuat Polri lebih akuntabel dan dipercaya masyarakat.

Apakah menempatkan Polri di bawah satu kementerian akan mengurangi wibawa atau marwah Polri? Jawabannya jelas tidak. Lihat saja TNI kita saat ini, justru sangat berwibawa dan dicintai rakyat saat berada di bawah koordinasi Kementrian Pertahanan.

Selain itu dengan penempatan Polri dibawah satu Kementrian, juga akan meringankan beban tugas Polri. Selama ini sebagai konsekuensi dari posisi Polri yang berada langsung di bawah Presiden, Polri sendiri yang merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program kerjanya sendiri.

Dari sisi anggaran misalnya, dengan porsi alokasi anggaran yang cukup besar, di tahun 2022 menjadi ketiga yang terbesar setelah Kementrian PUPR dan Kementrian Pertahanan sebesar Rp 112,1 triliun, Polri merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi sendiri realisasi pelaksanaan anggarannya.

Tidak seperti TNI dengan ketiga matranya, yang dilaksanakan oleh Kementrian Pertahanan. Sehingga kalau ada kesalahan dalam pelaksanaannya, Polri sendiri yang menanggung akibatnya. Kasus Korlantas Irjen Djoko Susilo bisa menjadi contoh untuk itu.

Pertanyaannya kementrian apa yang nanti cocok membawahi Polri? Bisa saja di bawah Kementerian Pertahanan Keamanan sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 30 ayat (2), atau dibuat kementerian tersendiri, Kementerian Keamanan Nasional (Kamnas) misalnya. Tentu sebagai payung hukumnya, sebaiknya penyelesaian pembahasan RUU Kamnas harus dilakukan.

Reformasi struktural juga perlu dilakukan terhadap norma yang mengatur tentang pengawasan Internal Polri yang fungsi tersebut saat ini dilaksanakan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), kemudian juga diperlukan pengaturan kembali kewenangan Polri di bidang penyelidikan, penyidikan, dan penindakan.

Pola rekruitment keanggotaan Polri juga harus diperbaiki, terutama di tingkat Akademi Kepolisian, lembaga yang akan mencetakkan calon-calon pimpinan Polri. Rekruitment harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Mendukung pendapat Achmad Baidowi Anggota Komisi III DPR RI, perlu juga dipikirkan opsi pemberhentian sementara bagi anggota kepolisian yang menjadi terlapor dan terduga melakukan pelanggaran hukum.

Selain reformasi struktural, juga diperlukan reformasi kultural. Banyak kultur yang tidak baik yang masih terlihat dipraktekkan oleh Polri selama ini. Kultur kekerasan dan refresif terhadap kelompok masyarakat sipil misalnya, bisa dilihat dari catatan terhadap respon dan penanganan aksi unjuk rasa maupun kasus-kasus di kepolisian.

Dalam beberapa peristiwa unjuk rasa mulai dari unjuk rasa pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law), perpanjangan masa jabatan presiden, penundaan pemilu, kasus Wadas di Purworejo Jawa Tengah hingga penolakkan revisi UU KPK pada 2019, kepolisian cenderung merespon dan menanganinya dengan kekerasan.

Di Wadas, polisi menangkap dengan sewenang-wenang 60 warga desa yang menolak tambang, di Parigi Moutong Sulawesi Tengah 1 orang warga tewas ditembak saat demonstrasi, di Kendari Sulawesi Tenggara 2 orang mahasiswa yaitu Randy dan Yusuf tewas ditembak oleh polisi saat unjuk rasa menolak revisi UU KPK.

Menghilangkan kultur militer dari tubuh kepolisian juga mendesak untuk dilakukan, dari beberapa kasus yang terjadi terlihat dengan jelas belum sipilnya Polri. Contohnya pada kasus Ferdy Sambo, Bharada Eliazer pasti tahu dan ingat pasal 7 ayat (2) Kode Etik Profesi Polri yang bunyinya memerintahkan setiap anggota Polri untuk menolak perintah atasan apabila perintah itu bertentangan dengan kode etik dan hukum.

Begitu juga dengan Irjen Sambo, sebagai Kadiv Propam pasti sangat menyadari bahwa memerintahkan bawahannya membunuh seseorang yang belum terbukti kesalahannya di mata hukum adalah pelanggaran kode etik dan profesi kepolisian.

Mengapa Eliazer dan Sambo bersikap demikian? Karena belum hilangnya kultur militer di keduanya. Kasus Eliazer dan Sambo ini mirip dengan kasus pembunuhan yang menyeret Kolonel Priyanto dan anak buahnya Kopda Andreas di Nagreg Jawa Barat.

Kemudian menumbuhkan kultur melayani tanpa kecuali di tubuh Polri juga mendesak untuk dilakukan, kita masih ingat dengan populernya tagar percuma lapor polisi, sebagai respon publik terhadap sikap kepolisian yang acuh terhadap laporan warga, terutama yang berasal dari warga biasa.

Seharusnya Polri memposisikan semua pelapor sama. Karena semua pelapor pasti ingin mendapatkan kepastian dan keadilan melalu kepolisian. Bukan saja terhadap penanganan laporan Polisi, dari aspek pelayanan lain juga dirasakan masih sangat kurang.

Jika ada warga misalnya dipanggil oleh penyidik Polisi baik dalam status sebagai saksi atau tersangka lumrah di surat pemanggilan dipanggil jam 9 pagi diperiksa jam 2 siang. Begitu juga di pelayanan lainnya seperti SIM dan SKCK masih dirasakan kurang dan perlu ditingkatkan lagi.  

Baca Juga: Ilmiah Itu Meragukan

Selanjutnya pelaksanaan reformasi di kepolisian kita tidak akan mudah, pastilah akan mendapat tantangan dan hambatan, terutama dari mereka yang nyaman dan menikmati kondisi polisi kita seperti saat ini.

Mengharapkan datangnya inisiatif reformasi dari internal kepolisian juga sepertinya masih jauh panggang dari api, tidak seperti di TNI dulu yang punya beberapa perwira tinggi seperti duo Agus, SBY dan perwira lainnya yang berani bersuara dari dalam mendesak dilaksanakannya reformasi TNI, saat ini kita tidak mendengar adanya hal serupa di tubuh Polri.

Begitu juga dari parlemen kita, lihat saja RDP Kapolri dengan Komisi III DPR RI (Rabu, 24 Agustus 2022) malah berubah menjadi ajang puja-puji Komisi III kepada Kapolri. Dari Presiden sepertinya juga susah.

Presiden Jokowi terlihat begitu menikmati dan mengandalkan dukungan kepolisian dalam pemerintahannya, padahal dulu di masa periode pertamanya bersama Pak Jusuf Kalla, Presiden Jokowi dalam visi-misi kampanyenya menegaskan akan mereformasi Polri terutama dengan meng-sipilkannya.

Jadi tidak ada pilihan lain jika ingin Polisi yang baik, mestilah kita para cebong, kampret, kardun, buzzeRp bersatu padu mewujudkannya melalui presur, kampanye, dan gerakan sosial lainnya, atau mungkin juga melalui Pemilu 2024. Karena kebutuhan akan polisi yang baik adalah keniscayaan dan kita juga tak dapat hidup tanpa polisi. (*)

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga